- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Kutahu Engkau Pasti Tahu....


TS
eghy
Kutahu Engkau Pasti Tahu....


Quote:
"RUD!"
Sebuah suara memanggil namaku. Aku sangat hapal pemilik suara ini. Aku menoleh. Dan benar, seorang gadis cantik berjalan cepat berusaha mengejarku. Aku berdiri bimbang antara harus menantinya atau berlalu saja. Karena semuanya sudah jelas.
Anggie mengangguk ramah pada satpam sekolah sejenak sebelum ia tiba persis di depanku.
"Sekali lagi aku makasih sama kamu, Rud," ujar Anggie kemudian. "Udah mau denger semua curhatanku tadi."
Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum getir. Suaraku tercekat di tenggorokan. Dan kalimat Anggie berikutnya benar-benar di luar dugaanku.
"Kamu bisa bantu aku?" Anggie berhenti sejenak. Lalu, "Tolong kamu ngomong langsung ke Leo, jika kita tidak ada hubungan spesial selain berkawan. Biar dia tambah yakin. Kamu mau kan, Rud? Demi aku. Demi kebahagiaanku dengan pilihanku?"
Meski saat itu langit serasa mau runtuh, ajaibnya aku masih bisa mengangguk pelan dan tersenyum padanya.
"Janji ya, Rud?" pintanya penuh permohonan.
"Iya, Nggie," jawabku. "Nanti sore aku ke kost-an Leo dan menjelaskan semuanya."
"Makasih, Rud!" Anggie spontan melompat memelukku penuh kegirangan seperti anak kecil yang dibelikan mainan yang sudah lama diidam-idamkan.
Sebuah suara memanggil namaku. Aku sangat hapal pemilik suara ini. Aku menoleh. Dan benar, seorang gadis cantik berjalan cepat berusaha mengejarku. Aku berdiri bimbang antara harus menantinya atau berlalu saja. Karena semuanya sudah jelas.
Anggie mengangguk ramah pada satpam sekolah sejenak sebelum ia tiba persis di depanku.
"Sekali lagi aku makasih sama kamu, Rud," ujar Anggie kemudian. "Udah mau denger semua curhatanku tadi."
Aku hanya bisa mengangguk dan tersenyum getir. Suaraku tercekat di tenggorokan. Dan kalimat Anggie berikutnya benar-benar di luar dugaanku.
"Kamu bisa bantu aku?" Anggie berhenti sejenak. Lalu, "Tolong kamu ngomong langsung ke Leo, jika kita tidak ada hubungan spesial selain berkawan. Biar dia tambah yakin. Kamu mau kan, Rud? Demi aku. Demi kebahagiaanku dengan pilihanku?"
Meski saat itu langit serasa mau runtuh, ajaibnya aku masih bisa mengangguk pelan dan tersenyum padanya.
"Janji ya, Rud?" pintanya penuh permohonan.
"Iya, Nggie," jawabku. "Nanti sore aku ke kost-an Leo dan menjelaskan semuanya."
"Makasih, Rud!" Anggie spontan melompat memelukku penuh kegirangan seperti anak kecil yang dibelikan mainan yang sudah lama diidam-idamkan.
Quote:

(wallpapertag.com)
Anggie.
Aku tak tahu harus memulai cerita ini dari mana. Seorang gadis cantik bermata lentik. Mata yang bisa membuatku membeku hanya karena beradu pandang dengannya.
Saat aku pindah sekolah ke kota ini, Anggie lah yang pertama menyapaku saat aku sedang celingak-celinguk mencari kelas. Dan sungguh kebetulan yang luar biasa jika ternyata ia teman satu kelas denganku.
Hari-hari berikutnya, Anggie lah yang banyak membantuku sebagai orang baru di kota ini. Dia yang menemaniku mencari rumah kost dekat sekolah yang bersih dengan biaya sewa yang makesense. Dia yang memberitahuku tempat makan yang enak tapi juga murah. Juga tempat-tempat lain. Dari yang awalnya naik becak berdua tapi selanjutnya lebih sering naik sepeda berboncengan. Dia yang datang ke kost-ku membawa sepedanya. Dan lalu kita berboncengan ke tempat-tempat yang ingin ia tunjukkan.
Aku tak tahu apa jadinya jika tidak ada Anggie. Ini adalah pertama kalinya aku hidup dan tinggal jauh dari orang tuaku di Jakarta. Hingga perasaan itu datang. Perasaan lebih dari sekedar mengagumi mata lentiknya. Perasaan lebih dari begitu nyaman setiap melihat senyum dan tawa renyahnya. Meski berulang kali kuusir perasaan ini, ibarat magnet berkekuatan super, yang semakin kuat aku membuang jauh perasaan ini, justru perasaan ini makin kuat menempel di hatiku. Jatuh cintakah aku padanya?
Quote:
Leo.
Kakak kelas sekaligus Kakak Dewan di Pramuka yang merusak semua mimpi-mimpiku. Jadi sudah sejak Anggie kelas 1, Leo sudah menyukai Anggie. Tapi Leo tak pernah berani untuk mendekati Anggie yang notabene adalah adik kelas. Leo kelas 2 saat itu.
Saat Leo kelas 3 dan Anggie kelas 2, aku pindah ke sekolah ini. Melihat kedekatanku dengan Anggie membuat Leo makin enggan untuk mendekati Anggie.
Tapi rupanya Anggie juga diam-diam memiliki perasaan yang sama dengan Leo. Siang tadi di perpustakaan, di tempat favorit kami berdua, saat sebenarnya aku ingin jujur padanya tentang perasaanku ini, Anggie justru bercerita jika ia diam-diam menyukai Leo.
Anggie sebenarnya di antara 2 pilihan. Antara Leo dan juga temannya, Dede. Bahkan Dede pernah mendekatinya sebelum aku pindah sekolah ke sini.
Aku?
Sama sekali tak ada dalam list Anggie. Baginya, aku memang teman untuk seru-seruan. Tapi tak lebih dari itu. Apalagi aku anak Jakarta, kota yang akan menjadi tujuannya kelak saat lulus SMA untuk melanjutkan kuliah. Anggie ingin sekali melanjutkan ke STAN. Jikapun gagal di STAN, ia ingin kuliah di UI. Kebetulan rumahku di Jakarta tak jauh dari Kampus STAN di Bintaro. Anggie banyak bertanya soal ini.
Kakak kelas sekaligus Kakak Dewan di Pramuka yang merusak semua mimpi-mimpiku. Jadi sudah sejak Anggie kelas 1, Leo sudah menyukai Anggie. Tapi Leo tak pernah berani untuk mendekati Anggie yang notabene adalah adik kelas. Leo kelas 2 saat itu.
Saat Leo kelas 3 dan Anggie kelas 2, aku pindah ke sekolah ini. Melihat kedekatanku dengan Anggie membuat Leo makin enggan untuk mendekati Anggie.
Tapi rupanya Anggie juga diam-diam memiliki perasaan yang sama dengan Leo. Siang tadi di perpustakaan, di tempat favorit kami berdua, saat sebenarnya aku ingin jujur padanya tentang perasaanku ini, Anggie justru bercerita jika ia diam-diam menyukai Leo.
Anggie sebenarnya di antara 2 pilihan. Antara Leo dan juga temannya, Dede. Bahkan Dede pernah mendekatinya sebelum aku pindah sekolah ke sini.
Aku?
Sama sekali tak ada dalam list Anggie. Baginya, aku memang teman untuk seru-seruan. Tapi tak lebih dari itu. Apalagi aku anak Jakarta, kota yang akan menjadi tujuannya kelak saat lulus SMA untuk melanjutkan kuliah. Anggie ingin sekali melanjutkan ke STAN. Jikapun gagal di STAN, ia ingin kuliah di UI. Kebetulan rumahku di Jakarta tak jauh dari Kampus STAN di Bintaro. Anggie banyak bertanya soal ini.
Quote:
Meski masih kelas 3 SMA, badannya nampak kekar. Maklum, dia sangat gemar berolahraga. Terutama bola basket. Selain aktif di ekskul pramuka, dia juga sering mewakili sekolahku di kejuaraan bola basket baik normal maupun 3 on 3. Dan dia langganan juara.
Dengan hanya mengenakan kaos singlet tanpa lengan, nampak sekali badannya yang kekar. Tidak sepertiku yang ceking. Apalagi jika kiriman uang dari Jakarta terlambat datang, aku kadang telat makan atau tidak makan sama sekali. Anggie lah yang sering kirim makanan malam-malam ke kost-ku.
"Mau minum apa, Rud?" tanya Leo saat aku ingin meraih majalah remaja di meja. Sore itu sesuai dengan janjiku pada Anggie, aku bertandang ke kost-an Leo. Dia mengajak aku duduk di bangku depan taman di samping kost-nya.
"Apa saja, Kak," ujarku sungkan. Karena aku juga anggota Pramuka, aku sudah terbiasa memanggil dia 'kakak'.
"Panggil 'Leo' saja, Rud. Ini kan di luar sekolah," aku tak menyangka dia bisa seramah ini. Karena jika di sekolah, dia terkenal cukup tegas bahkan cenderung galak. Tak pernah bergaul dengan adik kelas apalagi anggota pramuka. Mungkin sengaja menjaga jarak.
"Iya, Kak, eh... Leo," aku grogi sendiri.
Tak lama ia keluar dengan 2 botol minuman dingin. Sepertinya beli di warung dekat situ.
"Tumben kamu ke kost-ku, Rud," ucap Leo setelah mempersilakanku minum.
"Iya. Ada amanah dari Anggie, Le..." jawabku menahan getir.
Mendengar nama 'Anggie', mata Leo langsung berbinar-binar. "Oh ya? Amanah apa?" tanyanya penuh semangat.
"Kalian jadian, kah?" aku balik bertanya. Penasaran juga. Sudah jadian apa belum Anggie dengan Leo.
Leo tertawa. "Bukannya Anggie pacar kamu ya, Rud?"
Aku tak tahu, apakah Leo sekedar mengetest, meledek atau entah apa namanya.
"Sejujurnya.... Aku memang sudah lama menyukainya, Le," ucapku jujur. "Tapi dia hanya menganggapku tak lebih dari teman saja." Leo mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Dia menyukaimu, Le. Bahkan, dia sendiri yang meminta aku untuk ngomong sama kamu kalau kami tidak ada hubungan spesial. Sebatas teman kelas dan teman main semata."
Antara lega dan getir. Lega karena sudah menyampaikan amanah Anggie. Getir karena harus mengalah pada keadaan.
Pembicaraan selanjutnya tak begitu kuperhatikan. Meski Leo sempat berbasa-basi untuk mengalah, namun aku tak bisa egois. Leo mengenal Anggie lebih dulu. Menyayangi Anggie lebih dulu. Wajar jika ia mendapatkan hatinya. Wajar jika Anggie lebih memilih dia. Bukan Dede. Apalagi aku.
Dengan hanya mengenakan kaos singlet tanpa lengan, nampak sekali badannya yang kekar. Tidak sepertiku yang ceking. Apalagi jika kiriman uang dari Jakarta terlambat datang, aku kadang telat makan atau tidak makan sama sekali. Anggie lah yang sering kirim makanan malam-malam ke kost-ku.
"Mau minum apa, Rud?" tanya Leo saat aku ingin meraih majalah remaja di meja. Sore itu sesuai dengan janjiku pada Anggie, aku bertandang ke kost-an Leo. Dia mengajak aku duduk di bangku depan taman di samping kost-nya.
"Apa saja, Kak," ujarku sungkan. Karena aku juga anggota Pramuka, aku sudah terbiasa memanggil dia 'kakak'.
"Panggil 'Leo' saja, Rud. Ini kan di luar sekolah," aku tak menyangka dia bisa seramah ini. Karena jika di sekolah, dia terkenal cukup tegas bahkan cenderung galak. Tak pernah bergaul dengan adik kelas apalagi anggota pramuka. Mungkin sengaja menjaga jarak.
"Iya, Kak, eh... Leo," aku grogi sendiri.
Tak lama ia keluar dengan 2 botol minuman dingin. Sepertinya beli di warung dekat situ.
"Tumben kamu ke kost-ku, Rud," ucap Leo setelah mempersilakanku minum.
"Iya. Ada amanah dari Anggie, Le..." jawabku menahan getir.
Mendengar nama 'Anggie', mata Leo langsung berbinar-binar. "Oh ya? Amanah apa?" tanyanya penuh semangat.
"Kalian jadian, kah?" aku balik bertanya. Penasaran juga. Sudah jadian apa belum Anggie dengan Leo.
Leo tertawa. "Bukannya Anggie pacar kamu ya, Rud?"
Aku tak tahu, apakah Leo sekedar mengetest, meledek atau entah apa namanya.
"Sejujurnya.... Aku memang sudah lama menyukainya, Le," ucapku jujur. "Tapi dia hanya menganggapku tak lebih dari teman saja." Leo mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Dia menyukaimu, Le. Bahkan, dia sendiri yang meminta aku untuk ngomong sama kamu kalau kami tidak ada hubungan spesial. Sebatas teman kelas dan teman main semata."
Antara lega dan getir. Lega karena sudah menyampaikan amanah Anggie. Getir karena harus mengalah pada keadaan.
Pembicaraan selanjutnya tak begitu kuperhatikan. Meski Leo sempat berbasa-basi untuk mengalah, namun aku tak bisa egois. Leo mengenal Anggie lebih dulu. Menyayangi Anggie lebih dulu. Wajar jika ia mendapatkan hatinya. Wajar jika Anggie lebih memilih dia. Bukan Dede. Apalagi aku.
Quote:
Liburan kenaikan kelas aku pulang ke Jakarta. Bahkan aku tidak kembali lagi ke sana. Aku memutuskan untuk menyelesaikan SMA ku di sini. Jauh dari Anggie dan Leo. Saat itu aku masih usia sekolah. Aku tak yakin bisa kuat terus menerus melihat kebahagiaan mereka. Meski Leo kini sudah lulus SMA, tapi karena ia kuliah tak jauh dari kota itu, tetap saja tak menjadi persoalan untuk hubungan mereka berdua.
Aku yang mengalah. Menjauh dari mereka. Untuk kebahagiaanku sendiri. Dan hingga detik ini pun, Anggie tak pernah tahu jika dulu aku pernah mencintainya. Meski kuyakin, jauh di lubuk hati terdalamnya, dia mengetahuinya. Mengetahui bagaimana perasaanku yang sebenarnya padanya.
Aku yang mengalah. Menjauh dari mereka. Untuk kebahagiaanku sendiri. Dan hingga detik ini pun, Anggie tak pernah tahu jika dulu aku pernah mencintainya. Meski kuyakin, jauh di lubuk hati terdalamnya, dia mengetahuinya. Mengetahui bagaimana perasaanku yang sebenarnya padanya.

Diubah oleh eghy 20-10-2021 17:58






nona212 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
911
Kutip
39
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan