- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
WAKTU ITU KAU KUANGGAP BIASA SEKARANG NELANGSA


TS
legionnareina
WAKTU ITU KAU KUANGGAP BIASA SEKARANG NELANGSA

Quote:
WAKTU ITU KAU KUANGGAP BIASA SEKARANG NELANGSA

sumber : gambar
Telingaku berdenging kencang, ngingg...
Aku bisa melihatnya di masa lalu, dia masih bisa berbincang-bincang denganku seperti biasa ketika aku masih menjalin hubungan dengannya.
“Indra, ada apa denganmu? Ku lihat daritadi kau sedang melamun, dan tidak biasanya kau sedang merokok juga, ingatlah bahwa dirimu itu masih SMA setiap satu batang rokok yang kau hisap akan mengurangi umurmu,” Ava kala itu sedang berjalan denganku bersampingan sambil menggoyang-goyangkan pundakku.
“Ava? Apakah hubungan kita ini seperti kau nyaman denganku?”, tanyaku kepada Ava.
Ava menatapku dengan mata tidak percaya, sudah tiga bulan semenjak hubungan kita secara resmi pacaran. Tapi mengapa sebuah pertanyaan itu terlontarkan dalam benakku, bukankah ketika menyatakan pernyataan cinta kepada Ava dahulu diriku sudah pasti bisa mencintai Ava.
“Ketahuilahah bahwa sebuah hubungan tanpa landasan cinta adalah sebuah hubungan bertajuk politik yang syarat akan kepentingan. Apakah yang kau pikirkan Indra, apakah tujuanmu selama ini hanya ingin mempengaruhiku untuk melumat bibirku?” Tanya Ava, matanya mulai berkaca-kaca.
Masa muda memang dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Masa-masa pubertas membuatku merasakan sensasi yang berbeda ketika berada bersama lawan jenis, tentu setiap kali aku bersama Ava aku ingin sekali melumat bibirnya yang merah itu. Meskipun Ava bukan seorang remaja yang sering menggunakan make up maupun lip tint ketika pergi ke sekolah.
“Aku tidak bisa membayangkan diriku melakukan yang tidak-tidak ketika bersamamu, yang ingin aku bayangkan adalah mengerti apa itu menjalin sebuah hubungan?” kepalaku mulai pusing, mengingat bahwa kita hanyalah remaja yang baru menginjak umur enam belas tahun, aku merasakan bahwa hubungan ini hanya akan berakhir sia-sia saja.
Dengan muka hampa, Ava langsung menarik kerah bajuku dia langsung menempelkan bibirnya tepat di bibirku. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya, apakah aku melumat bibirnya atau hanya menempelkannya saja, aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Jadi aku hanya terdiam ketika Ava juga semakin bingung mau akan diapakan ketika bibirnya bertemu dengan bibirku.
Ava menarik bibirnya, “apakah kau sudah melihatnya?, apakah itu sebuah bentuk keraguan ketika aku berhubungan denganmu?” Ava tersenyum dia masih memegang pundakku, aku melihat dia merasa malu dengan perbuatannya.
Aku merasakan kasihan dengan Ava, perbuatannya hari ini benar-benar berlebihan. Ciuman Ava tidak berarti apapun bagiku, ingat aku tidak ingin berbuat buruk terhadap seorang wanita. Tapi melihat Ava yang hari ini sudah memberanikan diri untuk menciumku terlebih dahulu, aku langsung memeluknya dan berharap aku bisa merasakan seperti ini selamanya bersama Ava.
Pada waktu itu, aku langsung berpikir untuk berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan Ava wanitaku yang sudah memberikan kepercayaan kepadaku. Disisi lain, aku masih belum percaya sepenuhnya dengan diriku sendiri, apakah aku akan berhasil dengan usaha maksimalku dan terbaiku.
Tiga bulan selanjutnya, kelakuanku semakin tidak karuan, aku jadi sering bolos sekolah. Kegiatanku banyak aku lakukan di tempat kerja, berbanding terbalik dengan semua impianku untuk hidup bersama Ava, seharusnya aku lebih banyak belajar untuk mengejar cita-citaku. Tapi semua itu hampa, tidak punya uang semakin menghantuiku, aku jarang sekali makan. Aku makan tiap harinya terkadang cuma satu kali sampai dua kali, pernah sampai muntah-muntah dengan rasa yang pahit mungkin itu yang disebut getah bening.
Mungkin Avalah hartaku satu-satunya seorang yang mau mendekatiku, meskipun keadaanku semakin memprihatinkan, Ava tetap merasa nyaman dengan kondisiku. Ava masih masih tetap Ava seperti biasa, seorang yang peduli dengan pendidikan dan menaruh pendidikan dalam posisi paling tinggi sebagai barang berharganya selain uang.
“Mengapa kamu jadi sering bolos sekolah?, aku jadi sering tidak melihatmu di sekolah akhir-akhir ini, kamu kemana saja, apakah kau sedang menjauhiku?” Tanya Ava kepadaku.
“Aku tidak sedang menjauhimu Va, hanya saja…” Rasanya sulit mengatakan bahwa diriku harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sekolah menjadi prioritas kedua.
“Aku tahu yang sebenarnya terjadi padamu, aku bisa membantumu,” jawab Ava.
Ava mengajakku untuk makan di sebuah warung, “aku tidak ingin membuang waktu kita yang berharga, aku tahu waktumu banyak kamu gunakan untuk bekerja, dan aku merasa waktu kita berduaan juga akan menambah beban waktu kita,” Terang Ava.
Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa Ava menjadi penggangguku dalam bekerja, apalagi bertemu setiap pulang sekolah dan berduaan dengan Ava adalah sebuah rutinitas yang biasa aku lakukan, aku tidak terbiasa tidak melihat Ava setiap pulang sekolah.
“Aku sudah putuskan untuk tinggal kelas dulu satu tahun, aku akan mengulangnya tahun depan. Dengan catatan tahun ini aku akan lebih banyak bekerja,” jawabku kepada Ava.
***
Malam itu sungguh aku merasakan dingin yang tidak biasa, keadaan tubuhku drop ketika mengetahui bahwa nomor telepon yang biasa aku menghubungimu tiba-tiba tidak bisa aku hubungi. Aku bahkan tidak bisa menemuimu dimanapun, baik itu di facebook yang tiba-tiba namamu disana tidak ada, iya benar dia sekarang memblokir nama facebookku.
Sejujurnya aku belum pernah merasakan apa itu bahagia sebelumnya, sebuah perasaan cinta itu apa?, aku tidak pernah merasakan cinta itu di dalam diriku. Apalagi dirimu seorang dari kalangan keluarga yang berpendidikan tinggi dan aku dari keluarga petani. Yang bahkan diriku sejak dari awal tidak pernah memikirkan sebuah bangku kuliah mengapa tiba-tiba sekarang ketika aku bersamamu aku harus mempersiapkan itu semua, bukankah yang terbaik bagiku sekarang adalah mencari pekerjaan meskipun aku masih dibangku sekolah.
Ketika aku berangkat ke sekolah besoknya, aku tidak mendapatkan dirinya lagi. Dia sudah pergi meninggalkan sekolah SMA ini, karena dia sekarang sudah menempuh pendidikan tinggi dengan jurusan yang menurutku susah sekali bagiku untuk mempelajarinya. Sedangkan aku masih ada satu tingkat kelas yang harus aku tempuh. Aku tidak begitu pandai dalam dunia pendidikan, andaikan waktu aku berusaha sedikit lebih keras, pasti aku lebih baik daripada yang sekarang. Aku tidak pernah menjadi seseorang yang kompetitif dan cenderung bodoh amat dalam bidang akademik, ketika aku menyadari bahwa investasi sebuah pendidikan juga termasuk dalam perbaikan sistem kemanusiaan dan ekonomi.
Aku masih mengingat ketika dirinya meminjamkanku sebuah buku matematika yang sampai sekarang bukunya masih aku simpan sebagai kenang-kenangan. Dengan melihatnya optimis bahwa aku bisa berubah dari seorang yang bodoh amat terhadap dunia akademik, aku merasa bahwa dia juga memiliki harapan yang sama untuk bisa mengubahku menjadi seorang yang berbeda.
Suatu hari aku mencari namanya di google Ava Olivia aku menemukan sebuah blog pribadinya, dia masih menuliskan tentang diriku di dalam blog pribadinya. Mungkin bukan dia yang tidak mau menerimaku seutuhnya hanya saja diriku ini yang terlalu mempertimbangkan masa depanku terhadapnya. Harapanku untuk memilikinya kembali kembali muncul, dia mencintaiku, tapi aku tidak bisa membalasnya.
Aku bisa melihatnya di masa lalu, dia masih bisa berbincang-bincang denganku seperti biasa ketika aku masih menjalin hubungan dengannya.
“Indra, ada apa denganmu? Ku lihat daritadi kau sedang melamun, dan tidak biasanya kau sedang merokok juga, ingatlah bahwa dirimu itu masih SMA setiap satu batang rokok yang kau hisap akan mengurangi umurmu,” Ava kala itu sedang berjalan denganku bersampingan sambil menggoyang-goyangkan pundakku.
“Ava? Apakah hubungan kita ini seperti kau nyaman denganku?”, tanyaku kepada Ava.
Ava menatapku dengan mata tidak percaya, sudah tiga bulan semenjak hubungan kita secara resmi pacaran. Tapi mengapa sebuah pertanyaan itu terlontarkan dalam benakku, bukankah ketika menyatakan pernyataan cinta kepada Ava dahulu diriku sudah pasti bisa mencintai Ava.
“Ketahuilahah bahwa sebuah hubungan tanpa landasan cinta adalah sebuah hubungan bertajuk politik yang syarat akan kepentingan. Apakah yang kau pikirkan Indra, apakah tujuanmu selama ini hanya ingin mempengaruhiku untuk melumat bibirku?” Tanya Ava, matanya mulai berkaca-kaca.
Masa muda memang dipenuhi dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Masa-masa pubertas membuatku merasakan sensasi yang berbeda ketika berada bersama lawan jenis, tentu setiap kali aku bersama Ava aku ingin sekali melumat bibirnya yang merah itu. Meskipun Ava bukan seorang remaja yang sering menggunakan make up maupun lip tint ketika pergi ke sekolah.
“Aku tidak bisa membayangkan diriku melakukan yang tidak-tidak ketika bersamamu, yang ingin aku bayangkan adalah mengerti apa itu menjalin sebuah hubungan?” kepalaku mulai pusing, mengingat bahwa kita hanyalah remaja yang baru menginjak umur enam belas tahun, aku merasakan bahwa hubungan ini hanya akan berakhir sia-sia saja.
Dengan muka hampa, Ava langsung menarik kerah bajuku dia langsung menempelkan bibirnya tepat di bibirku. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya, apakah aku melumat bibirnya atau hanya menempelkannya saja, aku belum pernah melakukan ini sebelumnya. Jadi aku hanya terdiam ketika Ava juga semakin bingung mau akan diapakan ketika bibirnya bertemu dengan bibirku.
Ava menarik bibirnya, “apakah kau sudah melihatnya?, apakah itu sebuah bentuk keraguan ketika aku berhubungan denganmu?” Ava tersenyum dia masih memegang pundakku, aku melihat dia merasa malu dengan perbuatannya.
Aku merasakan kasihan dengan Ava, perbuatannya hari ini benar-benar berlebihan. Ciuman Ava tidak berarti apapun bagiku, ingat aku tidak ingin berbuat buruk terhadap seorang wanita. Tapi melihat Ava yang hari ini sudah memberanikan diri untuk menciumku terlebih dahulu, aku langsung memeluknya dan berharap aku bisa merasakan seperti ini selamanya bersama Ava.
Pada waktu itu, aku langsung berpikir untuk berusaha semaksimal mungkin untuk membahagiakan Ava wanitaku yang sudah memberikan kepercayaan kepadaku. Disisi lain, aku masih belum percaya sepenuhnya dengan diriku sendiri, apakah aku akan berhasil dengan usaha maksimalku dan terbaiku.
Tiga bulan selanjutnya, kelakuanku semakin tidak karuan, aku jadi sering bolos sekolah. Kegiatanku banyak aku lakukan di tempat kerja, berbanding terbalik dengan semua impianku untuk hidup bersama Ava, seharusnya aku lebih banyak belajar untuk mengejar cita-citaku. Tapi semua itu hampa, tidak punya uang semakin menghantuiku, aku jarang sekali makan. Aku makan tiap harinya terkadang cuma satu kali sampai dua kali, pernah sampai muntah-muntah dengan rasa yang pahit mungkin itu yang disebut getah bening.
Mungkin Avalah hartaku satu-satunya seorang yang mau mendekatiku, meskipun keadaanku semakin memprihatinkan, Ava tetap merasa nyaman dengan kondisiku. Ava masih masih tetap Ava seperti biasa, seorang yang peduli dengan pendidikan dan menaruh pendidikan dalam posisi paling tinggi sebagai barang berharganya selain uang.
“Mengapa kamu jadi sering bolos sekolah?, aku jadi sering tidak melihatmu di sekolah akhir-akhir ini, kamu kemana saja, apakah kau sedang menjauhiku?” Tanya Ava kepadaku.
“Aku tidak sedang menjauhimu Va, hanya saja…” Rasanya sulit mengatakan bahwa diriku harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sekolah menjadi prioritas kedua.
“Aku tahu yang sebenarnya terjadi padamu, aku bisa membantumu,” jawab Ava.
Ava mengajakku untuk makan di sebuah warung, “aku tidak ingin membuang waktu kita yang berharga, aku tahu waktumu banyak kamu gunakan untuk bekerja, dan aku merasa waktu kita berduaan juga akan menambah beban waktu kita,” Terang Ava.
Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa Ava menjadi penggangguku dalam bekerja, apalagi bertemu setiap pulang sekolah dan berduaan dengan Ava adalah sebuah rutinitas yang biasa aku lakukan, aku tidak terbiasa tidak melihat Ava setiap pulang sekolah.
“Aku sudah putuskan untuk tinggal kelas dulu satu tahun, aku akan mengulangnya tahun depan. Dengan catatan tahun ini aku akan lebih banyak bekerja,” jawabku kepada Ava.
***
Malam itu sungguh aku merasakan dingin yang tidak biasa, keadaan tubuhku drop ketika mengetahui bahwa nomor telepon yang biasa aku menghubungimu tiba-tiba tidak bisa aku hubungi. Aku bahkan tidak bisa menemuimu dimanapun, baik itu di facebook yang tiba-tiba namamu disana tidak ada, iya benar dia sekarang memblokir nama facebookku.
Sejujurnya aku belum pernah merasakan apa itu bahagia sebelumnya, sebuah perasaan cinta itu apa?, aku tidak pernah merasakan cinta itu di dalam diriku. Apalagi dirimu seorang dari kalangan keluarga yang berpendidikan tinggi dan aku dari keluarga petani. Yang bahkan diriku sejak dari awal tidak pernah memikirkan sebuah bangku kuliah mengapa tiba-tiba sekarang ketika aku bersamamu aku harus mempersiapkan itu semua, bukankah yang terbaik bagiku sekarang adalah mencari pekerjaan meskipun aku masih dibangku sekolah.
Ketika aku berangkat ke sekolah besoknya, aku tidak mendapatkan dirinya lagi. Dia sudah pergi meninggalkan sekolah SMA ini, karena dia sekarang sudah menempuh pendidikan tinggi dengan jurusan yang menurutku susah sekali bagiku untuk mempelajarinya. Sedangkan aku masih ada satu tingkat kelas yang harus aku tempuh. Aku tidak begitu pandai dalam dunia pendidikan, andaikan waktu aku berusaha sedikit lebih keras, pasti aku lebih baik daripada yang sekarang. Aku tidak pernah menjadi seseorang yang kompetitif dan cenderung bodoh amat dalam bidang akademik, ketika aku menyadari bahwa investasi sebuah pendidikan juga termasuk dalam perbaikan sistem kemanusiaan dan ekonomi.
Aku masih mengingat ketika dirinya meminjamkanku sebuah buku matematika yang sampai sekarang bukunya masih aku simpan sebagai kenang-kenangan. Dengan melihatnya optimis bahwa aku bisa berubah dari seorang yang bodoh amat terhadap dunia akademik, aku merasa bahwa dia juga memiliki harapan yang sama untuk bisa mengubahku menjadi seorang yang berbeda.
Suatu hari aku mencari namanya di google Ava Olivia aku menemukan sebuah blog pribadinya, dia masih menuliskan tentang diriku di dalam blog pribadinya. Mungkin bukan dia yang tidak mau menerimaku seutuhnya hanya saja diriku ini yang terlalu mempertimbangkan masa depanku terhadapnya. Harapanku untuk memilikinya kembali kembali muncul, dia mencintaiku, tapi aku tidak bisa membalasnya.
Quote:
Naif Tanpamu
Tak pernah terpikirkan olehku bahwa diriku akan menjadi seonggok sampah dimatamu
Aku yang dahulu merasa paling sempurna
Ketika aku bersamamu aku merasa menjadi orang yang berbeda
Terlalu naif aku menjadi diriku
Setiap kekurangan tiap jengkal dalam diriku
Aku baru bisa melihatnya ketika aku bersamamu
Aku tidak merasa menjadi orang minder melihatmu
Hanya saja aku belum siap memperbaiki diriku
Andakaikan waktu itu aku ikut melaju bersamamu
Kita tidak akan pernah berjarak satu langkahpun darimu
Aku yang dahulu merasa paling sempurna
Ketika aku bersamamu aku merasa menjadi orang yang berbeda
Terlalu naif aku menjadi diriku
Setiap kekurangan tiap jengkal dalam diriku
Aku baru bisa melihatnya ketika aku bersamamu
Aku tidak merasa menjadi orang minder melihatmu
Hanya saja aku belum siap memperbaiki diriku
Andakaikan waktu itu aku ikut melaju bersamamu
Kita tidak akan pernah berjarak satu langkahpun darimu
Diubah oleh legionnareina 29-04-2020 14:42






noprirf dan 3 lainnya memberi reputasi
4
314
Kutip
1
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan