- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Aku Gagal Membawa Cintaku


TS
lapar.bang
Aku Gagal Membawa Cintaku


"Apakah kau yakin akan menemuiku dengan jarak ratusan kilometer ini?"Tanyanya di balik sambungan via seluler.
"Masih sama seperti kemarin, laki-laki yang dipegang adalah ucapannya. Dan aku yakin akan menemuimu dalam waktu dekat ini." Ucapku mantap sambil tersenyum.
Obrolan malam itu semakin membuatku tak sabar untuk segera menemuinya, gadis pujaanku yang sudah hampir 7 bulan ini menemani hari-hariku.
Perkenalkan namaku Ucup, seorang pemuda dari ibukota yang sehari-hari bekerja sebagai ojol. Banyak kisah suka maupun duka selama aku menjalani pekerjaan ini. Dan jiwaku yang enggan untuk terkekang serta hobiku yang suka melanglang buana membuatku keluar dari pekerjaanku sebelumnya dan lebih memilih pekerjaan ini.
Setelah dua tahun aku putus dari Nina, kini aku mencoba kembali untuk membuka hati dan mulai mencari tambatan hati untuk berlabu. Perkenaalanku melalui sosial media dengan seorang gadis cantik yang berasal dari kota apel membuat hari-hariku semakin berwarna. Sudah 7 bulan ini kami intens berhubungan walaupun hanya di balik layar handphone, tapi kami sudah merencanakan pertemuan pertama kita.
Tempo hari saat aku mengunjungi Jogja, aku bertemu dengan Mas Dwi. Salah satu pengusaha yang berasal dari Surabaya yang pernah aku temui saat aku bermain di Banyuwangi.
"Plak." Kepalaku pun di tepak dari belakang oleh orang tak dikenal.
"Anj*ng bangs*t siapa nih, berani beraninya nepak pala gue." Ujarku geram lalu berdiri, saat aku memutar badan aku melihat sosok lelaki dengan tubuh agak sedikit bongsor sedang tertawa.
"Lah elo mas, kok bisa ada disini sih?" Akupun mengurungkan niat untuk membalas Mas Dwi dan langsung berjabat tangan.
Kehadiran Mas Dwi saat itu membuatku sedikit terkejut, kita kembali dipertemukan secara tak sengaja, bahkan saat aku bertemu dengannya untuk yang pertama kali dulu juga tak disengaja.
Sisa sore itu sebelum aku kembali ke Jakarta kuhabiskan untuk sekedar bertanya kabar dan basa-basi dengan Mas Dwi, hingga perbincangan itu selesai aku pun harus pergi dan kembali ke kota asal setelah beberapa hari kuhabiskan waktuku untuk berlibur.
***Dua Bulan Kemudian***
"Cup, lo sibuk apaan sekarang, gue ada kerjaan nih, lo mau gak kerja sama gue?" Terdengar suara Mas Dwi dari sambungan telepon.
"Ya gini-gini aja mas, masih sibuk ngojek." Gak seperti biasanya Mas Dwi menanyakan tentang pekerjaanku.
"Jadi gini Cup, gue lagi butuh orang nih yang bisa bekerja dibidang pariwisata, gue kan udah tau track record lo selama ini, pengalaman lo juga menurut gue udah lebih dari cukup. Jadi gue nawarin ini dulu ke elo karena lo adalah kandidat terkuat saat ini." Jelas Mas Dwi panjang lebar.
"Aduh gimana ya mas, pengen banget sih sebenernya. Boleh kasih waktu sebentar gak mas?" Harapku cemas.
"Yaudah gue kasih waktu sampe hari minggu ya, tar gue tunggu kabar terbarunya. Masalah tempat tidur sama makan udah gue sediain semua, tinggal lo mau apa enggak datang kesini." Kata Mas Dwi.
"Oke siap Mas."
Panggilan pun aku akhiri, aku sedikit bingung dengan tawaran yang diberikan oleh Mas Dwi. Apalagi bidang pekerjaannya adalah bidang kesukaanku.
Beberapa hari aku di buat tak karuan memikirkan tawaran tersebut, akhirnya keputusanku sudah bulat. Ya, aku menerima tawaran itu.
Sabtu malam. Aku sudah mengabari Mas Dwi tentang tawarannya, pun dengan barang-barang yang akan kubawa untuk merantau di Jawa Timur. Sepertinya aku adalah orang yang sedikit aneh. Banyak orang ingin bekerja dan mengadu nasib diibukota sementara aku yang asli warga sana lebih memilih bekerja diluar ibukota.
Hal ini aku dasari dengan janjiku untuk bertemu Andin. Disela aku bekerja, akan kusisipkan nanti hasil jerih payahku untuk menemuinya. Kurasa jarak Kota Surabaya dan Kota Malang tak terlalu jauh.
***Keesokan Harinya***
"Kamu yakin mau ke Jawa Timur?" Tanyanya sekali lagi sebelum aku berangkat meninggalkan ibukota.
"Ya, tentu saja aku yakin." Jawabku santai.
"Terus kamu disini mau ngapai, tinggal dimana, ada kenalan atau tidak?" Pertanyaan bertubi-tubi itu meluncur dari mulutnya membuat aku tertawa kecil.
"Sudahlah tenang, aku bisa bertahan hidup di kota orang."
Sedikit perbincangan pagi itu telah kuakhiri, roda-roda bus mulai berjalan meninggalkan Jakarta menuju Surabaya.
Dia belum tau maksud dan tujuanku ke Surabaya, sesuai dengan janjiku kemarin, aku akan bekerja dibtempat Mas Dwi karena saat itu beliau sedang membutuhkan karyawan. Setelah aku pertibangkan dengan waktu yang cukup lama aku resmi keluar dari pekerjaanku sebagai ojek online dan lebih memilih merantau ke kota orang.
Ya semua ini demi Andin gadis pujaanku yang berada di Kota Malang, sembari bekerja aku akan menemuinya nanti.

google pict

"Ah. Surabaya, aku kembali mengunjungimu."gumamku dalam hati setelah kaki ini turun dan menginjak tanah Surabaya untuk yang kedua kalinya.
Perjalanan selama 11 jam itu terasa sangat membosankan. Akupun disambut dengan Mas Dwi dan langsung menyuruhku beristirahat di rumahnya.
Untuk awal-awal pekerjaan di tempat baruku ini berjalan lancar, hingga beberapa minggu kemudian usaha Mas Dwi harus berhenti sementara karena beberapa pekerja mengundurkan diri dan tak mungkin aku menghandle semua kebutuhan kantor tersebut sendirian. Hal itu membuat aku dan mas Dwi kalang kabut mencari pekerja baru yang benar benar berkompeten dibidangnya.
Pun dengan hubunganku bersama Andin, aku merasa sedikit janggal akhir-akhir ini. Saat hendak kuajak bertemu ia selalu saja menolak dengan segala alasannya.
Hingga saat ia tau kondisiku yang sebenarnya membuat dia merasa iba, aku sudah beberapa minggu tak bekerja, dan aku sedang jatuh sakit, darah yang keluar dari mulutku saat aku batuk membuatnya semakin khawatir. Memang selama aku berada disini aku selalu bercerita mengenai keseharianku, pun dengannya. Dan semua kekhawatiranku selama ini terbukti. Aku merasa sangat geram dengan apa yang disampaikan Andin melalui telepon.
"Kamu kenapa gak bilang semua ini dari awal?" Tanyaku dengan nada kesal.
"Maaf Cup, aku kira kamu bohong dengan semua perkataanmu, tapi ternyata itu semua benar. Aku sudah berkali-kali mengalami hal seperti ini, mereka yang dekat denganku pernah bilang akan menemuiku, tapi nyatanya mereka semua tidak pernah menemuiku. Dan aku pikir kamu juga sama seperti mereka." Jawabnya dengan panjang lebar.
Pernyataan konyol yang keluar dari mulu Andin membuatku semakin naik pitam, namun aku harus meredamnya. Aku menyadari bahwa hubungan ini belum ada kejelasan, aku dan Andin sepakat untuk menjalani semua ini tanpa ada status, hanya saja setiap hari kita layaknya seperti orang berpacaran dengan menyematkan nama panggilan kesangan untuk masing-masing.
"Bukankah aku sudah pernah bilang, bahwa laki-laki yang dipegang adalah ucapannya, aku pernah bilang akan menemuimu kan, apa kau lupa?" Jelasku dengan sabar.
"Iya aku tau, tapi aku gak bisa nolak lamaran Mas Adam. Ayah memaksaku untuk menerima tawaran itu, aku stres Cup, aku bingung.. hiks hiks." Andin pun menangis.
Akupun tak tega melihat wanita kesayangnku menangis, sakit rasanya.
"Sudah ya sudah, jangan terlalu dipikirkan, lagian kita ini belum ada kejelasan, mungkin benar apa kata ayahmu, lebih baik kamu dengan Mas Adam, masadepannya lebih jelas karena dia berprofesi sebagai polisi. Sementara aku, pemuda yang belum tentu bisa membahagiakanmu, pemuda yang hanya main-main saja kerjaannya." Aku merasa kalah, ya aku kalah telak, dari segi finansial bahkan masa depan. Aku pasrah jika aku harus kembali ke Jakarta dengan perasaan hampa.
"Kamu kok bilang gitu sih.. tut tut tut..." Nada suaranya meninggi dan telponku di akhiri secara sepihak.
Mungkin Andin butuh waktu sendiri, aku pun merebahkan badan di kasur yang sudah agak usang ini. Memikirkan bagaimana hari esok akan kuhadapi. Tubuhku yang kurang sehat, pekerjaan yang tiba-tiba berhenti, dan sekarang aku baru menyadari bahwa Andin di jodohkan oleh ayahnya.
Tak terasa aku sudah memasuki alam mimpi, hanya gelap yang aku rasa malam itu.
matahari pagi sudah menyingsing, aku membereskan barang-barangku untuk pergi dari Surabaya. Aku merasa tak enak dengan Mas Dwi. Selama beberapa hari usahanya berhenti, aku hanya menjadi pemuda luntang-lantung di kota orang, aku akan pindah tempat sementara dengan sedikit pegangan dari kerja kerasku selama disini.
Aku menghubungi salah seorang teman yang tak jauh dari sini, beruntungnya dia sangat welcome dan menerimaku di kediamannya. Aku menceritakan semua masalahku dari mengenal Andin sampai saat ini, tentang pekerjaanku, tentang perjuanganku untuk menemuinya.
Tak ada sepata-kata yang keluar dari mulutnya, dia adalah pendengar yang baik. Aku merasa lega bisa menceritakanan masalahku.
***
"Terus kamu ingin seperti apa Andin?" Tanyaku dengan penuh sabar.
"Aku gak mau kamu pergi Cup, aku udah terlanjur nyaman sama kamu." Jawabnya.
"Tapi kita gak bisa gini terus Ndin, aku gak mau menjadi perusak hubungan kamu sama Adam."
"Gak mau Cup, aku gak tau gimana kalau gak ada kamu, kamu selalu ada buat aku, sementara Mas Adam gak biaa seperti kamu, dia kasar sama aku." Jelas Andin.
"Hah, kasar gimana?" Tanyaku heran.
Dia pun mengirimkan foto lengan kirinya yang sedikit lebam. Hatiku langsung memberontak setelah melihat foto yang dikirim Andin. Bagaimana mungkin belum menjadi suami-istri saja dia sudah berani bermain tangan, secerca harapan kini muncul kembali, aku akan meneruskan perjuangan ini.
"Itu lenganmu kenapa?" Aku semakin khawatir dengan kondisi Andin, di tambah lagi suaranya mulai sedikit parau.
"Kamu gak pernah tau kan Cup, aku disini juga berjuang demi kamu, kemarin mama tau semua ini, mama tau hubunganku sama kamu, dan aku juga udah cerita semua tentang kelakuan Mas Adam ke mama." Suara Andin sedikit terisak.
Andin pun melanjutkan penjelasannya yang sedikit terpotong tadi.
"Mama marah sama Mas Adam, mama mendukung semua pilihanku, Kakak aku juga mendukung hubungan kita Cup. Diamnya aku beberapa hari ini sebenarnya untuk kamu, untuk hubungan kita. Kamu gak pernah tau kan Cup." Akupun tak bisa berkata-kata.
"Aku minta bantuan mama sama kakak agar dia mau berbicara dengan ayah, ayah selalu memandangku sinis saat aku hendak mengajaknya berbicara tentang hubunganku dengan kamu Cup. Lebih-lebih aku di cap sebagai anak durhaka karena tidak mau menuruti keinginan orang tuanya." Lanjut Andin.
Obrolan malam itu mendadak hening, Andin tak mengeluarkan suara sedikitpun, begitu pula denganku yang bingung hendak berbicara apa. Hingga aku kembali membuka obrolan itu kembali.
"Sudah, perjuanganmu cukup Andin, membuat mama dan kakakmu percaya denganku semua sudah cukup, sekarang giliranku untuk meyakinkan ayahmu."
"Tapi ayah sangat keras Cup." Sambung Andin gelisah di balik telepon sana.
"Tenang sayang, aku punya cara agar ayahmu luluh." Jawabku.
***
Percakapanku dengan Andin via telepon kemarin malam membuatku sadar. Bahwa disini tak hanya aku yang berjuang sendirian, kita sama-sama berjuang hanya saja Andin tak memberi tahuku kenapa selama ini dia menghilang begitu saja.
Hari demi hari aku memikirkan bagaimana kelanjutan kisah cintaku, bahkan siklus kehidupanku terbalik. Siang aku tidur dan malam aku begadang. Aku tak menyangka semua ini akan menjadi seperti ini.
Malam hari setelah hujan reda aku menelpon Andin untuk membicarakan kelanjutan hubungan kita.
"Halo Andin."
"Iya Cup, gimana, sudah ketemu jalan keluarnya."
"Sudah, kamu tinggal turui aja apa kataku ya."
"Hah, emang apaan Cup?" Tanya Andin penasaran.
"Pertama. Pertemukan aku dengan ayahmu, kita bahas masalah ini bertiga, aku, kamu, dan ayahmu."
"Kedua. Setelah semua itu selesai, pertemukan juga aku dengan Adam. Kita bahas lmasalah ini bersama-sama."
"Ketiga. Jika semua itu berhasil, kembalikan cincin yang diberikan Adam kepadanya."
"Keempat. Setelah itu aku akan melamarmu."
"Terakhir. Kita hidup bersama, gak perlu di Jakarta, kalau kamu mau tinggal di dekat rumah orang tuamu, aku akan memgiyakan itu semua." Jelasku Panjang lebar.
Andin hanya diam dan aku mengansumsikan bahwa dia setuju dengan rencanaku. Siap tidak siap aku harus segera menemui ayahnya beberapa hari lagi.
***
Pagi buta aku sudah bersiap untuk bertolak ke Kota Malang dari kediaman temanku, mental sudah kipersiapkan sekuat mungkin untuk menghadapi ayah Andin. Bermodalkan secarik kertas yang berisikan alamat rumah Andin, kini aku sudah berada di depan rumah megah dengan gerbang berwarna hitam menjulan tinggi.
Aku tak pernah tau bahwa Andin adalah anak orang berada. Akupun masuk dengan sopan, didepan pintu masuk aku disambut dengan Andin yang langsung memelukku, ini adalah pertemuan pertamaku dengannya.
Baru saja aku masuk dan duduk di ruang tamu, ayah Andin menyuruhku untuk meminum segelas air putih. Tak bisa dipungkiri, rasa gugup sedikit menyelimuti perasaanku.
"Silahkan diminum dan duduk." Sergah ayah Andin dingin.
"Iya Om terimakasih." Jawabku dan langsung meminum segelas air putih tersebut.
Disana aku merasa disidang, ada ayahnya, mama, kakak, dan juga Adam. Ini tak sesuai rencana, tujuanku sebenarnya ingin membicarakan ini dengan ayahnya dulu sebelum ke tahap berikutnya, tapi kenapa adam malah berada disini. Yasudahlah aku akan mengutarakan semuanya sekarang.
"Jadi, apa niat dan tujuanmu datang kesini?" Tanya ayah Andin.
"Saya disini hendak melamar Andin om." Aku langsung mengarah ke inti pembicaraan.
"Berani-beraninya kamu, kamu siapa disini. Kamu tau kalau anak saya sudah saya jodohkan dengan laki-laki yang ada di sebelahnya?"
Akupun melirik laki-laki tersebut, kurasa dialah yang bernana Adam. Dia sedikit tersenyum sinis melihatku.
"Tapi ayah, aku gak mau dijodohkan dengan Adam, dia sudah kasar yah." Andin tiba-tiba masuk kedalam pembicaraan ini.
"Diam kamu, jangan jadi anak durhaka, sekali ayah bilang "A" kamu harus nurut." Katanya tegas.
Andin pun menutup mulut dan menangis dipelukan mamanya, kulihat kakak Andin tak banyak bicara, tatapan iba itu bisa kurasakan saat melihat adik sematawayangnya menangis dipelukan mamanya. Sakit sekali melihat wanita kesayanganku menangis seperti itu. Sementara Adam masih tersenyum melihatku.
"Mari kita lanjutkan pembicaraan ini." Ayah Andin mengagetkanku.
"Iya om, seperti yang saya katakan sebelumnya, saya kesini hendak melamar Andin. Dan untuk hal ini, saya meminta restu dari om." Jawabku mantap dan berharap-harap cemas.
"Kamu meminta restu saya, coba kau minta terlebih dahulu dengan mama dan juga kakaknya." Jelas ayah Andin.
"Mama memberikan keputusan penuh pada Andin, apapun pilihannya mama mendukung keputusan anak mama." Jawab mama Andin sembari memeluk Andin.
"Aku ikut dengan mama dan Andin pa. Biar Andin yang memilih jalannya sendiri." Terlihat kakak Andin ikut memeluk adiknya di sebelah mama.
Aku tau bahwa mama dan kakaknya memihak kepadaku, dengan ijin yang baru saja beliau berikan membuatku sedikit berada diatas angin, sementara Adam kini sedikit panik dengan wajah pasihnya.
"Tapi maaf, saya tidak bisa memberi ijin Andin denganmu, dengan hal ini lamaran mu saya tolak. Segera angkat kaki dan pergi."
"Duaaarrr.." Aku kalah. Aku hanya diam dan mematung.
Andin menangis semakin keras. Hari ini, aku kalah. Kalah dalam perjuangan akhir, kalah dalam segala hal. Aku mencoba meyakinkan Ayahnya berkali-kali, tapi ia tetap tak bergeming, tak ada respon baik darinya.
Andin pun memarahi ayahnya yang berdiri didepanku, kekesalan yang selama ini ia pendam seakan pecah di hari itu. Setelah puas memarahi ayahnya ia pun berbalik memunggungi ayahnya dan melihat kearahku.
Matanya merah, pipinya basah, suaranya sedikit serak, dan ia menerjang tubuhku dengan pelukan yang sangat erat. Tak ada sepata kata saat itu, mataku terasa panas dan aku membalas pelukannya.
"Andin masuk kekamar. Dan kamu, silahkan pergi dan jangan pernah hubungi anak saya lagi." Ayah Andin memperingatkanku.
Setelah pelukan itu sedikit meregang, andin mencium kedua pipiku dan pergi menuju kamar dengan tergesa-gesa. Pun dengan ayahnya dan juga Adam yang sudah pergi dari ruangan tersebut. Kini diruangan itu hanya ada aku, mama, dan juga kakak andin. Mereka berdua bergantian memelukku serta mengucapkan terimakasih atas perjuanganku selama ini.
Aku tak bisa membahas pelukan itu, tanganku terasa sangat kaku, pandanganku mendadak kosong membayangkan hari-hari indah saat besama Andin.
Tawaran dari kakak Andin untuk mengantarkanku pulang kutolak dengan halus, aku lebih memilih untuk mencari ojek untuk kembali. Sebelum berpisah kakak andin membisikkan sesuatu.
"Percayalah, sejatinya Andin sangat mencintaimu dan aku tau semua hubungan kalian selama ini. maafkan perlakuan papaku tadi." Bisiknya pelan kemudian memelukku untuk yang terakhir kalinya.
Aku hanya tersenyum kemudian pergi meninggalkan kota Malang. Aku gagal membawa pulang cintaku.
Dua hari setelah aku meninggalkan kota malang aku berpamitan kepada salah satu kawan baikku yang sudah beberapa hari menampungku disana. Tak ketinggalan aku juga berpamitan terhadap Mas Dwi dan mengundurkan diri dari pekerjaanku. Mas Dwi menyayangkan sikapku namun ia bisa memaklumi karena aku ingin menenangkan diri di kota kelahiranku.
"Jawa Timur. Teruntuk Surabaya, dan Malang. Terimakasih atas cerita yang kau berikan, semoga aku bisa kembali kesini dengan cerita baru." Gumamku dalam hati.
***
"Jakarta. Aku pulang."
TAMAT






Bedbritgelo dan 42 lainnya memberi reputasi
43
1K
38
Thread Digembok
Urutan
Terbaru
Terlama
Thread Digembok
Komunitas Pilihan