Pertama kali bertemu saat usia masih belasan tahun, remaja yang baru menyandang pakaian putih abu-abu.

Aku jatuh cinta kepadanya saat ia menolongku agar tidak terlambat ke sekolah, di siang yang begitu teriak. Ini memang terdengar klise, seperti drama-drama romansa remaja di televisi. Tapi, begitulah aku jatuh cinta kepadanya.

Tiga tahun menjalani masa SMA, tiga tahun kami hanya berkomunikasi sepatah dua patah kata. Tiga tahun yang kujalani dengan memendam perasaan kepadanya.


Hari kelulusan tiba, aku harus melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Hari itu, saat menaiki kapal penyeberangan yang akan membawaku ke kota Makassar, aku bertekad untuk melupakan perasaanku.

Aku tidak akan penasaran lagi kepadanya. Bagaimana bisa, selama tiga tahun menjalani masa SMA, aku harus bertingkah biasa saja di hadapannya. Bertingkah seolah-olah aku tidak jatuh cinta kepadanya sekian lama.

"Segalanya harus berakhir, patah hati ini. Cinta sepihak ini," kataku dalam hati di atas kapal.


*Dokumentasi pribadi

Namun, takdir rupanya berkata lain.

Aku justru berjumpa dengannya di atas kapal, kami menaiki kapal yang sama dan aku tidak tahu akan itu.

Aku tidak tahu ia akan menuju ke mana, aku tidak pernah berani untuk menanyakan. Ia pun tidak mengatakan apa-apa. Memangnya aku siapa sampai ia harus mengatakan tempat tujuannya? Pikirku.

Kami ada di atas kapal yang sama, di antara orang-orang yang akan pergi ke tujuannya masing-masing. Aku dengan perasaanku yang membuncah, yang coba kukendalikan agar tidak mengatakan apa-apa.

Ia laki-laki biasa dengan kepedulian yang aneh. Ia membantu membawa barang-barangku setelah mengusir para buruh. Padahal, aku tidak pernah minta tolong.

Beberapa kami menginap di kost-kostan senior yang sama. Belakangan aku tahu ke mana tujuannya, Kalimantan.

Jauh.

Ia melanjutkan perjalanan, dan kisah ini kembali seperti semula.

Aku menjalani hari-hari masa kuliah, mencoba melupakan perasaanku kembali. Berusaha menghapus semua tentangnya.

Namun, entah bagaimana, ia menghubungiku. Aku yang bahkan sudah lupa nomor ponselnya.

Kami menjalani hari-hari dengan saling memberi kabar satu sama lain. Dengan aku yang selalu berusaha menahan rindu. Dengan ia yang tidak kunjung mengatakan apa-apa.

Apa ia tahu tentang perasaanku? Apa ia merasakan hal yang sama.

Hingga suatu hari, saat studiku tinggal menutup buku terakhir. Ia menelpon seperti biasa dan mengatakan, "Kalau aku pulang nanti, mari bertemu. Ada sesuatu yang ingin kukatakan. Aku tidak bisa mengatakannya lewat telepon. Aku tidak mau mengatakannya lewat telepon. Kupikir, itu tidak sopan."

Aku menjalani hari-hari menutup masa studi dengan perasaan berdebar, menunggu ijazah sarjana, dan pulang.

Ia sudah pulang ke kampung halaman setelah merantau begitu lama.

Kupikir, setelah itu kisah kami akan sampai pada akhir yang bahagia. Setelah ia mengajak untuk hidup berdua.

Rupanya, takdir memang tidak pernah membiarkan kisah ini berjalan mulus. Sembilan tahun menyukainya, orang tuaku justru mencarikan laki-laki lain untuk dijodohkan dengan aku.

Aku kalut dan tidak tahu harus apa. Lalu, ia yang justru berkata, "Kalau ada orang lain yang melamarmu, terima saja. Jangan menungguku. Aku laki-laki yang tidak punya apa-apa."

Keluarga seperti kompak tidak berpihak padaku. Aku yang sudah mengenyam pendidikan sarjana, tidak bisa menikah dengan ia yang hanya SMA.

Mereka kompak melarang karena ia bukan laki-laki yang berada. Laki-laki yang hanya tamatan SMA.

Apa pernikahan harus diukur dari status sosial seseorang? Memangnya cinta memandang tingginya sebuah gelar?

Sejak hari itu, kisah kami menjadi dingin. Aku yang tidak punya kekuatan apa-apa, ia tidak bertindak apapun. Kami menjadi asing dan saling menjauh.

Perasaan cinta yang bersemi selama sembilan tahun harus berakhir hanya karena ia laki-laki biasa yang tidak punya apa-apa.

***
Nurrahmah Sa Fa