- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Sebuah Nama Disudut Hati Terdalam


TS
novikikirizkia
Sebuah Nama Disudut Hati Terdalam
Quote:
Bicara soal cinta, setiap manusia memiliki kisahnya masing-masing. Baik kisah sedih, maupun kisah bahagia.
Status teman kecil menjadi awal mula, di mana kami menjadi bahan bercandaan orang-orang sekitar. Mengatakan kita berjodoh.
Saat itu kami satu sekolah dasar. Satu kelas, di sekolah tak jarang mendengar mereka memberi label kami pacar.
Kami saling curi pandang, saling mencari saat tak saling memandang. Tapi membuang pandangan saat mata saling bertatapan.
Mungkin terlalu dini untuk dikatakan mulai merasakan debar halus dalam hati. Mungkin ini yang dinamakan cinta monyet, cinta pertama. Rasa yang pertama datang, rasa yang pertama singgah.
Saat kelulusan SD. Ingin kucapkan selamat atas kelulusannya. Tapi, egoku menentang.
Quote:
Google
Tanpa kusadari, aku merasa kehilangan. Kami melanjutkan sekolah di kota yang berbeda.
Hampa.
Ada sesuatu yang hilang, ada sesuatu yang kurang. Seperti ada dimensi lain yang memisahkan.
Liburan sekolah menjadi masa yang kutunggu. Saat itulah aku bisa melihatnya, meskipun hanya sekilas. Beruntung rumah kami bersebrangan, tak perlu banyak modal dan usaha untuk sekedar melihat aktifitasnya.
Sejak saat itu, aku memiliki kebiasaan baru. Mengintip. Mencuri pandang. Namun, saat mata saling menatap, debar jantung begitu kencang, menjadikanku salah tingkah. Rindu? Pasti. Ingin menyapa, tapi malu. Egoku kembali menentang.
Quote:
Saat itu, kami kelas sembilan. Entah bagaimana caranya dia memiliki nomor ponselku. Bahagia, sangat bahagia.
Hampir setiap hari kami saling berbalas pesan. Hampir setiap hari dia menelepon. Hatiku hanya tentang dia, dia dan dia.
Sampai suatu hari, kami berbincang cukup serius.
"Gimana ya ngomongnya, biar nggak aneh dan biasa?" tanyanya.
"Ngomong apa?" tanyaku curiga.
"Aku sayang kamu. Kamu sayang aku nggak?" ujarnya.
Mataku membesar, bibirku membentuk huruf O. Aku kaget, tak percaya, speechless.
"Kok diem? Kamu marah ya?" terkanya.
"Sejak kapan sayang?"
"Kayaknya kamu juga udah tau sejak kapan."
Hening.
Mencoba mencerna semua kata-katanya. Mencoba merasakan, ini nyatakah? Atau halusinasi belaka? Kucubit lenganku sendiri, ternyata, sakit.
"Gimana?" tanyanya lagi.
"Emm, nanti ya. Aku mau tryout, mau belajar dulu," kilahku.
"Ya udah, aku tunggu. Semoga lancar tryout-nya Sayang." Dia memutus panggilan.
Desir halus kembali muncul. Debar jantung tak beraturan. Aku hanya melongo.
Selesai tryout, dia kembali menghubungi, meminta jawaban yang kujanjikan sebelumnya.
"Gimana?" tanyanya.
"Gimana apanya?" kilahku salag tingkah.
"Aku sayang kamu, kamu sayang sama aku nggak?" tanyanya.
"Enggak."
"Kok enggak? Kenapa?"
"Nggak mungkin kalo nggak sayang," jawabku malu.
Sejak saat itu kami menjadi sepasang kekasih yang dibuai asmara.
Semua berjalan normal. Hubungan jarak jauh kami sangat baik. Hampir tidak pernah kami bertengkar. Semua dilumuri oleh cinta dan kasih sayang. Sampai suatu hari, Rita—temanku—mumemberikan peringatan.
"Kamu nggak takut pacaran jarak jauh? Kalo dia selingkuh gimana?"
"Nggak mungkinlah, aku kenal dia dari kecil," kilahku.
"Di kota ceweknya cantik-cantik, loh. Nggak mungkin nggak kepincut. Coba aja di tes, setia nggak?" tantangnya.
Disepakatilah kami membuat rencana. Dimana Rita akan menjadi wanita penggoda. Di sinilah petaka mulai datang. Kami sering bertengkar, mulai dari hal kecil yang bukan masalah menjadi besar. Semua karena rasa curigaku yang kian membesar.
"Dia bilang nggak punya cewek. Dia nembak aku," ujar Rita.
Hatiku panas. Emosi meledak. Merasa dipermainkan. Bagaimana bisa aku tak dianggap seperti ini. Amarah sudah mendominasi, tak lagi ingin mendengar penjelasan.
"Kamu nembak cewek? Kamu bilang ga ada pacar? Aku ini siapa? Aku udah tau semuanya, kita putus!"
Dia terus meminta maaf, terus membujuk, meminta kesempatan untuk memperbaiki semua. Namun egoku menentang. Semua selesai.
Rasa sakit begitu membekas. Namun, namanya belum benar-benar sirna. Kami masih sering saling curi pandang. Beberapa kesempatan saling berkirim pesan bahkan kami sempat kembali menjalin hubungan. Tapi lagi-lagi kembali kandas.
Tasa tak lagi sama, kini jarak tak lagi memisahkan, tapi keadaan tak mengizinkan kami bersama. Aku yang memutuskan karena egoku, demi kebutuhan organisasi yang tidak membolehkan memiliki pasangan. Ia terpaksa mengalah, karena keputusanku sudah benar-benar bulat.
Ternyata tak selesai sampai di situ. Kami kembali menjalin hubungan. Ebtah mengapa rasa itu tak juga kunjung hilang. Selalu ada rindu yang menyelimuti.
Berharap kali ini adalah yang terkahir, tak ingin lagi ada perpisahan. Aku ingin berjuang hingga akhir. Tak lagi ingin melepaskan seperti sebelumnya.
Pesanku tak terbalas, panggilanku diabaikan. Aku frustasi. Marah oada keadaan. Apakah ini sebuah pembalasan? Saat rasa mulai dipupuk kembali, harapan mulai dirajut dengan penuh cinta.
Dia menghilang.
Aku bertahan selama sebulan tanpa kabar. Dan aku menyerah. Pesan terakhir saat mengakhiri semua juga tak mendapat jawaban.
Aku kembali patah.
Quote:
Aku melampiaskan sakitku dengan menjalin hubungan dengan pria lain. Aku tahu, dia tak rela. Tapi lukaku benar-benar parah. Aku patah, bahkan remuk.
Meski ada orang lain mengis hariku. Namamu belum juga sirna, cintaku belum juga usai. Desir halus itu kembali datang saat kami saling menatap. Rasa yang entah bagaimana harus dijabarkan.
Di sudut hati ini, namamu terukir indah, di sana. Kau belum benar-benar hilang, ternyata namamu masih bersemayam.
Pesan terakhir diakhir penantian itu masih saja teringat. Meninggalkan juga meninggalkan bekas goresan.
[Kamu mau dilamar?]
[Semoga kamu bahagia.]
Pesan terakhir yang ternyata sama-sama merasa tersakiti. Bertahan tanpa kepastian memang menyakitkan. Meninggalkan tapi hati tetap tinggal juga tak kalah menyedihkan.
Nyatanya, kita memang bukan untuk disatukan. Saat hati saling menjaga, namun jarak ada diantara kita.
Saat jarak tak lagi menjadi bencana, saat itu rasa bosan mulai mendera.
Rasa itu tak lagi sama, hanya saja masih ada sebuah nama di sudut hati yang terdalam bisa kapan saja menggema.
Semakin ingin melupakan, semakin sering nama itu datang.
Tak lagi ingin menentang, tak lagi ingin melawan, biarlah sang waktu yang akan menyamarkan, sehingga dengan perlahan namamu mulai memudar.
Diubah oleh novikikirizkia 26-04-2020 11:35






nona212 dan 40 lainnya memberi reputasi
39
1.1K
174


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan