- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cinta Itu Jika Bisa Melihat Ia Bahagia Dengan Yang Lainnya


TS
irummm
Cinta Itu Jika Bisa Melihat Ia Bahagia Dengan Yang Lainnya
Dua Hati yang Tak Bisa Menyatu
Cinta tak harus saling memiliki. Namun hati yang mencinta pasti akan selalu menyimpan semua kenangannya meski telah disakiti.
Semua berawal saat ane mengenal seorang cowok beda usia dan keyakinan saat masih duduk di bangku SMA. Seorang cowok berperawakan tinggi, kurus dan berhidung mancung mirip aktor India.
Perkenalan yang gak sengaja sebenarnya belum menggetarkan hati, sebab dia masih jadi kekasih sahabat ane. Lagian, ane sadar betul antara dia dan ane bakal seperti langit dan bumi, baik dalam hal status sosial maupun keyakinan.
Waktu berjalan. Karena seringnya ane diminta nemenin sahabat saat nemui dia, jadilah kami pun menjadi akrab. Diam-diam cowok itu menyita perhatianku. Bukan karena kegantengan dan ketajirannya, tapi lebih pada sikap dewasanya. Meski umurnya lebih muda dari ane setahun.
Setelah dia dan sahabat ane putus, entah siapa yang memulai duluan, kami pun semakin akrab saja. Setiap hari cowok itu main ke rumah, menjemput sekolah dan mengajak nonton. Kita berdua udah kayak teman tapi mesra.
Ane ingat betul, sepulang dari nonton, cowok itu menyatakan perasaannya. Dengan hati berbunga, akupun menerima, meski aku sadar hal ini akan menyakiti sahabat ane yang udah jadi mantan dia.
Hari-hari kami jalani sangat menyenangkan. Seperti pasangan muda-mudi pada umumnya, kami juga sering mengisi waktu dengan menyelesaikan tugas bersama.
Semua terasa indah. Hingga akhirnya semua berubah. Saat itu dia mengajak ke toko kue mengambil pesanan ibunya mengendarai mobil yang baru dibelikan orang tuanya.
"Na, maafkan aku. Ibu tahu kita pacaran dan dia menentang. Kemarin aku di sidang dihadapan bapak dan kakak-kakakku sampai ibu menggebrak meja. Dia mau aku memutuskan hubungan kita," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tahu hal ini akan terjadi. Aku sadar siapa kamu dan aku. Gak papa kalau memang itu keputusan orang tuamu. Aku ga mau kamu menentangnya." Suaraku terputus seakan menyangkut di tenggorokan.
Dia pun mengambil tanganku dengan tangan kirinya. Perhatiannya masih tertuju jalan lurus yang hanya dilewati beberapa kendaraan saja.
"Jangan begitu, Na. Aku akan tetap memperjuangkan cinta kita. Kamu mau, kan ikut keyakinanku? Kita bisa lari dan menikah. Gimana?"
Aku tertawa sinis. "Gila, kamu. Emang mau putus sekolah? Kamu berani? Gak sayang sama warisan orang tuamu?"
"Nunggu aku lulus setahun lagi. Setelah itu kita lari dan nikah. Kita bisa jual mobil pemberian mereka ini sebagai modal, gimana?"
"Enggak. Aku gak setuju. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti harus memaksakan perasaan juga. Aku mau mengikuti ajaran keyakinanmu, tapi enggak mau mengajari kamu jadi anak yang durhaka."
Sampai di situ kami sama-sama diam. Suasana di dalam mobil jadi hening seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu.
Setelah seminggu dari kejadian itu, ane memutuskan untuk pergi sejauh mungkin agar dia fokus pada sekolah dan cita-citanya. Jangan bilang ane tegar dan baik-baik saja, begitu juga dia.
Aku sadar, mencintai orang yang tidak tepat resikonya adalah bubar. Semua ane lakukan demi kebahagiaan dia dan orang tuanya. Meski kenyataan pahit justru yang ane dengar.
Setahun setelah perpisahan kami dan dia kehilangan jejak ane, dia terperangkap dalam pergaulan yang salah dan mengkonsumsi obat terlarang. Setelah itu dia pun menikah dengan seseorang yang sangat ane kenal.
Walau pahit dan sakit mendengarnya, ane sudah tak bisa berbuat apa. Sebab ane juga sudah memiliki tanggung jawab berbeda. Dari saat itu ane merasa bersalah.
Semoga saat ini kehidupannya sudah lebih baik dan bahagia dengan keluarganya. Sebab ane juga sudah bahagia dengan kehidupan yang saat ini dijalani.
Secinta apapun kita pada kekasih dan ingin memperjuangkan, tetap saja kalah jika belum ditetapkan sebagai jodoh pilihan Tuhan.
Quote:
Cinta tak harus saling memiliki. Namun hati yang mencinta pasti akan selalu menyimpan semua kenangannya meski telah disakiti.
Semua berawal saat ane mengenal seorang cowok beda usia dan keyakinan saat masih duduk di bangku SMA. Seorang cowok berperawakan tinggi, kurus dan berhidung mancung mirip aktor India.
Perkenalan yang gak sengaja sebenarnya belum menggetarkan hati, sebab dia masih jadi kekasih sahabat ane. Lagian, ane sadar betul antara dia dan ane bakal seperti langit dan bumi, baik dalam hal status sosial maupun keyakinan.
Waktu berjalan. Karena seringnya ane diminta nemenin sahabat saat nemui dia, jadilah kami pun menjadi akrab. Diam-diam cowok itu menyita perhatianku. Bukan karena kegantengan dan ketajirannya, tapi lebih pada sikap dewasanya. Meski umurnya lebih muda dari ane setahun.
Setelah dia dan sahabat ane putus, entah siapa yang memulai duluan, kami pun semakin akrab saja. Setiap hari cowok itu main ke rumah, menjemput sekolah dan mengajak nonton. Kita berdua udah kayak teman tapi mesra.
Ane ingat betul, sepulang dari nonton, cowok itu menyatakan perasaannya. Dengan hati berbunga, akupun menerima, meski aku sadar hal ini akan menyakiti sahabat ane yang udah jadi mantan dia.
Hari-hari kami jalani sangat menyenangkan. Seperti pasangan muda-mudi pada umumnya, kami juga sering mengisi waktu dengan menyelesaikan tugas bersama.
Quote:
creditSemua terasa indah. Hingga akhirnya semua berubah. Saat itu dia mengajak ke toko kue mengambil pesanan ibunya mengendarai mobil yang baru dibelikan orang tuanya.
"Na, maafkan aku. Ibu tahu kita pacaran dan dia menentang. Kemarin aku di sidang dihadapan bapak dan kakak-kakakku sampai ibu menggebrak meja. Dia mau aku memutuskan hubungan kita," ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Aku tahu hal ini akan terjadi. Aku sadar siapa kamu dan aku. Gak papa kalau memang itu keputusan orang tuamu. Aku ga mau kamu menentangnya." Suaraku terputus seakan menyangkut di tenggorokan.
Dia pun mengambil tanganku dengan tangan kirinya. Perhatiannya masih tertuju jalan lurus yang hanya dilewati beberapa kendaraan saja.
"Jangan begitu, Na. Aku akan tetap memperjuangkan cinta kita. Kamu mau, kan ikut keyakinanku? Kita bisa lari dan menikah. Gimana?"
Aku tertawa sinis. "Gila, kamu. Emang mau putus sekolah? Kamu berani? Gak sayang sama warisan orang tuamu?"
"Nunggu aku lulus setahun lagi. Setelah itu kita lari dan nikah. Kita bisa jual mobil pemberian mereka ini sebagai modal, gimana?"
"Enggak. Aku gak setuju. Aku mencintaimu, tapi bukan berarti harus memaksakan perasaan juga. Aku mau mengikuti ajaran keyakinanmu, tapi enggak mau mengajari kamu jadi anak yang durhaka."
Sampai di situ kami sama-sama diam. Suasana di dalam mobil jadi hening seperti orang asing yang baru pertama kali bertemu.
Setelah seminggu dari kejadian itu, ane memutuskan untuk pergi sejauh mungkin agar dia fokus pada sekolah dan cita-citanya. Jangan bilang ane tegar dan baik-baik saja, begitu juga dia.
Aku sadar, mencintai orang yang tidak tepat resikonya adalah bubar. Semua ane lakukan demi kebahagiaan dia dan orang tuanya. Meski kenyataan pahit justru yang ane dengar.
Setahun setelah perpisahan kami dan dia kehilangan jejak ane, dia terperangkap dalam pergaulan yang salah dan mengkonsumsi obat terlarang. Setelah itu dia pun menikah dengan seseorang yang sangat ane kenal.
Walau pahit dan sakit mendengarnya, ane sudah tak bisa berbuat apa. Sebab ane juga sudah memiliki tanggung jawab berbeda. Dari saat itu ane merasa bersalah.
Semoga saat ini kehidupannya sudah lebih baik dan bahagia dengan keluarganya. Sebab ane juga sudah bahagia dengan kehidupan yang saat ini dijalani.
Secinta apapun kita pada kekasih dan ingin memperjuangkan, tetap saja kalah jika belum ditetapkan sebagai jodoh pilihan Tuhan.






embunsuci dan 21 lainnya memberi reputasi
22
675
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan