Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

hvzalfAvatar border
TS
hvzalf 
PELANGIKU
PELANGIKU

Entah harus kumulai darimana tulisan ini. Setiap kata yang kurangkai, kembali kuhapus. Ada sesak di dada yang tak mampu kutahan. Perih di hati kembali menyayat, luka di jiwa seolah menganga. Gemetar di jemariku kala kenangan membuka kembali cakrawala kisah ini.

Pelangiku. Begitulah kata romantisme yang kusematkan untuknya. Bahkan dia lebih indah dari apa yang kupanggil untuknya. Hari-hariku nampak lebih berwarna kala mengenalnya, entah berapa puisi yang pernah kutuliskan. Bagiku rangkaian kata itu tak cukup menggambarkan keanggunannya. Walau aku juga tak pernah mengerti kenapa dulu aku secinta itu padanya. Hingga ketika perpisahan itu terjadi, sakit hati ini sudah tak bisa lagi kurasakan. Ya aku mati rasa. Hati yang biasanya selalu ada namanya, perlahan mulai memudar.

PELANGIKU

Bagiku cinta semacam gaya gravitasi, memberikan keseimbangan dalam roda kehidupan. Agar benda-benda langit tak jatuh ke bumi, agar manusia tetap berjalan sesuai koridornya. Begitu pula cinta bekerja. Ia diciptakan untuk saling mengimbangi, melengkapi, dan tentu saling menghidupi. Namun, ada kalanya cinta juga tak dapat dimengerti, seperti rumus-rumus dalam ilmu eksak yang kadang kali sulit terpecahkan atau ia semacam bahasa isyarat yang tak mudah diterjemahkan.

Tiga tahun membina sebuah asmara, tak menjamin bahwa kau akan memilikinya. Ternyata belajar memaknai cinta tak cukup bahwa kau telah setia saja, namun sakit karenanya pun adalah bagian dari risikonya. Saat itu, kala Oktober tengah manja dengan musim hujannya, duniaku tiba-tiba gelap seperti mendung yang menghitam oleh kumpulan awan yang siap menumpahkan air langitnya.

PELANGIKU

"Maaf, kita tak bisa lagi bersama." Aku perlu membaca ribuan kali untuk memahami maksud dari kalimat pesan itu. Setengah tak percaya, semua ini tidak mungkin. Bukankah kami saling mencintai? Bukankah aku dan dia terus merindui? Namun, mengapa kalimat yang sama sekali tak pernah ada dalam kamusku itu tiba-tiba menjadi kosakata baru yang harus kubaca?

"Apa maksudmu? Aku tak paham," balasku dalam pesan itu.

"Kita tak bisa bersama lagi, Fiz. Aku udah gak bisa harus menjalani hubungan jarak jauh begini. Aku rapuh tak sekuat dulu."

Kutarik napas dalam saat membaca alasannya memutuskan kisah kami. Aku menyadari bahwa Pelangiku sudah menemukan langit lainnya. Walau di mataku ia tetap indah. Namun, tidak baginya. Ia butuh tempat bersandar yang lebih terasa. Dan itu bukan aku lagi.

PELANGIKU

Di akhir tahun 2017, aku bertemu dengannya. Perjalanan 12 jam harus kutempuh. Aku kembali menginjakkan kaki ke tanah Pasundan di mana dulu aku menimba ilmu. Aku menunggunya di sebuah taman di dekat masjid agung di Sukabumi. Seikat kembang mawar masih kusimpan rapi. Ah sebelumnya aku tak seromantis ini. Tubuhku terasa beku, detak jantungku semakin cepat berdetak, keringat dingin mengucur sedikit demi sedikit.

Lalu ketika ia datang, kupejamkan mataku. Samar-samar kudengar suaranya, lembut memanggil namaku. Jiwaku kian bergetar dan melambung.

"Pelangiku." Senyumnya merekah, jilbab merah yang dikenakan benar-benar membuat wajahnya nampak anggun. Kuberikan mawar itu kepadanya.

"Makasih." Aku menunduk lebih dalam sembari mengangguk.

Kami berbagi cerita hari itu. Rasanya dunia milik kami berdua. Aku merasakan hal yang tak biasa. Kala menatap matanya secara nyata. Kuselami lebih dalam, sambil berdoa semoga Tuhan menyatukan kami. Di tempat wisata Selabintana kami berjalan-jalan menikmati indahnya pemandangan kebun teh, menyusuri sungai sambil membuka memori lamaku. Dulu aku pernah kemping pramuka di tempat ini. Suasananya hampir sama, masih tetap dingin.

"Aku melihat bidadari."
"Di mana?" jawabnya sambil mengambil foto kupu-kupu di ranting pohon.
"Sini biar kutunjukkan." Ia mendekatiku di tepi sungai.
"Mana?" tanyanya penasaran.
"Di dalam air itu," timpalku. Ia tersenyum dan mencubit lenganku, kala melihat wajahnya sendiri dari dalam air.
"Awww! Ternyata cubitan bidadari buat ketagihan," godaku sekali lagi.
"Gombal!" Ia memercikkan air ke wajahku.
"Air dari tangan bidadari ternyata manis." Kali ini pukulan lembut mendarat di dadaku. Ia tertawa kemenangan.

PELANGIKU

Ah. Sudah cukup rasanya. Aku tak mau menuliskan lagi semuanya. Itulah pertemuan pertama dan terakhirku. Meski orangtuanya telah merestui, namun apadaya keinginanku untuk melawan takdir Tuhan tak mampu kulalukan.

Tiga hari sebelum ia memutuskan, kami memang bertengkar hebat. Saat tanpa sepengatahuanku ia berjalan bersama laki-laki lain satu hari penuh. Aku tak tahu siapa dia, hanya yang kutahu dari pengakuannya pria itu adalah teman organisasinya. Tapi, apapun penjelasannya aku masih tak terima. Hingga baru kutahu bahwa memang itu adalah lelaki yang sedang mendekatinya. Terakhir kudengar kabar, mereka telah menjalin hubungan.

Sesakit inikah jatuh cinta? Pantas jika Qais menjadi Majnun karena kehilangan Laila. Begitulah cinta mengajarkanku. Kini, semuanya telah berubah. Duniaku kembali indah, kala seseorang datang membawa lenteranya. Kamu yang sering kupanggil Ibu kost, karena kedewasaanmu. Terimakasih. Telah melengkapi segala kekuranganku. Menjadi sabar di setiap masalahku. Berdoalah semoga wabah ini segera berakhir. Dan kujabat tangan ayahmu sebagai tanda aku siap menjadi bagian dari hidupmu. Semoga surat Ar-Rahman sebagai syarat meminangmu menjadi awal rahmat Allah yang diberikan untuk kita. Aamiin

Sumber :
Opini pribadi berdasarkan pengalaman

Gambar : Dokpri
Diubah oleh hvzalf 21-04-2020 02:13
Alya917Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 69 lainnya memberi reputasi
70
923
53
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan