- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Warga Belum Siap Beralih Moda Saat KRL Dihentikan


TS
MUF0REVER
Warga Belum Siap Beralih Moda Saat KRL Dihentikan
Warga Belum Siap Beralih Moda Saat KRL Dihentikan
Sebagian warga keberatan dengan rencana penghentian operasi kereta rel listrik. Rencana ini bakal menghambat mobilitas mereka yang masih bekerja di Jakarta.
Oleh
Aditya Diveranta
17 April 2020 18:42 WIB
·
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga dan komunitas pengguna kereta menyatakan belum siap apabila kereta rel listrik dihentikan selama masa pembatasan sosial berskala besar. Mereka belum ada rencana beralih moda angkutan saat uji coba penghentian operasional kereta yang berlangsung mulai Sabtu (18/4/2020).
Usulan penghentian operasional kereta rel listrik (KRL) sebelumnya disampaikan Pemerintah Kota Bekasi, Bogor, Depok, dan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Usulan itu telah diterima Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan dirapatkan dengan pengelola moda, yakni PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Penghentian KRL menurut rencana berlangsung mulai 18 April seiring dengan hari berlakunya PSBB di Tangerang Raya.
Meski begitu, sejumlah warga belum siap beralih moda apabila operasional KRL dihentikan. Indah Amelia (25), warga Kota Depok yang masih bekerja di kantor setiap Selasa dan Jumat, masih belum memikirkan bagaimana ke kantor jika tidak naik KRL. Cara yang memungkinkan baginya adalah beralih ke bus Transjakarta.
”Saya belum pikirkan kalau KRL itu nanti berhenti sampai 14 hari mendatang. Biar kata masih uji coba, tetapi kalau itu diperpanjang sampai Selasa pas saya ngantor, pasti akan bikin susah. Sementara kalau naik bus, saya belum tahu rutenya,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Pendapat yang sama diungkapkan Jamilah (24). Sebab, pekerja di perusahaan teknologi komunikasi untuk transportasi publik ini masih harus bekerja di kantor empat hari dalam sepekan. Dia sangat bergantung pada rute kereta menuju Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Apabila memang KRL berhenti, dia berencana naik kendaraan pribadi untuk menuju kantor. Meski begitu, ia masih berpikir karena biaya untuk pergi-pulang akan naik empat kali lipat dari biasanya.
”Saya masih menimbang-nimbang naik kendaraan pribadi. Pertimbangan paling besar adalah karena biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk naik mobil atau sepeda motor dari Bogor ke Jakarta Selatan. Saya berharap KRL jangan distop karena banyak yang butuh,” tutur Jamilah.
Pertimbangan terhentinya moda kereta juga bakal menyulitkan Kaswari (40). Penjual pakaian yang biasa bepergian dari Stasiun Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, ini akan sulit bepergian untuk mengambil stok pakaian di tokonya.
Terkait keluhan sejumlah pengguna, Perwakilan Forum Pengguna dan Pecinta Kereta Api (FPPKA), Pandu Aji Prakoso, menyampaikan, sebagian besar anggota dari beberapa forum komunitas menyampaikan keberatan atas rencana penghentian KRL. Meski begitu, para anggota yang kecewa kini bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Sebagian dari mereka ada yang naik kendaraan pribadi, sebagian lagi ada yang mencari tumpangan kendaraan dari teman.
Meski begitu, Pandu menyampaikan, sebagian pihak yang kini tidak diuntungkan adalah kaum pekerja menengah ke bawah. Ia menceritakan pengalaman seorang anggota komunitas, ada sebagian orang yang siap memgundurkan diri dari pekerjaan jika KRL berhenti operasi dalam waktu lama.
”Saya memahami sebagian teman komunitas yang kini kesulitan karena KRL terbatas. Masalahnya, kan, warga tidak ada moda alternatif untuk ke Jakarta, sementara yang bekerja di kantor masih banyak. Banyak dari mereka yang bekerja di bidang distribusi, produsen, dan lain-lain yang tidak bisa berhenti begitu saja,” ujar Pandu
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung, menilai kebijakan pengurangan suplai transportasi publik untuk menekan mobilitas saat PSBB adalah cara pandang yang keliru. Strategi yang tepat adalah pengurangan permintaan terhadap transportasi, yang berhulu dari pengurangan aktivitas. ”Aktivitas yang ada harus disisir lagi supaya benar-benar sesuai peraturan PSBB,” ujarnya.
Ellen mencontohkan, kemungkinan terdapat pekerja kebersihan di fasilitas kesehatan Jakarta yang rumahnya di area Bodetabek. Peran pekerja tersebut, meski bukan tenaga medis, tetap vital untuk menjamin kebersihan lingkungan faskes sehingga kehadirannya di tempat kerja dibutuhkan demi pelayanan publik, tetapi mungkin ia tidak sanggup mengongkosi perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Ada 11 sektor kegiatan usaha yang masih dibolehkan beroperasi di DKI, sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di DKI. Sektor itu adalah bidang kesehatan, bahan pangan, energi, komunikasi/teknologi informasi, keuangan, logistik, perhotelan, konstruksi, industri strategis, pelayanan utilitas, dan kebutuhan sehari-hari.
Menurut Ellen, pemerintah harus jeli menyisir perusahaan yang masih beraktivitas di luar 11 sektor tersebut. Jika hal itu sudah maksimal, ia merekomendasikan penyisiran berlanjut terhadap pelaku usaha yang masih beroperasi karena dibolehkan pergub dan masih berpotensi mengurangi jumlah pegawai yang wajib masuk kantor.
Contohnya, PLN mesti terus beroperasi karena suplai energi listrik bagi masyarakat harus tetap terjamin. Namun, Ellen berpendapat, karyawan nonteknis, seperti karyawan bidang pengembangan sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran, bisa diatur untuk bekerja dari rumah. Tidak semua karyawan mesti ke lokasi kerja untuk tetap produktif.
”Ada bidang-bidang tertentu yang memang harus berjalan dan kenyataannya banyak yang bekerja di Jakarta datang dari luar Jakarta. Permintaan transportasi publik itu yang semestinya dikurangi,” ucapnya.

https://bebas.kompas.id/baca/metro/2...rl-dihentikan/
Memang sulit kalau dihentikan, terus warga mau naik apa untuk memenuhi kebutuhannya, sementara beberapa pekerja informal masih butuh kereta. Beberapa kantor yg melayani masyarakat umum pegawainya juga masih butuh kereta.
Naik ojek juga lagi gak boleh untuk bawa penumpang pake ojek
Sebagian warga keberatan dengan rencana penghentian operasi kereta rel listrik. Rencana ini bakal menghambat mobilitas mereka yang masih bekerja di Jakarta.
Oleh
Aditya Diveranta
17 April 2020 18:42 WIB
·
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian warga dan komunitas pengguna kereta menyatakan belum siap apabila kereta rel listrik dihentikan selama masa pembatasan sosial berskala besar. Mereka belum ada rencana beralih moda angkutan saat uji coba penghentian operasional kereta yang berlangsung mulai Sabtu (18/4/2020).
Usulan penghentian operasional kereta rel listrik (KRL) sebelumnya disampaikan Pemerintah Kota Bekasi, Bogor, Depok, dan Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Usulan itu telah diterima Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan dirapatkan dengan pengelola moda, yakni PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Penghentian KRL menurut rencana berlangsung mulai 18 April seiring dengan hari berlakunya PSBB di Tangerang Raya.
Meski begitu, sejumlah warga belum siap beralih moda apabila operasional KRL dihentikan. Indah Amelia (25), warga Kota Depok yang masih bekerja di kantor setiap Selasa dan Jumat, masih belum memikirkan bagaimana ke kantor jika tidak naik KRL. Cara yang memungkinkan baginya adalah beralih ke bus Transjakarta.
”Saya belum pikirkan kalau KRL itu nanti berhenti sampai 14 hari mendatang. Biar kata masih uji coba, tetapi kalau itu diperpanjang sampai Selasa pas saya ngantor, pasti akan bikin susah. Sementara kalau naik bus, saya belum tahu rutenya,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Pendapat yang sama diungkapkan Jamilah (24). Sebab, pekerja di perusahaan teknologi komunikasi untuk transportasi publik ini masih harus bekerja di kantor empat hari dalam sepekan. Dia sangat bergantung pada rute kereta menuju Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Apabila memang KRL berhenti, dia berencana naik kendaraan pribadi untuk menuju kantor. Meski begitu, ia masih berpikir karena biaya untuk pergi-pulang akan naik empat kali lipat dari biasanya.
”Saya masih menimbang-nimbang naik kendaraan pribadi. Pertimbangan paling besar adalah karena biaya dan tenaga yang dikeluarkan untuk naik mobil atau sepeda motor dari Bogor ke Jakarta Selatan. Saya berharap KRL jangan distop karena banyak yang butuh,” tutur Jamilah.
Pertimbangan terhentinya moda kereta juga bakal menyulitkan Kaswari (40). Penjual pakaian yang biasa bepergian dari Stasiun Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, ini akan sulit bepergian untuk mengambil stok pakaian di tokonya.
Terkait keluhan sejumlah pengguna, Perwakilan Forum Pengguna dan Pecinta Kereta Api (FPPKA), Pandu Aji Prakoso, menyampaikan, sebagian besar anggota dari beberapa forum komunitas menyampaikan keberatan atas rencana penghentian KRL. Meski begitu, para anggota yang kecewa kini bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Sebagian dari mereka ada yang naik kendaraan pribadi, sebagian lagi ada yang mencari tumpangan kendaraan dari teman.
Meski begitu, Pandu menyampaikan, sebagian pihak yang kini tidak diuntungkan adalah kaum pekerja menengah ke bawah. Ia menceritakan pengalaman seorang anggota komunitas, ada sebagian orang yang siap memgundurkan diri dari pekerjaan jika KRL berhenti operasi dalam waktu lama.
”Saya memahami sebagian teman komunitas yang kini kesulitan karena KRL terbatas. Masalahnya, kan, warga tidak ada moda alternatif untuk ke Jakarta, sementara yang bekerja di kantor masih banyak. Banyak dari mereka yang bekerja di bidang distribusi, produsen, dan lain-lain yang tidak bisa berhenti begitu saja,” ujar Pandu
Pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen Tangkudung, menilai kebijakan pengurangan suplai transportasi publik untuk menekan mobilitas saat PSBB adalah cara pandang yang keliru. Strategi yang tepat adalah pengurangan permintaan terhadap transportasi, yang berhulu dari pengurangan aktivitas. ”Aktivitas yang ada harus disisir lagi supaya benar-benar sesuai peraturan PSBB,” ujarnya.
Ellen mencontohkan, kemungkinan terdapat pekerja kebersihan di fasilitas kesehatan Jakarta yang rumahnya di area Bodetabek. Peran pekerja tersebut, meski bukan tenaga medis, tetap vital untuk menjamin kebersihan lingkungan faskes sehingga kehadirannya di tempat kerja dibutuhkan demi pelayanan publik, tetapi mungkin ia tidak sanggup mengongkosi perjalanan dengan kendaraan pribadi.
Ada 11 sektor kegiatan usaha yang masih dibolehkan beroperasi di DKI, sesuai Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di DKI. Sektor itu adalah bidang kesehatan, bahan pangan, energi, komunikasi/teknologi informasi, keuangan, logistik, perhotelan, konstruksi, industri strategis, pelayanan utilitas, dan kebutuhan sehari-hari.
Menurut Ellen, pemerintah harus jeli menyisir perusahaan yang masih beraktivitas di luar 11 sektor tersebut. Jika hal itu sudah maksimal, ia merekomendasikan penyisiran berlanjut terhadap pelaku usaha yang masih beroperasi karena dibolehkan pergub dan masih berpotensi mengurangi jumlah pegawai yang wajib masuk kantor.
Contohnya, PLN mesti terus beroperasi karena suplai energi listrik bagi masyarakat harus tetap terjamin. Namun, Ellen berpendapat, karyawan nonteknis, seperti karyawan bidang pengembangan sumber daya manusia, keuangan, dan pemasaran, bisa diatur untuk bekerja dari rumah. Tidak semua karyawan mesti ke lokasi kerja untuk tetap produktif.
”Ada bidang-bidang tertentu yang memang harus berjalan dan kenyataannya banyak yang bekerja di Jakarta datang dari luar Jakarta. Permintaan transportasi publik itu yang semestinya dikurangi,” ucapnya.

https://bebas.kompas.id/baca/metro/2...rl-dihentikan/
Memang sulit kalau dihentikan, terus warga mau naik apa untuk memenuhi kebutuhannya, sementara beberapa pekerja informal masih butuh kereta. Beberapa kantor yg melayani masyarakat umum pegawainya juga masih butuh kereta.
Naik ojek juga lagi gak boleh untuk bawa penumpang pake ojek
Diubah oleh MUF0REVER 18-04-2020 17:46






sebelahblog dan 7 lainnya memberi reputasi
8
694
9


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan