Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

pionic24Avatar border
TS
pionic24
Wong Samar, Sosok Manusia Tak Kasat Mata Disekitar Kita
      Selamat pagi siang sore malam sahabat, ketemu lagi sama saya Pionic24, mungkin temen2 sudah pada boring diem dirumah semua. kali ini pion mau sedikit berberbagi cerita pengalaman bukan pengalaman satu orang, tapi lebih tepatnya cerita2 yang pion dapatkan dari kenalan Pion yang nantinya bakal Pion jadikan satu buah cerita, oke langsung saja ya.

     Wong Samar atau kalo diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi 'Manusia Tak Kasat Mata'. Mungkin bagi sebagaian orang bukanlah sebuah cerita yang asing lagi, dibeberapa daerah mungkin juga mempunyai nama lain untuk sosok mahluk yang menyerupai manusia ini. Mereka hidup seperti manusia namun tidak nampak di mata manusia, bukan berarti sosok ini tidak pernah menampakan hujud atau berinteraksi dengan manusia. Justru, Wong Samar inilah sosok yang paling sering berinteraksi dengan manusia dibandingkan mahluk tak kasat lainnya. Buktinya, banyak cerita2 dimasyarakat yang berkembang mulai dari orang2 yang melihat pemukiman bagus  di dasar jurang, mendengar suara gambelan di lembah gunung atau bukit, mencium bau masakan didalam hutan, hingga hiruk pikuk keramain pasar ditengah malam tanpa ada sosok yang nampak. Ini membuktikan betapa dekat manusia yang kasat dengan manusia yang tak kasat mata itu.

ilustrasi dapat dari mesin pencari
     
           Ada beberapa cerita dari masyarakat yang menjelaskan tentang apa dan siapa sosok Wong Samar ini, konon Wong Samar ini merupakan sosok mahluk yang tinggal berkelompok, sebagaimana manusia pada umumnya, mereka membangun struktur yang hampir sama dengan kita, mulai dari pemimpin tertinggi hingga terendah dan umumnya tinggi rendah pangkat mereka dalam struktur kelompoknya ditentukan oleh power kekuatan metafisik mereka atau tingkatan kesaktian mereka, makin sakti sosoknya makin tinggi kedudukannya. Berbicara soal kesaktian atau kemampuan mereka sama saja dengan menelisik kemampuan supranatural manusia biasa, diumpamakan begini 'seorang manusia biasa bisa dibilang sakti kalo bisa masuk ke alam Wong Samar ini, begitu pula sebaliknya sosok seorang Wong Samar ini kalo bisa nampak kealam manusia makan bisa dibilang sosok itu mumpuni dialamnya' sehingga kalau ada manusia yang hilang dan konon disembunyikan mahluk ini maka bisa dipastikan yang menyembunyikan bukan mahluk kelas rendahan karena mampu membuat sosok berhujud masuk ke dalam dimensi tak kasat mata.
 
       Ada cerita yang akan Pion paparkan mengenai pertemuan atau bersentuhannya alam manusia dan alam Wong Samar yang begitu dekat. Cerita ini diceritakan oleh Nenek kerabatnya Pion, sebut saja namanya Odah J (Odah dalam bahasa bali artinya Nenek). Odah J dimasa mudanya adalah seorang yang sangat rajin mengabdikan diri di Pura Dalem desanya, hampir setiap mendpat giliran Ngayah (ngayah artinya melakukan tugas dengan tulus tanpa meengharap imbalan) Odah J datang ke Pura pagi2 untuk sekedar menyapu atau bersih2 di pelataran pura. Pada masa itu pura belum seperti sekarang, bangunannya ditembok ukir megah nan tinggi. Jaman dulu pura masih sangat klasik temboknya dari bata mentah yang disusun dengan batu kapur sebagai perekat. Halaman Pura jaman dulu tidak seperti sekarang yg diaspal sebagai tempat parkir, dulu masih tanah dihiasi lumut dan dedaunan kering dari pohon Pule dan Bringin yang meranggas setiap harinya. Sehingga jaman dulu bersih2 Pura adalah pekerjaan yang melelahkan dan yang terpenting jaman dulu tidak ada istilah warga yang mengupah tenaga buruh untuk kerja bakti di Pura, jadi manual saja, siapa yang dapat tugas dia yang kerja.

       Pada suatu ketika Odah J mendapat tugas bersih2 di Pura Dalem, hari itu kebetulan Dia mendapat tugas yang cukup melelahkan, hari itu Odah J harus mencuci gelas dan peralatan masak yang digunakan kemarin dalam upacara Nyineb  (Nyineb: hari terahir penutupan upacara agama). Hari itu paginya Odah J menyempatkan diri untuk ke pasar guna membeli diterjen, jaman dauhulu diterjen tidak semua warung yang menjual, karena terlalu asik ngobrol dengan dagang2 dipasar tak terasa sudah hampir jam 11 siang, Odah J pun bergegas ke Pura untuk menyelesaikan tugasnya, sesampainya di Pura, matahari sudah berada tepat diatas kepala, menunjukan bahwa pas tengah hari. Karena waktu yang sudah benar-benar siang maka Odah J tanpa berfikir panjang lagi segera menuju dapur umum unruk mengambil peralatan masak yang kelihatan bertumpuk dan mulai mengeluarkan aroma tidak sedap karena kemarin malam tidak sempat dibersihkan orang2 karena sibuk dengan urusan persembahyangan.
 
            Odah J segera mengambil keranjang besar yang biasa digunakan membawa kelapa, dimasukan beberapa nampan, pengorengan, dan gelas2 yang lumayan banyak dan masih berisi ampas2 kopi yang sudah mulai mengering. Pada masa itu belum ada aliran PDAM jadi untuk mencuci warga biasanya memanfaatkan aliran sungai. Sungai terdekat yang ada disana adalah sungai yang tepat berada di sebelah barat bangunan Pura jaraknya cukup dekat mungkin sekitar 20meter dari tembok pembatas. Namun kondisi jalan yang dilalui cukup menukik turun serta jalan disana juga cukup licin. Dengan langkah agak gemetar Odah J berjalan menyusuri jalan setapak tanah menuju sungai itu, sesekali Odah J hampir terpeleset karena jalan yang agak basah, untungnya meski matahari bersinar terik Odah J tidak merasa kepanasan sebab pohon beringin besar yang tumbuh di belakang Pura dahan dan daunnya  membentang luas memayungi jalan menuju sungai itu.

 gambar ilustrasi sungai

            Tak berapa lama sampailah Odah J di sungai tersebut, segera Ia turun air yang jernih dan begitu dingin seakan mengobati rasa pegal akibat berjalan membawa beban yang lumayan berat di kepalanya, segera Odah J menurunkan beberapa perabotan masak untuk dicucui. Suasana hening begitu terasa di sungai itu, yang terdengar hanyalah suara air yang mengalir lambat, serta suara tonggeret yang Cumiik keras, diselingi sesekali suara burung yang bernyanyi di kejauhan.
“Nampaknya ini masih tengai tepet (dibahasa-Indonesiakan: jam 12 tepat tengah hari) para petani yang biasanya ke sawah atau keladang tidak ada yang lewat sini, mungkin sudah pada beristirahat”, gumam Odah J sambil sesekali melirik sekitar ditengah kesibukannya membersihkan gelas yang bertumpuk dicelupkan ke aliran sungai. Sampai suatu ketika ditengah kesibukan menggosok gelas dengan sabut kelapa Odah J dikejutkan dengan suara langkah yang terdengar samar2 dari arah hulu sungai, segera Odah J melihat kearah hulu sungai tapi tidak ada seorangpun yang melintas. “Mungkin cuma suara daun bambu  kering yang jatuh”, ucap Odah J berusaha menjauhkan pikiran aneh2 di kepalanya, sampai “PLUKK..PLUKK.PLUKK!”, suara langkah itu tambah keras dan semakin mendekat dari hulu sungai ke hilir mendekati Odah J yang membungkuk mencuci gelas.

          Beberapa detik Odah J merasa badannya merinding, rasa takut mulai membuat detak jantungnya semakin kencang, meski sing bolong begini, dengan suasan sungai yang sepi terlebih lagi di sebelah sungai ini adalah jurang yang terjal dan dipenuhi lebatnya pohon bambu rasanya sulit meyakinkan diri kalau ada orang yang bakal lewat dari jurang menanjak dan bisa tembus sampai kesini. Ditengah rasa panik dan takut Odah J sudah pasrah tidak berani melirik jalan setapak menujuhilir sungai dikepalnya Odah J sudah terbayang mungkin sosok tinggi besar berbulu yang wajahnya menyeramkan, atau wanita dengan gaun putih berpunggung bolong, entah kenapa pikiran Odah J sudah begitu negatif sehingga membuatnya gemetar. Tanpa melihat sedikitpun Odah J meletakan beberapa gelas yang sudah bersih ke kerandang pelan2, terdengar gelas saling berbenturan karena Odah J merem tidak berani melihat, sambil merem Odah J berkata

 “Jero tiang nak ngayah sampunang plegendange (tuan saya bekerja jangan di ganggu)” Odah J berkata entah pada siapa menurutnya siapapun yang mendengar mudah2an tidak menggangu pekerjaannya.

            Perlahan Odah J memberanikan diri membuka mata, ternyata tidak ada siapapun di hulu sungai itu, hanya beberapa daun bamboo kering yang berguguran diterpa angin Odah J menghembuskan nafas panjang lega rasanya ternyata tidak ada siapapun “BLUUKKK” suara air begitu nyaring seperti ada sesuatu yang masuk kedalamnya, Odah J yang awalnya lega mendadak kaku ketika suara itu begitu jelas dan keras tepat di belakannya, didekat tepi di seberang sungai, dilanjutkan suara tangis seorang anak “huu..huu.huuu..”begitu lembut namun juga menyat hati dan kali ini Odah J benar2 sudah Ngidem alias merem dalam hati sudah berapa doa Ia panjatkan.
             Memberanikan diri Odah J melirik ke seberang suangai. Ternyata Odah J begitu terkejut dengan apa yang Ia lihat, disebrang sana ternyata ada seorang perempuan umur 30th  menggendong seorang anak laki-laki umur kisaran 3th menangis tersedu di gendongan wanita itu, nampaknya wanita itu tida lain adalah ibu dari anak yang digendongnya. Odah J kembali lega ternyata yang disebelahnya hanya orang biasa. Meskipun begitu Odah J merasa ada yang sedikit ganjil dari wanita itu, karena pakaian dari wanita.

         “Kejadian itu kurang lebih tahun 70an tahun itu meski masyarakat masih miskin tapi untuk beli baju mungkin masih mampu tapi yang Odah lihat orang itu malah tidak pakai baju, gayana malah seperti jaman kerajaan Bali kuno, yang telanjang dada”. Jelas Odah J kepada Pionic24.

Gambar ilustrasi wanita bali jaman dulu. (sory tidak pionic sensor belom bisa edit)

            Meskipun nampak aneh tetapi Odah J tidak mau ambil pusing, toh pekerjaanya mau selesai. Begitu Odah J selesai merapikan kembali gelas2 dan nampan yang Ia cuci ke keranjang Odah J beranjak, diliriknya wanita yang mengajak anak di sebelahnya, Odah J bisa melihat anak dari wanita itu duduk di tepian sungai bermain air, sementara ibunya sibuk mencuci. Disinilah letak keanehan yang amat sangat membuat Odah J berpikir sampai sekarang. Yang dicuci oleh wanita itu adalah Bokor (sejenis nampan untuk meletakan sesajen) yang terbuat dari perak dan jumlahnya banayak sekali yang dijemur berjejer di tepi sungai. Odah J memperkirakan jumlahnya ada 20-30an Bokor, betapa kayanya orang itu tapi kok membeli baju tidak bisa. Selain itu wanita asing itu sama sekali tidak pernah Odah J lihat padahal setiap hari mandi dan mencucui bersama warga di sungai ini tetapi kok orang ini tidak di kenal, ingin rasanya ingin menanyakan pertanaan pada wanita itu tapi entah kenapa Odah J benar2 merasa ngekoh (malas) yang timbul dalam dirinya.  

Gambar ilustrasi bokor perak, gambar asal  di google.

              Wanita itu bergerak begitu cepat, belum beberapa saat menjemur, segera wanita itu merapikan dan menyusun Bokor-nya di keranjang dan bergegas menjujunjungnya dikepala sambil menggendong anaknya. Tumpukan bokor yang dibawa dalam keranjang itu disyusun tingginya hampir 1,5 meter bertumpuk seperti gunung bayangkan betapa beratnya, tapi wanita itu berjalan begitu santai sambil menggendong anaknya berjalan ditepian ke hilir sungai.
           Odah J memperhatikan dengan jelas saat sampai di tikungan aliran sungai yang disebelahnya adalah jurang, wanita itu nampak berjalan lurus, dan perlahan meniti anak tangga menurun sampai ahirnya hilang. Odah J terheran sejak kapan disana ada anak tangga. segera Odah J menyusul ke hulu sungai untuk melihat tangga itu, baru sampai disana Odah J dapat melihat jurang yang sangat dalam dan rimbun tentunya tidak ada anak tangga untuk turun ke bawah, dan rasanya tidak ada alasan yang masuk akal untuk orang membangun tangga kesana. bersambung....



GodaimeHokageAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan GodaimeHokage memberi reputasi
2
2.8K
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan