- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita Luar Negeri
Paramedis di New York Saat Pandemi Corona: 'Seperti Serangan 9/11 Setiap Hari'


TS
Lockdown666
Paramedis di New York Saat Pandemi Corona: 'Seperti Serangan 9/11 Setiap Hari'


Seorang paramedis di New York menuturkan kisahnya membantu 12 orang dalam sehari yang tak bisa diselamatkan. Ia menggambarkan, orang-orang meninggal seperti bom diledakkan di kota.
Inilah kisah Anthony Almojera, paramedis di New York, Amerika Serikat, yang ikut membantu menangani orang-orang jatuh sakit di tengah wabah virus corona.
Almojera memulai tugas pada pukul 06:00 pagi dan ia bertugas selama 16 jam, yang membuatnya hanya punya waktu tidur lima jam saja.
Apa yang ia tuturkan ini terjadi pada hari Minggu, 5 April, yang ia gambarkan sebagai hari paling sulit selama kariernya sebagai paramedis.
Ia mengatakan wabah virus corona membuat dokter dan paramedis kewalahan. "Sejak tengah malam, kami menerima 1.500 telepon permintaan bantuan," tuturnya.
Sumber daya terbatas, sementara permintaan bantuan melonjak sejak wabah menghajar kota.
Per hari mereka bisa menerima lebih dari 6.500 permintaan bantuan.
Sistem layanan darurat Kota New York adalah salah satu yang paling sibuk di dunia, setiap hari bisa menerima 4.000 telepon permintaan bantuan.
Seperti serangan 11 September 2001, setiap hari
Kadang ada kejadian luar biasa atau bencana besar di kota itu. Hari-hari tersibuk adalah ketika terjadi serangan 11 September pada 2001.
Pada hari ketika Menara Kembar diserang, layanan darurat menerima 6.400 permintaan bantuan.
Wabah virus corona membuat permintaan bantuan meningkat tajam menjadi lebih dari 6.500 dan itu terjadi setiap hari.
Berikut kisah Almojera seperti yang ia tuturkan kepada wartawan BBC Alice Cuddy.
Kami mencermati lonjakan kasus virus corona terjadi sejak 20 Maret. Namun dua hari kemudian, korban berjatuhan seakan-akan ada bom besar dijatuhkan di New York.
Ketika kasus meningkat tajam, sistem layanan kesehatan tidak siap. Kami bertanya ke diri kami sendiri, "Bagaimana mungkin kami akan bekerja dalam situasi seperti ini, dengan sumber daya yang terbatas?"
Pada akhirnya, pertanyaan ini kami kesampingkan, karena kami harus bekerja, apa pun situasinya.
Saat ini, sekitar 20% dari total staf medis tengah sakit. Sejumlah di antaranya terkena virus Corona, yang lainnya menjalani perawatan intensif. Dua di antaranya harus dibantu dengan alat pernafasan.
Situasi ini membayangi pikiran ketika saya harus menangani panggilan darurat pertama.
Orang pertama yang saya tangani ini laki-laki.
Keluarganya mengatakan, ia demam dan batuk-batuk dalam lima hari terakhir. Ketika kami datang, ia kesulitan bernapas. Kami membantunya selama 30 menit sebelum ia menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Setelah semuanya selesai, saya dan tim kembali ke mobil, membersihkan diri dan semua peralatan. Setelah itu, kami menekan tombol di alat kami, yang menandakan bahwa kami siap melaksanakan tugas berikutnya.
Dua puluh menit kemudian kami mendapat panggilan, lagi-lagi pasien yang mengalami masalah jantung.
Ia menunjukkan gejala yang sama, kami melakukan prosedur yang sama pula, dan ia juga tak bisa diselamatkan.
Virus Corona menyerang paru-paru, yang berakibat pada tubuh kehilangan pasokan oksigen, yang pada akhirnya membuat organ-organ penting tak bisa berfungsi.
Saya tekan tombol, yang kemudian diikuti dengan panggilan darurat. Hasilnya sama: korban meninggal dunia.
Kejadian yang terus berulang sepanjang hari
Saya tekan tombol lagi, dan tak lama kemudian ada panggilan darurat. Kali ini orang yang kami tangani tak ada hubungannya dengan wabah virus Corona. Ia meninggal karena bunuh diri.
Saya sedikit lega, untuk pertama kalinya dalam tugas saya hari ini, saya menangani kasus yang tak berhubungan dengan virus Corona.
Hingga pukul 11:00 hari ini, saya telah menangani kasus henti jantung (cardiac arrest).
Di waktu normal, saya menangani kasus henti jantung antara dua hingga tiga per minggu. Memang, kadang bisa lebih, tapi apa yang saya alami pagi ini, tak pernah terjadi sebelumnya. Tak pernah terjadi sebelumnya.
Kasus yang ketujuh hari ini membuat saya terpukul.
Kami masuk ke rumah yang berada di lantai tujuh satu blok apartemen. Seorang perempuan sulit bernapas, anaknya mencoba menolong, tapi tak banyak membantu.
Sang anak mengatakan kepada kami bahwa ibunya "menunjukkan gejala terkena virus Corona".
Ibunya memang tidak menjalani tes, namun ia sangat yakin bahwa ibunya telah terkena virus.
Saya bertanya kepadanya, "Apakah kamu satu-satunya anggota keluarga di sini?" Ia menjawab iya. Ia mengatakan bahwa beberapa hari sebelumnya tim medis datang untuk menolong ayahnya.
Sang ayah punya gejala yang sama dan meninggal dunia.
Di salah satu kamar, tim medis mencoba menolong sang ibu. Saya berharap ia masih bisa diselamatkan.
Saya melihat wajah anaknya dan ia menunjukkan raut wajah yang sudah sangat familiar, setelah bekerja sebagai anggota tim medis dalam 17 tahun. Tatapan yang meminta saya menyampaikan kabar baik.
Mata dokter yang merawatnya mengatakan tidak.
Sekarang saya harus mengatakan kepadanya bahwa ia kehilangan kedua orang tua hanya dalam hitungan hari.
Ayahnya belum dimakamkan dan karenanya ia akan menghadiri dua pemakaman sekaligus. Itu pun kalau ia beruntung, ada prosedur pemakaman bagi ayah dan ibunya.
Saat ini pemerintah kota tidak melaksanakan prosedur pemakaman sebagaimana lazimnya.
sumur
https://news.detik.com/bbc-world/d-4...from=wp_nhl_25
9/11 all over the world







anasabila dan 3 lainnya memberi reputasi
4
848
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan