- Beranda
- Komunitas
- Buat Latihan Posting
Tertipu Penipu


TS
muyasy
Tertipu Penipu
#Cerpen
Apes banget hari ini. Kehujanan di trotoar saat aku menuju halte. Udara dingin mulai menerpa bajuku yang basah. Bodohnya aku, baju lengan pendek yang kupakai begitu tipis bahannya. Menampakkan lekuk tubuhku begitu kentara.
Hari mulai gelap, tapi bus yang kutunggu belum terlihat. Tidak biasanya. Hujan pun mulai mereda. "Tunggu setengah jam lagi, jika bus yang kutunggu belum terlihat, terpaksa aku berjalan kaki," gumamku lirih.
Jika gawaiku tidak tertinggal di kosan, pasti sejak dari tadi aku sudah pesan ojol. Benarkan, apes banget diriku hari ini. Untung saja, aku bawa uang.
Tiin ... tiin ....
Seketika aku terlonjak kaget. Dasar! Siapa yang membunyikan klakson dengan kencang! Gendang telingaku hampir pecah.
Tampak ada laki-laki gagah menunggangi kuda besinya yang berwarna merah. Dia memakai jaket, celana, sepatu, aah ... pokoknya serba hitam, jadi penasaran siapa dia. Semoga mukanya tidak hitam seperti jaketnya. Ish ... aku mikir apa, sih!
Dia lalu menghampiriku. Penutup kepalanya masih bertengger di kepalanya. Apa tidak pengap lama-lama memakainya?
"Hey ... serius amat ngeliatnya. Mau kuantar, nggak? Jam segini masih di halte."
Hah, siapa dia? Apa aku kenal dengannya? Bagaimana bisa mengenalinya jika penutup kepalanya masih dipakai?
"Apa aku mengenalmu?"
"Yaelah ... nih, aku Sam." Sambil melepaskan penutup kepalanya dan kemudian dia duduk disampingku.
Ya, aku pernah melihatnya, tapi dimana? Oh, iya. Sam temannya Vino, tetanggaku di kampung.
"Eh, iya. Aku baru ingat. Kamu dari mana? Kok bisa ada di sini?" tanyaku hanya basa-basi. Sedikit canggung. Hawa mulai terasa dingin meskipun tidak hujan, tapi baju ini.
"Harusnya, aku yang tanya? Ngapain di halte sendirian?"
Malah balik nanya. Ini orang, ya bikin aku kesal saja.
"Kalau orang di halte, ya nunggu bus. Inikan tempat pemberhentian bus!" jawabku sewot.
"Dasar, bodoh. Memang kamu tidak tahu, kemarin ada siaran di televisi, jika semua bus Raharja berdemo besar-besaran."
"Kok aku tidak tahu. Tahu begini juga tadi aku nebeng temenku," ucapku seraya menunduk. Aku pulangnya bagaimana kalau tidak ada bus. Apes, apes.
"Bareng aku, saja. Kita 'kan searah." Tawarnya dengan menampakkan senyum manisnya. Gantengnya.
"Oo ... ehm ... kamu tahu dari mana kalau kita searah. Aku 'kan belum bilang tempat tinggalku." Panas wajahku menjalar sampai ke dada. Reflek jadinya sampai aku gelagapan. Tak sengaja tadi sama-sama bersitatap.
"Sebelah kosmu itu rumah tanteku. Aku menginap di sana semenjak aku mencari kerja dan merantau ke Bandung. Gimana? Mau, tidak? Hampir malam, lho."
Ternyata dia keponakannya tante Erna. Itu tadi, ngapain menakuti segala. Sengaja.
"Boleh, deh. Aku sudah kedinginan dari tadi nungguin bus," jawabku mengiyakan ajakannya.
Terasa badanku menghangat. Ada jaket hitam yang menutupi tubuhku. Kulirik Sam disamping. Dia tersenyum sembari menganggukkan kepala, bertanda dia bilang aku harus memakainya. Memang baju yang kupakai telah basah karena hujan. Merona pipiku jika diperlakukan seperti ini.
Ragu kumenaiki sepeda motornya. Sedikit rasa canggung, karena aku di kota ini tak pernah berboncengan dengan lelaki, meskipun aku mengenal Sam. Kupasang helm yang diberikan olehnya. Kedua tanganku memegang pundaknya. Takut jatuh jika dia mengendarai sepeda motornya dengan kecang.
Setelah itu, melesatlah kuda besi merah menembus jalanan yang tak begitu ramai. Meliuk-liuk rambutku diterpa angin. Sedikit ada bekas rintik hujan mengenai wajahku, dikala pohon menggoyangkan daunnya.
***
Saat kejadian di halte beberapa waktu lalu, Sam hampir setiap hari mengantarku pulang sebelum aku ke halte. Lumayan, buat menghemat uang. Bagi anak kosan seperti diriku, ini adalah rejeki nomplok. Tak ada yang sanggup menolak jika ada lelaki tampan yang mau menjemput dan mengantar pulang bekerja, tanpa pamrih.
Lama-kelamaan, kumerasa hatiku terisi oleh bunga-bunga cinta. Perhatian yang dia berikan padaku, sedikit demi sedikit kumerasakan yang namanya jatuh cinta. Seperti inikah? Sam mungkin tidak tahu, apa yang kurasakan saat didekatnya.
Setangkai bunga, coklat, kartu ucapan, dan masih banyak lagi yang Sam kirimkan padaku. Teman sesama kosan lebih sering menggodaku saat ini. Bukannya malu, tapi malah bahagia. Apa aku sudah gila karena cinta?
Apa Sam hanya merayuku dengan mengirim semua itu? Aku harus bertanya, sebelum hati ini memiliki rasa yang terlampau jauh.
"Ike, aku mau ngomong serius denganmu," ucap Sam saat makan malam bersamaku di warung lesehan.
Aku hanya mengangguk dan terus mengunyah nasi goreng di mulutku. Pasti Sam ingin mengungkapkan perasaannya padaku. Aah ... aku merasa kegerahan.
"Sejak pertama melihatmu di kampung, aku sudah mengagumimu. Lalu, kita bertemu di halte beberapa hari lalu, rasanya pencarianku telah usai. Hemm ... maukah kau jadi pacarku?"
Pernyataan yang dilontarkannya, membuatku terkesiap tak percaya. Bukan tempat romantis yang kuinginkan, ataupun benda memikat yang ia berikan, tetapi ungkapan isi hatinya yang membuatku terpana. Namun, entah ada apa dalam relung hatiku? Ada rasa ragu yang tiba-tiba hinggap.
"Jujur, aku tidak suka berpacaran. Kata ayah, jika ada lelaki yang menyukaimu, jadikan dia kekasih halalmu, bukan kekasih pemuas nafsu," jawabku dengan hati-hati. Takut jika Sam kecewa.
"Ayahmu tidak tahu kalau kita pacaran. Jangan takut, aku akan menjagamu," ujarnya seraya menggenggam tanganku. Meyakinkan diriku, agar menuruti perkataannya. Namun, sayang, aku menolak dengan halus.
Kulihat raut kecewa membingkai wajahnya. Meskipun ayah jauh dariku, tapi aku tetap menuruti apa kata orang tuaku.
Perkataan Sam, membuatku tambah ragu. Dia tidak terlihat setia, seperti ada yang ditutupinya. Aku tahu dari sinar matanya, hanya menunjukkan nafsu.
Tidak ada bedanya, Sam tetap mengantarku pulang seperti biasa. Kalaupun ada waktu untuk mengantarku bekerja, dia tetap suka rela melakukannya. Tidak ada kecanggungan seperti yang kupikirkan, Sam tetap seperti biasanya.
Menelfon sampai larut malam atau chattingan sampai kelelahan, setiap hari kulakukan dengannya. Jika kutawari untuk melamarku, dia hanya menjawab 'nanti'. Semoga saja bisa terwujud.
***
Tangisku tak berhenti saat dia terus menghubungiku. Chat yang berulang sampai puluhan sengaja tidak kubalas. Malas.
Tak kusangka, kebohongan besar yang ia tutupi sangat apik, membuatku menjadi gadis yang paling bodoh. Untung saja, beberapa waktu lalu, aku tidak menerima ajakannya untuk pacaran. Kebaikan, ketulusan dan cintanya yang ia berikan padaku semua itu bohong.
[Flash back]
(Ike, bukannya di foto yang kamu buat status itu adalah Sam, temannya Vino)
Dia adalah Mbak Widya, kakak iparku.
"Iya, Mbak. Memangnya kenapa? Aku sungguh tidak berpacaran dengannya. Hanya saja, dia saat ini dekat denganku." Terpaksa sedikit berbohong kepada Mbak Widya. Takut jika dia bilang kepada ayah nanti.
(Ya, ampun. Sejak kapan kamu dekat dengannya! Sam sudah bertunangan dengan Endah, anak tetangga desa sebelah. Beberapa bulan lagi dia akan menikah. Segera jauhi dia!)
"Mbak Wid tahu dari mana jika Sam akan menikah? Dia tidak pernah menyinggung soal lamaran dengan seseorang, apalagi aku tidak pernah melihat cincin di jari manisnya," ujarku dengan tubuh bergetar. Sungguh, hati ini begitu sakit.
(Ini, coba lihatlah dengan seksama.)
Kulihat foto seorang lelaki tampan memakai baju batik senada dengan wanita di sampingnya. Terlihat serasi. Lelaki itu adalah Sam.
Runtuhlah air mata yang sedari tadi sengaja kubendung. Pertahananku roboh seketika melihat laki-laki yang selama ini begitu baik dan perhatian padaku, ternyata hanya kepalsuan agar aku bisa dipikatnya.
(Endah adalah sepupu Vino, Ke. Saat lamaran, keluarga Vino sengaja mengajak keluarga kita, tapi hanya kamu yang tidak ingin ikut. Kamu ingat, 'kan.)
(Sudahlah, untung kamu masih dekat, tidak pacaran dengannya. Saran, Mbak. Jauhi dia segera!)
Setelah mengiyakan permintaan kakak iparku, segera kumatikan benda tipis di tanganku. Anganku melayang. Mengingat hampir sebulan dekat dengan Sam. Ada benih-benih cinta yang telah kurasakan. Begitu indah dan sekarang, hancur tak tersisa.
[Flash back end]
Menghindari seseorang yang sudah lama menjadi tambatan hati, sangatlah sulit. Sampai kusengaja tak masuk kerja selama dua hari. Pikiranku selalu terfokus pada foto itu.
Gawaiku berbunyi setiap waktu. Sam tak pernah lelah menghubungiku. Akan kuakhiri semua.
"Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi.
(Galak amat. Harusnya aku yang tanya kamu. Kenapa selalu menghindariku? Memangnya ada apa denganmu?)
"Aku ingim bertanya denganmu. Tolong, jawab dengan jujur."
(Oke, memang tanya apa?)
"Kamu akan menikah, 'kan. Kenapa kau ingin menjadikan aku pacarmu! Aku kecewa!" bentakku menggema ke seluruh ruangan.
(Hemm ... iya. Aku akan menikah, tapi aku mencintaimu, Ke.)
"Kamu jangan egois. Endah sudah kamu lamar sudah lama. Apa jadinya jika semua orang mendengar, nanti mereka menganggapku merebut dirimu darinya!"
(Aku tidak peduli! Aku sangat mencintaimu.)
"Jawab aku! Pilih aku atau Endah!" Sesak, begitu sesak dadaku kini.
(Aku tidak bisa memilih. Aku mencintai kalian berdua.)
Seringaian tak puas oleh jawaban dari seorang bedebah, "Kau harus memilih satu diantara kami."
(Sungguh, aku tidak bisa.)
Oke, aku tidak ingin berlama-lama meluapkan emosiku. Tenagaku hampir habis, karena meladeninya. Kucapkan kata terakhir kali.
"Jauhi aku! Meskipun kau menyukaiku. Aku tak peduli. Nikahi Endah, kasihan dia jika wanita yang sudah terikat, akan kau putus bila menerimaku yang tak tahu diri ini. Anggap saja kita tak pernah bertemu. Terima kasih atas perhatianmu selama ini."
Kulempar gawaiku ke atas kasur. Tangisku pun pecah. Menggema seperti rintihan pesakitan.
Keesokannya, kukemasi semua bajuku ke koper. Kembali ke kampung, melenyapkan ingatan yang menjadi masa lalu. Biarlah menjadi kenangan. Kenangan pahit yang terperih.
Gresik, 01042020
#End

Apes banget hari ini. Kehujanan di trotoar saat aku menuju halte. Udara dingin mulai menerpa bajuku yang basah. Bodohnya aku, baju lengan pendek yang kupakai begitu tipis bahannya. Menampakkan lekuk tubuhku begitu kentara.
Hari mulai gelap, tapi bus yang kutunggu belum terlihat. Tidak biasanya. Hujan pun mulai mereda. "Tunggu setengah jam lagi, jika bus yang kutunggu belum terlihat, terpaksa aku berjalan kaki," gumamku lirih.
Jika gawaiku tidak tertinggal di kosan, pasti sejak dari tadi aku sudah pesan ojol. Benarkan, apes banget diriku hari ini. Untung saja, aku bawa uang.
Tiin ... tiin ....
Seketika aku terlonjak kaget. Dasar! Siapa yang membunyikan klakson dengan kencang! Gendang telingaku hampir pecah.
Tampak ada laki-laki gagah menunggangi kuda besinya yang berwarna merah. Dia memakai jaket, celana, sepatu, aah ... pokoknya serba hitam, jadi penasaran siapa dia. Semoga mukanya tidak hitam seperti jaketnya. Ish ... aku mikir apa, sih!
Dia lalu menghampiriku. Penutup kepalanya masih bertengger di kepalanya. Apa tidak pengap lama-lama memakainya?
"Hey ... serius amat ngeliatnya. Mau kuantar, nggak? Jam segini masih di halte."
Hah, siapa dia? Apa aku kenal dengannya? Bagaimana bisa mengenalinya jika penutup kepalanya masih dipakai?
"Apa aku mengenalmu?"
"Yaelah ... nih, aku Sam." Sambil melepaskan penutup kepalanya dan kemudian dia duduk disampingku.
Ya, aku pernah melihatnya, tapi dimana? Oh, iya. Sam temannya Vino, tetanggaku di kampung.
"Eh, iya. Aku baru ingat. Kamu dari mana? Kok bisa ada di sini?" tanyaku hanya basa-basi. Sedikit canggung. Hawa mulai terasa dingin meskipun tidak hujan, tapi baju ini.
"Harusnya, aku yang tanya? Ngapain di halte sendirian?"
Malah balik nanya. Ini orang, ya bikin aku kesal saja.
"Kalau orang di halte, ya nunggu bus. Inikan tempat pemberhentian bus!" jawabku sewot.
"Dasar, bodoh. Memang kamu tidak tahu, kemarin ada siaran di televisi, jika semua bus Raharja berdemo besar-besaran."
"Kok aku tidak tahu. Tahu begini juga tadi aku nebeng temenku," ucapku seraya menunduk. Aku pulangnya bagaimana kalau tidak ada bus. Apes, apes.
"Bareng aku, saja. Kita 'kan searah." Tawarnya dengan menampakkan senyum manisnya. Gantengnya.
"Oo ... ehm ... kamu tahu dari mana kalau kita searah. Aku 'kan belum bilang tempat tinggalku." Panas wajahku menjalar sampai ke dada. Reflek jadinya sampai aku gelagapan. Tak sengaja tadi sama-sama bersitatap.
"Sebelah kosmu itu rumah tanteku. Aku menginap di sana semenjak aku mencari kerja dan merantau ke Bandung. Gimana? Mau, tidak? Hampir malam, lho."
Ternyata dia keponakannya tante Erna. Itu tadi, ngapain menakuti segala. Sengaja.
"Boleh, deh. Aku sudah kedinginan dari tadi nungguin bus," jawabku mengiyakan ajakannya.
Terasa badanku menghangat. Ada jaket hitam yang menutupi tubuhku. Kulirik Sam disamping. Dia tersenyum sembari menganggukkan kepala, bertanda dia bilang aku harus memakainya. Memang baju yang kupakai telah basah karena hujan. Merona pipiku jika diperlakukan seperti ini.
Ragu kumenaiki sepeda motornya. Sedikit rasa canggung, karena aku di kota ini tak pernah berboncengan dengan lelaki, meskipun aku mengenal Sam. Kupasang helm yang diberikan olehnya. Kedua tanganku memegang pundaknya. Takut jatuh jika dia mengendarai sepeda motornya dengan kecang.
Setelah itu, melesatlah kuda besi merah menembus jalanan yang tak begitu ramai. Meliuk-liuk rambutku diterpa angin. Sedikit ada bekas rintik hujan mengenai wajahku, dikala pohon menggoyangkan daunnya.
***
Saat kejadian di halte beberapa waktu lalu, Sam hampir setiap hari mengantarku pulang sebelum aku ke halte. Lumayan, buat menghemat uang. Bagi anak kosan seperti diriku, ini adalah rejeki nomplok. Tak ada yang sanggup menolak jika ada lelaki tampan yang mau menjemput dan mengantar pulang bekerja, tanpa pamrih.
Lama-kelamaan, kumerasa hatiku terisi oleh bunga-bunga cinta. Perhatian yang dia berikan padaku, sedikit demi sedikit kumerasakan yang namanya jatuh cinta. Seperti inikah? Sam mungkin tidak tahu, apa yang kurasakan saat didekatnya.
Setangkai bunga, coklat, kartu ucapan, dan masih banyak lagi yang Sam kirimkan padaku. Teman sesama kosan lebih sering menggodaku saat ini. Bukannya malu, tapi malah bahagia. Apa aku sudah gila karena cinta?
Apa Sam hanya merayuku dengan mengirim semua itu? Aku harus bertanya, sebelum hati ini memiliki rasa yang terlampau jauh.
"Ike, aku mau ngomong serius denganmu," ucap Sam saat makan malam bersamaku di warung lesehan.
Aku hanya mengangguk dan terus mengunyah nasi goreng di mulutku. Pasti Sam ingin mengungkapkan perasaannya padaku. Aah ... aku merasa kegerahan.
"Sejak pertama melihatmu di kampung, aku sudah mengagumimu. Lalu, kita bertemu di halte beberapa hari lalu, rasanya pencarianku telah usai. Hemm ... maukah kau jadi pacarku?"
Pernyataan yang dilontarkannya, membuatku terkesiap tak percaya. Bukan tempat romantis yang kuinginkan, ataupun benda memikat yang ia berikan, tetapi ungkapan isi hatinya yang membuatku terpana. Namun, entah ada apa dalam relung hatiku? Ada rasa ragu yang tiba-tiba hinggap.
"Jujur, aku tidak suka berpacaran. Kata ayah, jika ada lelaki yang menyukaimu, jadikan dia kekasih halalmu, bukan kekasih pemuas nafsu," jawabku dengan hati-hati. Takut jika Sam kecewa.
"Ayahmu tidak tahu kalau kita pacaran. Jangan takut, aku akan menjagamu," ujarnya seraya menggenggam tanganku. Meyakinkan diriku, agar menuruti perkataannya. Namun, sayang, aku menolak dengan halus.
Kulihat raut kecewa membingkai wajahnya. Meskipun ayah jauh dariku, tapi aku tetap menuruti apa kata orang tuaku.
Perkataan Sam, membuatku tambah ragu. Dia tidak terlihat setia, seperti ada yang ditutupinya. Aku tahu dari sinar matanya, hanya menunjukkan nafsu.
Tidak ada bedanya, Sam tetap mengantarku pulang seperti biasa. Kalaupun ada waktu untuk mengantarku bekerja, dia tetap suka rela melakukannya. Tidak ada kecanggungan seperti yang kupikirkan, Sam tetap seperti biasanya.
Menelfon sampai larut malam atau chattingan sampai kelelahan, setiap hari kulakukan dengannya. Jika kutawari untuk melamarku, dia hanya menjawab 'nanti'. Semoga saja bisa terwujud.
***
Tangisku tak berhenti saat dia terus menghubungiku. Chat yang berulang sampai puluhan sengaja tidak kubalas. Malas.
Tak kusangka, kebohongan besar yang ia tutupi sangat apik, membuatku menjadi gadis yang paling bodoh. Untung saja, beberapa waktu lalu, aku tidak menerima ajakannya untuk pacaran. Kebaikan, ketulusan dan cintanya yang ia berikan padaku semua itu bohong.
[Flash back]
(Ike, bukannya di foto yang kamu buat status itu adalah Sam, temannya Vino)
Dia adalah Mbak Widya, kakak iparku.
"Iya, Mbak. Memangnya kenapa? Aku sungguh tidak berpacaran dengannya. Hanya saja, dia saat ini dekat denganku." Terpaksa sedikit berbohong kepada Mbak Widya. Takut jika dia bilang kepada ayah nanti.
(Ya, ampun. Sejak kapan kamu dekat dengannya! Sam sudah bertunangan dengan Endah, anak tetangga desa sebelah. Beberapa bulan lagi dia akan menikah. Segera jauhi dia!)
"Mbak Wid tahu dari mana jika Sam akan menikah? Dia tidak pernah menyinggung soal lamaran dengan seseorang, apalagi aku tidak pernah melihat cincin di jari manisnya," ujarku dengan tubuh bergetar. Sungguh, hati ini begitu sakit.
(Ini, coba lihatlah dengan seksama.)
Kulihat foto seorang lelaki tampan memakai baju batik senada dengan wanita di sampingnya. Terlihat serasi. Lelaki itu adalah Sam.
Runtuhlah air mata yang sedari tadi sengaja kubendung. Pertahananku roboh seketika melihat laki-laki yang selama ini begitu baik dan perhatian padaku, ternyata hanya kepalsuan agar aku bisa dipikatnya.
(Endah adalah sepupu Vino, Ke. Saat lamaran, keluarga Vino sengaja mengajak keluarga kita, tapi hanya kamu yang tidak ingin ikut. Kamu ingat, 'kan.)
(Sudahlah, untung kamu masih dekat, tidak pacaran dengannya. Saran, Mbak. Jauhi dia segera!)
Setelah mengiyakan permintaan kakak iparku, segera kumatikan benda tipis di tanganku. Anganku melayang. Mengingat hampir sebulan dekat dengan Sam. Ada benih-benih cinta yang telah kurasakan. Begitu indah dan sekarang, hancur tak tersisa.
[Flash back end]
Menghindari seseorang yang sudah lama menjadi tambatan hati, sangatlah sulit. Sampai kusengaja tak masuk kerja selama dua hari. Pikiranku selalu terfokus pada foto itu.
Gawaiku berbunyi setiap waktu. Sam tak pernah lelah menghubungiku. Akan kuakhiri semua.
"Ada apa?" ucapku tanpa basa-basi.
(Galak amat. Harusnya aku yang tanya kamu. Kenapa selalu menghindariku? Memangnya ada apa denganmu?)
"Aku ingim bertanya denganmu. Tolong, jawab dengan jujur."
(Oke, memang tanya apa?)
"Kamu akan menikah, 'kan. Kenapa kau ingin menjadikan aku pacarmu! Aku kecewa!" bentakku menggema ke seluruh ruangan.
(Hemm ... iya. Aku akan menikah, tapi aku mencintaimu, Ke.)
"Kamu jangan egois. Endah sudah kamu lamar sudah lama. Apa jadinya jika semua orang mendengar, nanti mereka menganggapku merebut dirimu darinya!"
(Aku tidak peduli! Aku sangat mencintaimu.)
"Jawab aku! Pilih aku atau Endah!" Sesak, begitu sesak dadaku kini.
(Aku tidak bisa memilih. Aku mencintai kalian berdua.)
Seringaian tak puas oleh jawaban dari seorang bedebah, "Kau harus memilih satu diantara kami."
(Sungguh, aku tidak bisa.)
Oke, aku tidak ingin berlama-lama meluapkan emosiku. Tenagaku hampir habis, karena meladeninya. Kucapkan kata terakhir kali.
"Jauhi aku! Meskipun kau menyukaiku. Aku tak peduli. Nikahi Endah, kasihan dia jika wanita yang sudah terikat, akan kau putus bila menerimaku yang tak tahu diri ini. Anggap saja kita tak pernah bertemu. Terima kasih atas perhatianmu selama ini."
Kulempar gawaiku ke atas kasur. Tangisku pun pecah. Menggema seperti rintihan pesakitan.
Keesokannya, kukemasi semua bajuku ke koper. Kembali ke kampung, melenyapkan ingatan yang menjadi masa lalu. Biarlah menjadi kenangan. Kenangan pahit yang terperih.
Gresik, 01042020
#End

Diubah oleh muyasy 01-04-2020 08:57






ZieYo dan 7 lainnya memberi reputasi
8
284
15


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan