- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
ULEKAN CINTA


TS
mfitrahilhami
ULEKAN CINTA

“Neng, bakalan nganggur nih aku kalau libur lama di rumah terus,” ucapku pada istri sebelum tidur malam. Hari itu aku dapat berita bahwa sekolah akan diliburkan selama 14 hari demi meminimalkan penyebaran virus Corona.
“Bantuin aku aja, loh, Bang. Ngurus rumah,” jawab istri.
Aku mengangguk setuju. Kayaknya gak sulit.
Tapi dugaanku salah besar. Ketika langit Surabaya siap menyambut mentari pagi dan anak-anak mulai bangun, tugas baru sudah menanti. Yang pertama adalah memandikan para bocah. Aku pikir, memandikan bocah itu gampang, nyatanya enggak sama sekali. Agar mereka mau mandi, aku harus mengejar sambil meneriaki mereka.
“Ayo, mandi!”
“Gak mau,” si sulung lari ke kamar depan. Adeknya ke kamar belakang.
Aku tangkap si sulung, lalu membuka bajunya, ia berontak. Karena tenagaku lebih besar, ia bisa aku kendalikan. Segera kugendong ia ke kamar mandi. Masalah belum selesai sebab di kamar mandi, Ayas mencoba untuk lari lagi. Susah payah aku menahan mengguyur badannya. Dia masih berontak.
“Ayo mandi, nanti badannya bau loh kalau gak mau mandi,” kataku pada Ayas.
“Kayak Abi?” tanyanya polos.
“Iya,” jawabku cepat. Jawaban yang kusesali dua detik kemudian. Kenapa jadi buka aib?
Keringatku bercucuran ketika membasuh tubuhnya dengan sabun. Ayas sukanya main kran air, tak mau diam. Belum lagi sikat gigi, haduh, suruh mangap aja sulit. Padahal sudah aku kasih contoh bagaimana cara mangap yang lebar.
Drama mandi akhirnya usai. Kuhanduki si sulung lalu membawanya keluar kamar mandi. Capek banget ternyata memandikan anak. Tapi sekarang legaaa…
Hanya saja, aku langsung menepuk dahi, tatkala ingat masih ada satu anak lagi yang harus dimandikan. Anak satu ini, menurut istri, lebih bikin capek dan banyak drama saat mandi. Aku menarik nafas dalam.
“Adek,” kupanggil ia yang sudah berada di ruang tamu. “Mandi, yuk?”
Aku menatapnya dengan senyum manis, berusaha terlihat sabar biar dia mau mandi.
Ia melihatku sejenak, lalu lari masuk kamar, “Gak mau!”
Kuatkan antibodiku ya Allah.
****
Akhirnya istri yang memandikan si kecil setelah aku melambaikan tangan pada kamera. Nyerah.
“Bang, katanya mau bantuin aku?”
“Siap.”
“Minta tolong cuciin piring dong.”
Aku bangkit lantas mencuci piring-piring kotor. Bau menyengat segera menyapaku saat mulai mencuci piring. Kuambil sabun, mencucinya pelan-pelan. Seusai mencuci, kuletakkan piring dan gelas di rak piring. Kurasakan kulit tangan ini kasar dan agak kebas.
“Bang, boleh minta bantuan lagi?” tanya istri lagi. “Mau masak perkedel udang, nih. Bantuin ulekin kentangnya. Aku mau masak bumbu lainnya dulu. Biar cepet selesai.”
“Oke,” aku mengacungkan jempol.
Segera kuulek kentang di cobekan. Ternyata pegel juga urusan ulek mengulek ini. Keringat mulai mengucur di pelipis. Nafasku naik turun. Dan capek itu bertambah ketika si sulung menaiki punggungku.
“Awas dulu, Nak,” aku menyuruh Ayas.
“Ayas pingin naik kuda-kudaan.”
“Iya, nanti dulu. Abi masih ngulek kentang ini, loh.”
“Ayas maunya sekarang.”
Ya Allah, mohon kuatkan imunitasku…
Istri melihatku, “Sudah biar aku saja Bang yang ngelanjutin masaknya. Temenin anak-anak main dulu aja. Biar gak boring.”
Aku setuju. Main sama anak-anak. Tapi melepaskan tugas masak-memasak, dan beralih main bersama anak-anak ternyata sama ibarat keluar dari lubang buaya, masuk kandang singa. Sama-sama capek. anak-anak mintanya main macam-macam. Main kuda-kudaan, main jungkat jungkit di kakiku, tak lama acara bermain mulai diselingi backsound tangisan dari adek karena rebutan main. Mereka mulai saling dorong.
“Gantian, ya,” kataku tersengal-sengal karena capek.
“Gak mau! Ayas dulu.”
Adeknya gak terima, “Adek dulu.”
Adek mendorong kakaknya yang berada di atas punggungku hingga terjatuh di kasur. Ayas nangis, gak terima. Ia balas dorong Kayla. Setelah itu Kayla juga nangis. Akhirnya kamar menjadi tempat parade nangis massal. Setiap mendengar mereka menangis, satu per satu saraf otakku kayak pada putus. Aku gak bisa mikir sama sekali.
“Tolong aku, Neng. Ini gimana?” aku memelas. Istri datang ke kamar. Dia tersenyum.
“Gimana, Bang? Enak?” ucap istri, “Aku kayak gini tiap hari, Bang. Jadi bisa dibayangkan kenapa kerjaan rumah sering gak beres, ya karena tingkah anak-anakmu ini. Gitu itu kadang Abang nuduh aku tidur terus di rumah. Bikin sebel. Padahal jangankan tidur, buat masak pun gak bisa kalau anak-anak sudah mulai ribut.”
Tiba-tiba aku tersadar. Benar juga. Ketika aku merasa menjadi orang paling capek kerja di luar, apa kabar istri di rumah? Sekarang aku bisa merasakan betapa ribet kerjaan istri tiap harinya. Memandikan anak, memasak, mencuci piring, menemani anak main serta belajar, melerai anak berantem, bahkan untuk istirahat siang pun dia tak pernah bisa. Aku baru membantu ia beberapa jam saja sudah keringetan, apalagi ia yang stay dari bangun tidur sampai tidur lagi. Pasti capek berat. Pantas ia sering mengeluh sakit pinggang, sakit kepala, nyeri di kaki. Kini aku bisa memahaminya.
Malam itu, sebelum tidur, aku pijit kakinya supaya rileks. Beberapa hari ini ia merasakan pegal-pegal di kaki. Setelah itu kupegang tangannya. Terasa agak kasar kulit tangan istri. Mungkin karena sering curi piring kotor.
“Makasih, ya, Neng,” ucapku lemah.
“Makasih untuk apa?”
“Makasih karena sudah mau jadi istriku.”
“Ih, apaan sih? Kayak pengantin baru aja. Bobo, ah.”
Ia pun memejamkan mata.
Kutatap wajahnya. Dia… Orang yang waktu gadis punya cita-cita jadi wanita karir, kuliah mahal-mahal sampai lulus, namun setelah lulus ia ridho menyimpan ijazah dengan segenap impian yang lalu untuk menemaniku, mengajari anak-anakku, menjaga keluarga kecilku. Di sini, jauh dari sentuhan orang tuanya.
Semoga aku bisa terus menjaga dan memperhatikannya, seperti ia yang terus menjaga dan memperhatikan seluruh isi dompetku.
****
Surabaya, 21 Maret 2020
Fitrah Ilhami, penulis 10 buku tentang keluarga
WhatsApp marketer: 085703404372
Diubah oleh mfitrahilhami 31-03-2020 16:45
0
396
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan