Hari itu adalah hari awal musim panen padi, banyak petani yang harus sibuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk proses panen esok hari.

Kesibukan dilakukan sedari matahari terbit di ufuk timur, semua orang telah berbondong mendatangi sawah-sawah mereka.

Hal itu pun juga dilakukan oleh Pak Hasan dan istrinya, mereka juga ikut ke sawah untuk mempersiapkan proses panen yang akan dilakukan secara gotong royong bersama tetangga besok.

Sabit padi, cangkul, gelaran, mesin pemisah padi dan batang dan masih banyak lagi kebutuhan alat panen yang lain.
Saking sibuknya mempersiapkan alat memanen, mereka sampai melupakan shalat dzuhur dan ashar. Bahkan sampai menjelang maghrib mereka masih asik menyibukan diri membuat gelaran dan membuat jalan agar proses pemanenan lebih mudah!

Sampai akhirnya mereka berdua sadar bahwa hari semakin petang, jalan kecil di pinggiran sawah sudah tidak nampak lagi.
Langit juga telah menggelap, karena matahari telah menuju peraduan.
Hanya nampak semburat-semburat jingga yang mengantarkan burung-burung menemui anak-anaknya di sangkar.


"Bu, yok pulang. Bentar lagi maghrib!" sambil melihat ke arah langit yang sudah mulai gelap.

"Ayok Pak, bentar ibu tak beresin wadah bekal sama cangkul dulu."

Namun karena hari telah menjelang maghrib, suara adzhan dari desa sebelah pun sudah berkumandang maka mereka mulai berkemas untuk segera pulang. Sebab jarak sawah dan rumah itu sangat jauh sekali!

Pak Hasan mengambil sepeda di dekat gubuk, namun tanpa sengaja dia memandang ke atas bukit.
Dia melihat ada hewan seperti ular yang sedang terbang.

"Buk... buk... coba lihat itu!" Sambil menunjuk ke atas bukit.

"Iya pak, ada apa?" Berlari tergopoh-gopoh menghampiri Pak Hasan.

"Coba lihat itu, ada Nago Terbang!"

"Masya Allah, iya Pak. Ayo Pak, kita pulang sekarang!" Mulai ketakutan.

"Ayo Buk" sambil buru-buru naik sepeda bututnya. Belum terlalu jauh mereka menaiki sepeda, Bu Hasan menengok kembali ke arah naga terbang tadi, dan naganya telah menghilang.

"Pak, naganya sudah gak ada!"

"Astagfirullah, sepertinya memang itu naga jadi-jadian Bu."

"Iya Pak, Astagfirullah. Mungkin ini teguran dari Yang Kuasa!
Kita seharian tidak sembahyang Pak!"

"Iya Buk, kita mengejar dunia sampai melupakan akhirat kita."


Naga itu nampak terbang berputar-putar mengelilingi bukit barisan yang ada sedikit agak jauh dari tempat mereka berada, seperti hendak mencari mangsa.

Mereka pun meneruskan perjalanan pulang mereka, dan sesampai di rumah Pak Hasan dan ibu menceritakan kejadian tersebut kepada sang anak dan para tetangga.
Naga terbang ini ternyata tidak hanya menampakan diri di hadapan Pak Hasan dan Ibu, setelah kejadian yang menimpa Pak Hasan, banyak warga yang juga melihat penampakan naga terbang secara tidak sengaja.

Tidak hanya itu, sering sekali terjadi kecelakaan di persimpangan tiga Kampung Kagungan Ratu ini sebelum dibangunnya Tugu Rato Nago Busanding, konon katanya para pengguna jalan melihat secara langsung penampakan kakek-kakek tua yang mengenakan jubah putih dan membawa tongkat.

Setelah Tugu Rato Nago Busanding dibangun, kisah mistis dan misterius pun masih melekat erat.

Tugu Rato Nago Busanding adalah tugu yang berbentuk dua naga terbang yang menggambarkan kisah naga terbang rawa kebo, sedangkan dua patung pengantin Lampung adalah simbol mulei meghanai.

Anehnya, patung pengantin wanita ini bergeser sejauh setengah meter dari tempat asal mulanya dibangun. Sedikit agak menjauh dari payung yang menaungi sepasang pengantin ini.
Meski tempat ini selalu ramai kendaraan berlalu lalang, namun suasananya nampak seram dan angker.

Memang misteri yang sangat tidak masuk akal, menurut penduduk setempat hal ini tidak lain dan tidak bukan adalah campur tangan penunggu tempat ini.
Karena konon katanya, dulu di sini adalah tempat para Dato hidup dan mengembangkan adat kebudayaan Lampung!