- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Angin Berhembus Di Deca Park


TS
mambaulathiyah
Angin Berhembus Di Deca Park
Angin Berhembus Di Deca Park
Cerpen
"Non, dipanggil Ibu di bawah." Suara Mbok Jumirah, perempuan setengah baya asal Klaten, Jawa Tengah itu membuyarkan lamunanku. Hari ini adalah hari minggu dimana sesuai perjanjian, Ibu memperbolehkanku memakainya sebagai hari bersantai setelah enam hari bersekolah di sekolah kepandaian putri dengan setumpuk buku yang harus dipelajari.
"Baik, Mbok Jumirah. Bilang Ibu, Noni segera turun."
Aku mematut diri di depan cermin, sobekan berita surat kabar kemarin masih tergeletak di sana. Sebuah berita panas mengenai peraturan pemerintah yang sedang menjadi gonjang-ganjing. Kusentuh sebentar kemudian kubiarkan lagi di sana. Haruskah niat hati kuutarakan sekarang? Menimbang ini dan itu, akhirnya aku memutuskan untuk diam sementara ini.
Baru saja beranjak dari kamar untuk segera turun ke lantai bawah, suara adu mulut kembali terdengar. Selalu seperti ini. Tuduhan Ibu kepada Bapak seperti tak pernah ada ujungnya.
"Kau keluar lagi dengan wanitamu yang itu? atau yang mana?
Sudah merasa enak ya, Bapak. Sekarang menjelma pejabat main kimpoi sana-sini. Tahu pula nampaknya peraturan bakal disahkan. Bergembira ria para wanitamu di sana." Suara Ibu lantang terdengar, hawa panas menyergap masuk ke dalam tubuh Bapak. Bunyi suara tamparan terdengar.
Plakk!
Ibu menangis, sementara Bapak membawa kembali jas hitamnya yang sempat dipegang Ibu kemudian pergi lagi, memacu kendaraan klimisnya membelah jalanan yang sepi.
Hatiku sakit mendengar pertengkaran mereka. Mungkin mereka tidak tahu bahwa prinsip hormat menghormati harus ada dalam sebuah keluarga, itu yang diajarkan dalam sekolah kepandaian putri. Termasuk menghormati anak-anak yang menghuni atap yang sama.
Aku memegang pundak Ibu, memeluknya lalu mendengar keluh kesahnya.
"Ibu sudah capek, Non. Bapakmu selalu berulah. Mentang-mentang dia sekarang menjadi anggota kepercayaan perdana menteri. Jasa Ibu dilupakannya. Siapa yang membawanya ke puncak, kalau bukan Ayah Ibu, Eyangmu yang memperkenalkannya kepada Pak Ali."
Aku hanya mengelus pundak Ibu, tanpa berbicara dan tetap seperti itu hingga Ibu beranjak ke kamar, menangis lebih keras lalu terdengar hening. Obat penenang resep dokter Handoko sepertinya menjadi pelariannya.
***
Siang hari di sekolah kepandaian putri, dalam kantor redaksi majalah keputrian kulihat Maria Ulfah Subadio, tokoh wanita terpandang menyampaikan pendapatnya mengenai peraturan pemerintah yang baru digodok. Bersama Anne, perawakan Jawa-Irian kusimak berita itu ditambah cuplikan berita surat kabar kemarin maka kami siap mengolah berita.
Isinya : Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1952 memungkinkan para pejabat semangat menambah istri.
"Bagaimana Anne? Kau suka?" tanyaku sambil menyodorkan coretan tajuk berita untuk dimuat esok hari.
"Wow. Provokatif. Kau selalu pintar, Non." Tidak kurang, tidak lebih pendapat Anne. Tandanya? Dia menerima dan siap membantu pendistribusian berita.
***
"Non. Sebentar," panggil Anne sambil berlari menyusuri lorong sekolah kepandaian putri. Dia menyerahkan sebuah catatan.
"Itu hasil wawancaraku sama Papa. Sebagai anggota ABRI aktif, Papa mengatakan bahwa jika anggotanya ingin menikah lagi dengan istri baru maka harus mengajukan izin kepada Komandan.
Nah, sesuai realitas, hal itu jarang ada. Komandan Papa kan lebih sangar dan garang."
Aku membaca sekilas tulisan Anne lalu menganggukkan kepala.
"Bagus, Anne. Terima kasih ya. Ses memang paling bisa diandalkan."
"Aih, kau kata aku Ses, macam para aktivis yang bakal demo esok hari saja." Anne menutup mulutnya.
"Apa? Anne? Mau ada demo?" tanyaku bersemangat. Anne secepatnya menutup mulutnya. Kemudian menarikku kearah lorong yang sedikit gelap.
"Iya. Aku mendengar Papa bercerita dengan seseorang, besok tanggal 17, kan?"
Aku mengangguk.
"Kenapa kita buat tajuk Peraturan Pemerintah itu?" tanya Anne lagi.
"Karena besok peraturan ini akan digodok."
"Bingo!" Anne bersorak, akupun sama.
"Besok aku akan ikut bersama mereka."
Anne mengejarku hingga gerbang depan. "Kau gila! Kita bisa kena skors."
Aku menggeleng, "Kita lihat besok." Anne menepuk jidatnya lalu membiarkan aku pergi.
***
Malam hari, setelah menyelesaikan tajuk berita untuk dipasang di dinding kaca sekolah kepandaian putri aku berjalan menuju kamar Ibu. Suara isak tangisnya masih terdengar. Aku tak ingin mengganggunya. Menungguinya menangis hanya akan membuat Ibu semakin malu.
Aku memandang jalanan depan rumah. Beberapa blok dari rumah adalah lapangan Banteng, tempat anggota DPRS berkantor. Besok suasana akan ramai di sana. Aku yakin, Bapak akan datang paling awal untuk memperjuangkan agar peraturan itu disahkan. Dia akan merasa bahagia dunia akhirat jika peraturan sah. Karena ketika hidup dia mendapat kasih sayang banyak wanita nanti setelah dia tiada maka janda-jandanya tidak akan terlunta.
***
"Kau akan ikut demo bukan karena bapakmu, kan, Non?"
Aku terkesiap. Tapi aku tak siap untuk jujur.
"Lihatlah, Anne." Kuambil kertas majalah yang siap ditempel di sepanjang koridor sekolah kepandaian putri.
"Peraturan pemerintah no.19 tahun 1952 ini mengatur tunjangan pensiunan janda pegawai Negara.
Jika janda mereka banyak maka dana pensiunan mereka juga akan dibengkakkan sesuai janda yang ada.
Niatnya baik. Tapi, ini akan memicu banyak pejabat yang poligini." Termasuk Bapakku.
Anne terdiam.
"Bukankah ini juga pemborosan? Sesekali tidak bisakah peraturan pemerintah memang memihak wanita, bukan hanya sekedar kedok menjunjung tinggi martabat wanita tapi menyengsarakan wanita yang lain.
Kau tahu maksudku?"
Anne mengangguk. Lalu bel sekolah memisahkan kami untuk masuk ke dalam kelas masing-masing. Tetapi, aku tidak ada di sana. Langkah kakiku berlari menuju DECA Park.
***
DECA Park, sebuah taman hiburan di Utara Lapangan Merdeka, kini telah penuh dengan masa yang ingin menyampaikan aspirasinya. Beberapa kelompok persatuan wanita berkumpul di sana dan bersiap menuju istana.
Aku berada dalam barisan paling akhir yang ikut bersama mereka. Berjalan kaki menuju Istana Negara dan menorehkan sejarah sebagai demonstrasi pertama yang dilakukan pasca kemerdekaan. Setelah selesai berorasi di depan Istana, rombongan berarak menuju kantor perdana menteri Ali Sastroamidjojo di Pejambon. Disini, aku sengaja menunjukkan diriku di dekat pagar berharap agar Bapak melihat dan menyadari bahwa putrinya sudah cukup dewasa untuk bersikap. Kemudian kami bergerak menuju kantor DPRS di pojok Lapangan Banteng. Saat berjalan menuju kantor DPRS inilah sebuah tangan meraih lenganku.
Wajahku tersenyum cerah, Anne ada di sana dan dia tidak sendiri. Semua anak-anak Sekolah kepandaian putri jalan Sabang ikut serta. Kami bergerak menyuarakan satu suara yang sama. Menuntut adanya keadilan dalam pernikahan yang diatur pemerintah.
Namun, hingga aku lulus sekolah kepandaian putri pada tahun 1954 peraturan itu masih berlaku. Yang lebih membuat para aktivis perempuan itu terpukul adalah pada tahun 1954 Presiden negara juga terang-terangan melakukan poligini. Mereka seperti dihantam bertubi-tubi untuk memperjuangkan kesetaraan pada kaumnya sendiri.
Tamat.
Sejarah itu memang penuh luka.
_Jareku_
Cerpen
"Non, dipanggil Ibu di bawah." Suara Mbok Jumirah, perempuan setengah baya asal Klaten, Jawa Tengah itu membuyarkan lamunanku. Hari ini adalah hari minggu dimana sesuai perjanjian, Ibu memperbolehkanku memakainya sebagai hari bersantai setelah enam hari bersekolah di sekolah kepandaian putri dengan setumpuk buku yang harus dipelajari.
"Baik, Mbok Jumirah. Bilang Ibu, Noni segera turun."
Aku mematut diri di depan cermin, sobekan berita surat kabar kemarin masih tergeletak di sana. Sebuah berita panas mengenai peraturan pemerintah yang sedang menjadi gonjang-ganjing. Kusentuh sebentar kemudian kubiarkan lagi di sana. Haruskah niat hati kuutarakan sekarang? Menimbang ini dan itu, akhirnya aku memutuskan untuk diam sementara ini.
Baru saja beranjak dari kamar untuk segera turun ke lantai bawah, suara adu mulut kembali terdengar. Selalu seperti ini. Tuduhan Ibu kepada Bapak seperti tak pernah ada ujungnya.
"Kau keluar lagi dengan wanitamu yang itu? atau yang mana?
Sudah merasa enak ya, Bapak. Sekarang menjelma pejabat main kimpoi sana-sini. Tahu pula nampaknya peraturan bakal disahkan. Bergembira ria para wanitamu di sana." Suara Ibu lantang terdengar, hawa panas menyergap masuk ke dalam tubuh Bapak. Bunyi suara tamparan terdengar.
Plakk!
Ibu menangis, sementara Bapak membawa kembali jas hitamnya yang sempat dipegang Ibu kemudian pergi lagi, memacu kendaraan klimisnya membelah jalanan yang sepi.
Hatiku sakit mendengar pertengkaran mereka. Mungkin mereka tidak tahu bahwa prinsip hormat menghormati harus ada dalam sebuah keluarga, itu yang diajarkan dalam sekolah kepandaian putri. Termasuk menghormati anak-anak yang menghuni atap yang sama.
Aku memegang pundak Ibu, memeluknya lalu mendengar keluh kesahnya.
"Ibu sudah capek, Non. Bapakmu selalu berulah. Mentang-mentang dia sekarang menjadi anggota kepercayaan perdana menteri. Jasa Ibu dilupakannya. Siapa yang membawanya ke puncak, kalau bukan Ayah Ibu, Eyangmu yang memperkenalkannya kepada Pak Ali."
Aku hanya mengelus pundak Ibu, tanpa berbicara dan tetap seperti itu hingga Ibu beranjak ke kamar, menangis lebih keras lalu terdengar hening. Obat penenang resep dokter Handoko sepertinya menjadi pelariannya.
***
Siang hari di sekolah kepandaian putri, dalam kantor redaksi majalah keputrian kulihat Maria Ulfah Subadio, tokoh wanita terpandang menyampaikan pendapatnya mengenai peraturan pemerintah yang baru digodok. Bersama Anne, perawakan Jawa-Irian kusimak berita itu ditambah cuplikan berita surat kabar kemarin maka kami siap mengolah berita.
Isinya : Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 1952 memungkinkan para pejabat semangat menambah istri.
"Bagaimana Anne? Kau suka?" tanyaku sambil menyodorkan coretan tajuk berita untuk dimuat esok hari.
"Wow. Provokatif. Kau selalu pintar, Non." Tidak kurang, tidak lebih pendapat Anne. Tandanya? Dia menerima dan siap membantu pendistribusian berita.
***
"Non. Sebentar," panggil Anne sambil berlari menyusuri lorong sekolah kepandaian putri. Dia menyerahkan sebuah catatan.
"Itu hasil wawancaraku sama Papa. Sebagai anggota ABRI aktif, Papa mengatakan bahwa jika anggotanya ingin menikah lagi dengan istri baru maka harus mengajukan izin kepada Komandan.
Nah, sesuai realitas, hal itu jarang ada. Komandan Papa kan lebih sangar dan garang."
Aku membaca sekilas tulisan Anne lalu menganggukkan kepala.
"Bagus, Anne. Terima kasih ya. Ses memang paling bisa diandalkan."
"Aih, kau kata aku Ses, macam para aktivis yang bakal demo esok hari saja." Anne menutup mulutnya.
"Apa? Anne? Mau ada demo?" tanyaku bersemangat. Anne secepatnya menutup mulutnya. Kemudian menarikku kearah lorong yang sedikit gelap.
"Iya. Aku mendengar Papa bercerita dengan seseorang, besok tanggal 17, kan?"
Aku mengangguk.
"Kenapa kita buat tajuk Peraturan Pemerintah itu?" tanya Anne lagi.
"Karena besok peraturan ini akan digodok."
"Bingo!" Anne bersorak, akupun sama.
"Besok aku akan ikut bersama mereka."
Anne mengejarku hingga gerbang depan. "Kau gila! Kita bisa kena skors."
Aku menggeleng, "Kita lihat besok." Anne menepuk jidatnya lalu membiarkan aku pergi.
***
Malam hari, setelah menyelesaikan tajuk berita untuk dipasang di dinding kaca sekolah kepandaian putri aku berjalan menuju kamar Ibu. Suara isak tangisnya masih terdengar. Aku tak ingin mengganggunya. Menungguinya menangis hanya akan membuat Ibu semakin malu.
Aku memandang jalanan depan rumah. Beberapa blok dari rumah adalah lapangan Banteng, tempat anggota DPRS berkantor. Besok suasana akan ramai di sana. Aku yakin, Bapak akan datang paling awal untuk memperjuangkan agar peraturan itu disahkan. Dia akan merasa bahagia dunia akhirat jika peraturan sah. Karena ketika hidup dia mendapat kasih sayang banyak wanita nanti setelah dia tiada maka janda-jandanya tidak akan terlunta.
***
"Kau akan ikut demo bukan karena bapakmu, kan, Non?"
Aku terkesiap. Tapi aku tak siap untuk jujur.
"Lihatlah, Anne." Kuambil kertas majalah yang siap ditempel di sepanjang koridor sekolah kepandaian putri.
"Peraturan pemerintah no.19 tahun 1952 ini mengatur tunjangan pensiunan janda pegawai Negara.
Jika janda mereka banyak maka dana pensiunan mereka juga akan dibengkakkan sesuai janda yang ada.
Niatnya baik. Tapi, ini akan memicu banyak pejabat yang poligini." Termasuk Bapakku.
Anne terdiam.
"Bukankah ini juga pemborosan? Sesekali tidak bisakah peraturan pemerintah memang memihak wanita, bukan hanya sekedar kedok menjunjung tinggi martabat wanita tapi menyengsarakan wanita yang lain.
Kau tahu maksudku?"
Anne mengangguk. Lalu bel sekolah memisahkan kami untuk masuk ke dalam kelas masing-masing. Tetapi, aku tidak ada di sana. Langkah kakiku berlari menuju DECA Park.
***
DECA Park, sebuah taman hiburan di Utara Lapangan Merdeka, kini telah penuh dengan masa yang ingin menyampaikan aspirasinya. Beberapa kelompok persatuan wanita berkumpul di sana dan bersiap menuju istana.
Aku berada dalam barisan paling akhir yang ikut bersama mereka. Berjalan kaki menuju Istana Negara dan menorehkan sejarah sebagai demonstrasi pertama yang dilakukan pasca kemerdekaan. Setelah selesai berorasi di depan Istana, rombongan berarak menuju kantor perdana menteri Ali Sastroamidjojo di Pejambon. Disini, aku sengaja menunjukkan diriku di dekat pagar berharap agar Bapak melihat dan menyadari bahwa putrinya sudah cukup dewasa untuk bersikap. Kemudian kami bergerak menuju kantor DPRS di pojok Lapangan Banteng. Saat berjalan menuju kantor DPRS inilah sebuah tangan meraih lenganku.
Wajahku tersenyum cerah, Anne ada di sana dan dia tidak sendiri. Semua anak-anak Sekolah kepandaian putri jalan Sabang ikut serta. Kami bergerak menyuarakan satu suara yang sama. Menuntut adanya keadilan dalam pernikahan yang diatur pemerintah.
Namun, hingga aku lulus sekolah kepandaian putri pada tahun 1954 peraturan itu masih berlaku. Yang lebih membuat para aktivis perempuan itu terpukul adalah pada tahun 1954 Presiden negara juga terang-terangan melakukan poligini. Mereka seperti dihantam bertubi-tubi untuk memperjuangkan kesetaraan pada kaumnya sendiri.
Tamat.
Sejarah itu memang penuh luka.
_Jareku_






nona212 dan 5 lainnya memberi reputasi
4
533
8


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan