- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Portal Ghaib Di Rumah Tusuk Sate


TS
ummusaliha
Portal Ghaib Di Rumah Tusuk Sate
Misteri Mitos Rumah Tusuk Sate

Aku tidak pernah menyangka bahwa keputusan membeli rumah yang dijual murah oleh pemiliknya, akan menjadi petaka dalam hidupku yang tengah merasakan indahnya bahagia. Posisi rumah yang strategis terletak di pinggir jalan nasional lintas selatan, membuatku yakin untuk menempatinya sekaligus membuka usaha. Sedikitpun tidak pernah terpikirkan rumah seharga 60juta ini menyimpan banyak misteri yang menakutkan.
Aku dan Fery saat itu bersemangat membenahi rumah yang kami beli, rumah yang sangat mungil tapi tampak asri karena sekelilingnya tumbuh bermacam jenis bunga.

Hari pertama kami datang, aku merasakan aura rumah yang terasa panas. Di setiap bagian rumah udaranya terasa berbeda, ketika dilantai bawah udara terasa sejuk dan damai, dilantai atas udara terasa pengap padahal jendela sudah dibuka. Ketika memasuki kamar anak-anakku, udara disana terasa sangat panas, kami sudah memasang Ac tapi tidak pernah bisa mengurangi panasnya ruangan.
Satu bulan sudah kami tinggal di sini, saat itu aku sedang memasak di dapur. Tanpa kusadari saat tengah asyik memasak, anakku Indira yang masih berusia 2,5 tahun bangun dari tidurnya dan kudapati dia telah berlumuran darah.
Aku benar-benar shock melihat keadaan si kecil, hatiku bertanya-tanya bagaimana bisa anakku jatuh dari lantai atas, sedangkan sebelum memasak aku memastikan pintu yang ada dilantai atas terkunci. Tidak terdengar suara tangisannya sedikitpun, padahal posisi dapur dan tangga menuju lantai atas tidaklah jauh.
Sekilas mataku menangkap sosok anak kecil tengah duduk diatas lemari yang berada tepat didepan tangga. Sedang tersenyum mengusap rambutnya, tapi tidak kupedulikan karena darah semakin banyak keluar dari kepala Indira.
Segera kuangkat tubuh Indira dan membawanya ke klinik terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Tak lagi kupedulikan penampilan yang hanya memakai daster butut tanpa berhijab. Suami terus menguatkanku agar tabah, setelah dua jam di ruang ICU akirnya putri kecil kami menghembuskan nafas terakhirnya akibat kehabisan darah.
"Pak, Bu, yang sabar yah. Nak Indira telah berpulang ke pangkuannya," kata Dokter.
Kami luruh ke lantai, saling berpelukan dan menangis. Sekuat apapun ketika anak yang dicintai pergi untuk selamanya, seperti dunia ini terasa runtuh. Dengan berat hati kami melepas kepergiannya dengan uraian air mata, anak sulungku tak kalah sedihnya melihat jasad adik tercinta terbujur kaku.
Seperti kebiasaan masyarakat sekitar, kami pun mengadakan pengajian tahlilan untuk mendo'akan putri kecilku.
Di hari ketujuh kepergian Indira, sesepuh kampung sebut saja Pak Dahri, beliau memberitahu kami agar pindah dari rumah ini. Karena kata Pak Dahri sejak dulu rumah yang berada di posisi tusuk sate tidak pernah membawa kebaikan.
Jauh sebelum rumah ini dihuni oleh pemilik sebelumnya, mereka hanya bertahan sampai enam bulan saja. Bukan hanya teror ghaib saja yang dirasakan, tapi bangkrutnya usaha mereka pun dikaitkan dengan rumah ini tuturnya. Saat itu masih kuabaikan pesan Pak Dahri, kupikir ia hanya orang tua yang terlalu percaya mitos.
Sejak kepergian Indira anak sulungku Raya lebih banyak diam tidak seperti biasanya. Seringkali ia mengigau dalam tidurnya, meronta-ronta seperti ditarik oleh sesuatu.
"Tolong .... Tolong .... Aku tidak mau ikut kamu Dek, pergi saja sana! Aku mau sama Bunda aja." Suara igauan Raya selalu sama, seperti menolak suatu ajakan.
Semakin hari kondisi Raya malah memburuk karena tidak mau makan ia pun menjadi sakit. Hasil pemeriksaan Dokter hanya penyakit tipes. Segala macam obat kampung sudah kuberikan, bahkan bolak balik ke rumah sakit selama 9 bulan sudah kujalani demi kesembuhan Raya.
Pada akhirnya aku pasrah dengan keadaan anakku, Fery pergi meninggalkan kami karena tidak sanggup membiayai pengobatan Raya. Sampai suatu hari aku bertemu dengan Hania orang yang paham spiritual.
"Mir, kamu harus pindah, rumahmu itu portal lintasan ghaib. Sukma anakmu ada di alam lain, makanya dia sakit. Kemungkinan kembali hanya 20%, Mir. Kalaupun anakmu kembali, dia tidak akan normal." tutur Hania.
"Lalu, aku harus apa, Han? Aku sudah kehilangan anak bungsu, suamiku juga pergi meninggalkanku. Tolong Hania, aku tidak mau kehilangan Raya," pintaku pada Hania.
"Aku akan coba, tapi tidak janji. Sebetulnya anak bungsumu juga korban kejahilan mereka, makanya saat kejadian kamu nggak dengar apapun."
"Astaghfirullahal'adzim, jadi benar tentang mitos rumah tusuk sate itu pembawa sial, Han? Lalu anakku meninggal secara tidak wajar?"
"Nggak semua sih, Mir. Tapi kebetulan saja rumahmu portal alias gerbang masuk ke alam mereka. Mau kamu sekuat apapun tinggal di sini, hidupmu akan terus terusik oleh mereka."
Kami berbincang cukup panjang, Hania memberikanku bacaan dzikir serta menyarankan untuk melakukan salat tahajud setiap malam. Dua minggu kemudian kondisi Raya mulai membaik, aku memutuskan untuk menjual kembali rumah ini dan memasang banner penjualan didepan pagar.
Belakangan aku baru mengetahui dari penghuni sebelumnya, dahulu di daerah ini sebelum sekarang menjadi jalan raya adalah hutan belantara. Di sini menjadi larangan bagi siapapun, jangan berani mendirikan bangunan atau ditempati. Benar kata Hania tempat ini adalah portal ghaib tempat masuk ke dunia mereka.
Pada dasarnya manusia tidak mau rugi, ahli waris dari tanah ini tidak mau kehilangan rupiahnya sedikitpun. Meski pada akhirnya ia juga meninggal sehari setelah menjual rumah ini.
Menunggu selama berbulan-bulan akhirnya rumah itu laku terjual dengan harga 40 juta, aku tidak masalah yang penting sedikit uangku kembali. Cukup trauma memiliki rumah dengan posisi tusuk sate, anak meninggal, suami pergi dan hampir saja aku kehilangan satu-satunya anak tercinta.
Aku sangat yakin semua ini adalah suratan takdir illahi, namun syare'at yang terjadi tidak lepas dari faktor alam.
Kota Galuh, 20 Maret 2020.
Karya : Ummu Saliha

Aku tidak pernah menyangka bahwa keputusan membeli rumah yang dijual murah oleh pemiliknya, akan menjadi petaka dalam hidupku yang tengah merasakan indahnya bahagia. Posisi rumah yang strategis terletak di pinggir jalan nasional lintas selatan, membuatku yakin untuk menempatinya sekaligus membuka usaha. Sedikitpun tidak pernah terpikirkan rumah seharga 60juta ini menyimpan banyak misteri yang menakutkan.
Aku dan Fery saat itu bersemangat membenahi rumah yang kami beli, rumah yang sangat mungil tapi tampak asri karena sekelilingnya tumbuh bermacam jenis bunga.

Ilustrasi foto Kompasiana
Hari pertama kami datang, aku merasakan aura rumah yang terasa panas. Di setiap bagian rumah udaranya terasa berbeda, ketika dilantai bawah udara terasa sejuk dan damai, dilantai atas udara terasa pengap padahal jendela sudah dibuka. Ketika memasuki kamar anak-anakku, udara disana terasa sangat panas, kami sudah memasang Ac tapi tidak pernah bisa mengurangi panasnya ruangan.
Satu bulan sudah kami tinggal di sini, saat itu aku sedang memasak di dapur. Tanpa kusadari saat tengah asyik memasak, anakku Indira yang masih berusia 2,5 tahun bangun dari tidurnya dan kudapati dia telah berlumuran darah.
Aku benar-benar shock melihat keadaan si kecil, hatiku bertanya-tanya bagaimana bisa anakku jatuh dari lantai atas, sedangkan sebelum memasak aku memastikan pintu yang ada dilantai atas terkunci. Tidak terdengar suara tangisannya sedikitpun, padahal posisi dapur dan tangga menuju lantai atas tidaklah jauh.
Sekilas mataku menangkap sosok anak kecil tengah duduk diatas lemari yang berada tepat didepan tangga. Sedang tersenyum mengusap rambutnya, tapi tidak kupedulikan karena darah semakin banyak keluar dari kepala Indira.

Ilustrasi Google
Segera kuangkat tubuh Indira dan membawanya ke klinik terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Tak lagi kupedulikan penampilan yang hanya memakai daster butut tanpa berhijab. Suami terus menguatkanku agar tabah, setelah dua jam di ruang ICU akirnya putri kecil kami menghembuskan nafas terakhirnya akibat kehabisan darah.
"Pak, Bu, yang sabar yah. Nak Indira telah berpulang ke pangkuannya," kata Dokter.
Kami luruh ke lantai, saling berpelukan dan menangis. Sekuat apapun ketika anak yang dicintai pergi untuk selamanya, seperti dunia ini terasa runtuh. Dengan berat hati kami melepas kepergiannya dengan uraian air mata, anak sulungku tak kalah sedihnya melihat jasad adik tercinta terbujur kaku.
Seperti kebiasaan masyarakat sekitar, kami pun mengadakan pengajian tahlilan untuk mendo'akan putri kecilku.
Di hari ketujuh kepergian Indira, sesepuh kampung sebut saja Pak Dahri, beliau memberitahu kami agar pindah dari rumah ini. Karena kata Pak Dahri sejak dulu rumah yang berada di posisi tusuk sate tidak pernah membawa kebaikan.
Jauh sebelum rumah ini dihuni oleh pemilik sebelumnya, mereka hanya bertahan sampai enam bulan saja. Bukan hanya teror ghaib saja yang dirasakan, tapi bangkrutnya usaha mereka pun dikaitkan dengan rumah ini tuturnya. Saat itu masih kuabaikan pesan Pak Dahri, kupikir ia hanya orang tua yang terlalu percaya mitos.
Sejak kepergian Indira anak sulungku Raya lebih banyak diam tidak seperti biasanya. Seringkali ia mengigau dalam tidurnya, meronta-ronta seperti ditarik oleh sesuatu.
"Tolong .... Tolong .... Aku tidak mau ikut kamu Dek, pergi saja sana! Aku mau sama Bunda aja." Suara igauan Raya selalu sama, seperti menolak suatu ajakan.
Semakin hari kondisi Raya malah memburuk karena tidak mau makan ia pun menjadi sakit. Hasil pemeriksaan Dokter hanya penyakit tipes. Segala macam obat kampung sudah kuberikan, bahkan bolak balik ke rumah sakit selama 9 bulan sudah kujalani demi kesembuhan Raya.
Pada akhirnya aku pasrah dengan keadaan anakku, Fery pergi meninggalkan kami karena tidak sanggup membiayai pengobatan Raya. Sampai suatu hari aku bertemu dengan Hania orang yang paham spiritual.
"Mir, kamu harus pindah, rumahmu itu portal lintasan ghaib. Sukma anakmu ada di alam lain, makanya dia sakit. Kemungkinan kembali hanya 20%, Mir. Kalaupun anakmu kembali, dia tidak akan normal." tutur Hania.
"Lalu, aku harus apa, Han? Aku sudah kehilangan anak bungsu, suamiku juga pergi meninggalkanku. Tolong Hania, aku tidak mau kehilangan Raya," pintaku pada Hania.
"Aku akan coba, tapi tidak janji. Sebetulnya anak bungsumu juga korban kejahilan mereka, makanya saat kejadian kamu nggak dengar apapun."
"Astaghfirullahal'adzim, jadi benar tentang mitos rumah tusuk sate itu pembawa sial, Han? Lalu anakku meninggal secara tidak wajar?"
"Nggak semua sih, Mir. Tapi kebetulan saja rumahmu portal alias gerbang masuk ke alam mereka. Mau kamu sekuat apapun tinggal di sini, hidupmu akan terus terusik oleh mereka."
Kami berbincang cukup panjang, Hania memberikanku bacaan dzikir serta menyarankan untuk melakukan salat tahajud setiap malam. Dua minggu kemudian kondisi Raya mulai membaik, aku memutuskan untuk menjual kembali rumah ini dan memasang banner penjualan didepan pagar.
Belakangan aku baru mengetahui dari penghuni sebelumnya, dahulu di daerah ini sebelum sekarang menjadi jalan raya adalah hutan belantara. Di sini menjadi larangan bagi siapapun, jangan berani mendirikan bangunan atau ditempati. Benar kata Hania tempat ini adalah portal ghaib tempat masuk ke dunia mereka.
Pada dasarnya manusia tidak mau rugi, ahli waris dari tanah ini tidak mau kehilangan rupiahnya sedikitpun. Meski pada akhirnya ia juga meninggal sehari setelah menjual rumah ini.
Menunggu selama berbulan-bulan akhirnya rumah itu laku terjual dengan harga 40 juta, aku tidak masalah yang penting sedikit uangku kembali. Cukup trauma memiliki rumah dengan posisi tusuk sate, anak meninggal, suami pergi dan hampir saja aku kehilangan satu-satunya anak tercinta.
Aku sangat yakin semua ini adalah suratan takdir illahi, namun syare'at yang terjadi tidak lepas dari faktor alam.
Kota Galuh, 20 Maret 2020.
Karya : Ummu Saliha
Diubah oleh ummusaliha 21-03-2020 19:56






pulaukapok dan 27 lainnya memberi reputasi
28
3.4K
71


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan