- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Maemunah oh Maemunah ...!


TS
lin680
Maemunah oh Maemunah ...!

nulis.co.id
Sebagai anak sulung perempuan dengan empat orang adik. Aku terbiasa bekerja, badan selalu bergerak mengerjakan apa saja di rumah. Sejak remaja sudah jadi pengganti Ibu untuk semua adikku.
Itu terbawa hingga sekarang. Rasanya diam itu tidak enak. Dari sebelum ayam berkokok hingga malam, saat semua sudah ngorok aku bisa masih melek dan adaaa saja yang kukerjakan. Buruknya, sikapku ini membuatku jarang bertetangga, hanya jika menengok yang sakit atau ke warung sebentar saat ada yang dibeli.
Cukup ramah dan menyapa kalau berpapasan menurutku itu sudah cukup. Makanya aku dibilang nggak asik, karena kurang gaul. Yah, gimana lagi. Aku sudah terbiasa begini.
Kerjaanku buanyyak. Dini hari sudah nyapu, ngepel, cuci pakaian dan masak nasi dikerjakan dalam waktu yang hampir sama, serba disambi. Beres satu, lanjut bikin lauk sarapan, kopi dan camilan hangat teman kopi untuk Bang Jali.
Saat si kecil, yang duduk di kelas satu itu bangun, aku bantu ia siap-siap ke sekolah.
Kadang direpotkan kalau tiba-tiba ia kehilangan kaos kaki atau dasi dari lemarinya. Bukannya sudah dipisah masing-masing biar belajar mandiri, tetap aja Maknya dipanggil-panggil juga suruh mencari.
Sebelum ke sekolah rumah harus beres. Jemurin pakaian, siram tanaman juga tak terlupa. Selanjutnya, langsung ke tempat kerja—pekerja lepas di Cantik Tailor milik Cik Aling. Jam sepuluhan pulang, sebelumnya mampir di warung sayur untuk masak makan siang. Tepat tengah hari, jemput anak.
Saat mereka tidur siang aku balik lagi ke tempat kerja sampai sore. Pulang, masak untuk makan malam. Ba'da isya setelah anak-anak belajar aku kembali melembur jahitan yang bisa dibawa ke rumah—mesin jahitku kurang canggih, jadi yang dibawa cuma yang permak biasa.
Kerja malam kulakukan sekuat mata, selama masih bisa terbuka akan terus kerja. Sampai suami protes.
"Maemunah, Maemunah. Mesin diesel aja butuh istirahat. Ya, badanmu juga, to!" Ia menggeleng-geleng kepala saat tengah malam masih menunggu 'jatah'. Padahal tanganku masih cekatan bergerak. Semangat demi selesainya kerjaan.
Sebagai istri yang patuh aku akhiri semua pekerjaan. Yah, begitulah. Untuk bagian 'ini' Bang Jali hanya sesekali protes. Ada yang lain yang bisa bikin ia meracau kayak burung di sangkar tetangga. Kalau aku tiba-tiba jadi pelupa sebab terlalu capai. Otakku kadang suka nggak sinkron dan loadingnya luaambat.
Kekuranganku ini sering jadi masalah untuk semua penghuni rumah.
Seperti kali ini. Kami sudah siap-siap berangkat ke sekolah. Anak-anak menunggu di luar, sudah ngomel Maknya ini belum muncul juga dari dalam rumah.
"Taruh di mana, sih, Munah?" tanya suamiku mulai kesal. Ia masih pakai sarung sedang ngubek isi laci juga atas meja, ikut nyari kunci motor yang tadi malam kusimpan.
"Ya elah, Bang. Kalau Munah ingat, udah dari tadi dapat kuncinya!" Aku balas kesal.
Semua gantungan paku di dinding kusisir pakai mata, nggak ada! Di mana, sih?
Perasaan biasa naruhnya di sini-sini aja. Pakaian di lemari sudah kuangkat semua. Eh, bukannya kunci yang kutemukan tapi gulungan uang biru plus hijau empat lembar, ah lumayaann. Kapan tepatnya kusimpan disitu, aku juga lupa. Wkwkwk.
Jadi orang pelupa itu ada untungnya juga. Suka surprise kalau nemu uang yang lumayan buat beli daster Bali. Hehee.


ciricara.com onsizzle.com
"Makanya, apa-apa tuh dicatat, biar nggak lupa!" Omel Bang Jali mulai ngawur. Masa taruh kontak motor juga harus kucatat, gitu? Uh, terlalu! Ia sedikit mengangkat sarungnya melangkah ke garasi sambil bergumam tidak jelas. Mungkin melihat siapa tau masih nempel di motor.
"Maaakk, ayo berangkat! Humairah piket, Mak. Nanti didenda sepuluh ribu kalau nggak ngerjakan pikett," rengek sulungku teriak dari halaman. Dua anak itu kulihat sudah pakai sepatu dan gendong tas. Dengan wajah tidak sabar.
Bapak sama anak-anaknya ribut. Aku makin bingung. Di manaa itu kunci sembunyi?!
"Hei, Maemunah, coba cek kantong celana yang kamu pakai tadi malam. Jangan-jangan ada di situ?" Bang Jali balik dari garasi sambil garuk-garuk kepala. Wajahnya yang belum mandi makin terlihat kucel.
"Sudah, Bang. Tadi Munah sudah cari di kantong ce-" Teringat sesuatu, aku langsung lari ke kamar.
Meraih jaket di gantungan belakang pintu. Ini dia! Aku remas tuh kunci, geram. Gara-gara dia sembunyi aku jadi deg-degan begini!
Segera meraih helm aku langsung ke garasi. Cepat-cepat keluarkan motor, melaju kencang dengan dua bocil yang berwajah masam di balik punggungku.
Setibanya di gerbang tepat saat bel berbunyi nyaring. Jadilah uang sepuluh ribu kuberikan pada Humairah yang matanya sudah beranak sungai. Anak itu paling disiplin. Ia yang membantu menulis hal penting yang tak boleh terlupa di alarm ponselku.
Emm, maafkan Mak. Ya, Irah ....
Sesampainya di tempat kerja aku membuka catatan yang selalu siap di atas meja.
Membuat seragam untuk pegawai pemprov. Dua teman lainnya belum datang—kami semua pekerja lepas. Mereka biasa datang menjelang siang. Biasaa, kalau ibu rumah tangga yang penting kerjaan di rumah beres dulu, baru yang lain. Untunglah aku terbiasa menyelesaikan sebelum matahari bangun dari mimpi.
"Maemunah, ya?" Tanya seorang wanita yang baru masuk. Aku memandangnya saksama, mencari jawaban siapa gerangan wajah yang nggak asing ini.
"Eh, Yuni?" Mataku membulat. Dulu semasa SMA ia cewek tercantik di kelas. Badan tinggi, kulit putih. Masih cantik! Kami segera berpelukkan melepas kangen.
Dua belas tahun nggak ketemu, kembali cerita masa-masa dulu rasanya seakan jiwa putih abu muncul lagi. Seru!
"Aku mau bikin kebaya, Mae," katanya sambil mengeluarkan bahan brokat putih dari paper bag. Panggilanku jaman sekolah terasa keren, dibanding sekarang setelah jadi Mak.
Aku meraih kain itu dari tangannya. Ia bilang akan membuat baju untuk hari istimewa.
Kami mulai berbincang model yang ia mau, kemudian mengukur lingkar badannya.
Sebuah kebaya berekor panjang sebetis kami sepakati. Ia pamit pulang akan kembali dua minggu lagi. Aku sampai lupa tanya apa ia sudah nikah dan berapa anaknya? Ah, selalu ada yang terlupa.
***
"Pak Kadir denger-denger mau nikah lagi," kata Bang Jali berhasil membuatku tersedak. Kami lagi makan malam, lauknya ikan mas goreng.
Tulangnya yang kecil berbentuk ketapel itu berhasil nyangkut di tenggorokan. Segera kutelan nasi yang sudah dibulat kecil, ah, tulangnya langsung lenyap.
Bang Jali jahat nian, ia hanya senyum-senyum memandangku. Dua anak itu terlihat tak tahu apa-apa, terus menikmati makanan di depannya. Sudah nasib memang tak ada yang perhatikan ....
"Kok bisa, Bang? Trus gimana dengan Bu Daniah?" Aku memasang wajah penasaran.
"Mungkin sudah ikhlas. Kan sakit nggak bisa melayani. Boleh dong, Pak Kadir nyari lagi. Meski tua, badannya masih bugar. Kasian gak ada teman berbagi."
Jawaban Bang Jali terasa minyak yang disiram ke api. Aku mengepal-ngepal nasi dengan kasar. Ia seolah sangat mendukung kelakuan Pak Kadir, terdengar jelas dari tekanan kata-katanya. Huh, dasar lelaki!
"Maksud Maemunah kok teganya Pak Kadir? Istri sakit bukannya diurus. Perempuannya siapa? Kok tega begitu, masuk tanpa permisi!"
Selera makan menghilang, kudorong piring dengan kesal. Moodku jadi rusak gara-gara kepikiran Bu Daniah. Orangnya baik dan lembut, tega banget si Kadir!
Lanjut ke part akhir di kolom koment ya, GanSis.
Part 2 End
Diubah oleh lin680 22-03-2020 13:07
0
587
4


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan