- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Arwah Pemuda Londo Dari Lubang Tambang


TS
lapautekchy01
Arwah Pemuda Londo Dari Lubang Tambang


Dok pemda
“Masa, ke Lubang Mbah Soero, sih. Van?”
“Memangnya, kenapa? Toh disana sudah dipasangi lampu penerang dan besi pelindung.” Ivan tetap dengan rencananya.
“Tapi, aku ngga suka masuk lubang gelap seperti itu, di sana pasti lembab dan menyeramkan.” Mendengar namanya saja aku sudah ngeri, apalagi masuk kedalam lubang yang konon katanya pernah ditemukan banyak tulang dan tengkorak manusia.
Aku pernah membaca cerita lubang tambang Lobang Mbah Soero yang berlokasi di Jl Muhammad Yazid, Lembah Segar, Kota Sawahlunto itu. Nama Mbah Soero diambil dari seorang penambang yang disegani oleh pekerja tambang lainnya karena keuletan dan kerja keras.
Lobang Mbah Soero diyakini punya panjang puluhan kilometer. Namun, hanya 186 meter saja yang dibuka untuk wisata. Itu pun, sudah diberi fasilitas berupa lampu, besi untuk pegangan tangan, ventilasi dan tangga.
Sejak tahun 1898 sampai sekitar tahun 1930, lubang tersebut digunakan pemerintah kolonial Belanda untuk menambang batu bara. Asal tahu saja, batu bara di sana disebut-sebut lebih baik dibandingkan batu bara di Kalimantan.
Meskipun sudah dijadikan tempat wisata, tetap aja aku ngeri masuk kesana.
Bulu kuduk berdiri, aku tidak suka dengan cerita yang menakutkan seperti itu, apalagi jika memang di sana banyak ditemukan tulang belulang, pasti arwah mereka masih berkeliaran di lokasi itu.
“Kamu, kenapa, Na?” Ivan menautkan Alis.
“Aku, ngga mau kesana, ke Taman Satwa Mandi aja, atau ke museum kereta apinya?” usulku dengan tatapan penuh harap.
“Na, tugas kita melakukan penelitian pelombongan terbuka, bukan meneliti gajah. Kamu aneh!”
Apa, mau dikata. Memang tugas mata kuliah tambang kali ini harus meneliti, cara penambangan alami dengan meninggalkan bahan galian sebagai pilar-pilar, yang disebut pelombongan terbuka. Dan itu hanya bisa ditemui di lubang Mbah Soero.
***
Pagi di Kota Arang, begitulah sebutan untuk Kota Sawahlunto yang kecil seperti kuali ini. Deretan bukit karang dan beberapa bukit berhutan lebat berdiri mengelilingi kota dengan masyarakat yang heterogen.
Aku menarik nafas panjang, sesaat setelah sampai di depan Gudang Ransoem, yang konon katanya adalah tempat memasak makanan pekerja tambang yang berada di lubang yang berhadapan lansung dengan bangunan tua ini.
Udara perbukitan ternyata sampai juga kedataran, tangan ku apitkan ke bawah ketiak, nafas seperti mengeluarkan asap. Dingin terasa bagai di pegunungan.
tiba-tiba perasaan tidak enak menerpa, tubuhku bergidik. Perut melilit tapi bukan karena ingin kebelakang. Mungkin rasa takut membuat syaraf tubuh bekerja kurang efektif.
“Kamu, kenapa, Na?” Ivan menepuk pundakku, senyumnya mengembang ketika seorang pemandu wisata datang menghampiri.
“Mau masuk sekarang, atau mau liat-liat peralatan di Gudang Ransoem, Kak?” Aih, sopan banget. Sudahlah cantik, baik dan murah senyum pemandu wisata di sini.
Sedikit ketakutan memudar, saat menatap wajah si Uni pemandu yang ayu, apalagi keramahannya membuat aku merasa nyaman. Lupakan takut, karena rasa itu akan membuat langkah terhenti, gumamku menguatkan hati.
Kami memilih masuk Lubang saja, karena banyak isian yang harus di isi. Si Uni mengantar kami sampai ke pintu lubang, di sana sudah menunggu pemandu wisata pria yang akan menemani kami ke dalam.
Aroma aneh masuk melalui pernafasan, kembali tengkukku terasa dingin, ku pegangi baju Ivan, aku berjalan paling belakang. Sebelum masuk kami sudah di lengkapi, helm, boot dan senter kepala.
Udara di dalam lubang sangat lembab, kembali perut melilit. Tapi aku berusaha untuk lebih berani, demi wisuda Rana, kamu pasti bisa.
Aku menjejali langkah Ivan dan Uda pemandu wisata, ia begitu semangat menceritakan sejarah Lubang ini kepada kami, Ivan tampak begitu antusias. Sedang aku masih sibuk menata keberanian agar bisa bertahan di lobang ini lebih kurang dua jam lagi.
Ya Allah, semoga aku bisa, lirihku dalam getaran bibir yang memucat.
Ternyata bukan hanya aku dan Ivan yang berada di dalam sini, seorang pemuda seusiaku berdiri di lorong sebelah kanan, matanya menatap ke atas. Tangannya menyentuh dinding hitam yang masih ada lapisan batu bara.
Wajahnya tidak begitu jelas, karena lorong itu belum dipasang penerang. tiba-tiba kepalaku pusing, perut mual, dan mata berkunang-kunang. Ku coba menggapai baju Ivan, ternyata ia dan Uda pemandu wisata sudah berapa meter meninggalkanku.
Tanganku berpegangan di besi pegangan, berusaha menahan tubuh yang mulai oleng. Bau amis menyengat semakin santer tercium, persendian terasa kaku, aku menghapus keringat yang mulai mengucur, rasa panas akibat takut membuat tubuh lebih banyak memproduksi air yang keluar melalui pori-pori.
Hampir saja aku ambruk ke dasar lubang yang becek, kalau tidak ada tangan kekar yang menopang tubuh.
Tangan itu terasa dingin, mungkin karena ia lebih dahulu berada di sini, ketimbang aku dan Ivan.
Lelaki muda itu tersenyum, lalu membantu aku berdiri.
“Terima kasih.” Rasa gugup membuat aku tidak berani menatapnya lekat.
“Sama-sama, aku Mark.” Mark? Kok namanya mirip-mirip orang import, ya?
Ah sudahlah, mungkin dulu ibunya suka nonton sinema barat. Kembali ku pandangi pemuda yang berdiri di sampingku.
Tingginya mungkin hampir seratus tujuh pulih senti meter, badannya berisi, proporsional begitu kata anak jaman nownya.
Mark memberiku senyum, aku membalasnya. Wajah Mark bersih, putih sangat menawan ditambah potongan rambutnya yang tidak terlalu pendek.
Mark menepis celana putihnya yang terkena debu, baju putihnya juga terlihat kotor. Mungkin karena tadi dia terjajar saat menopang tubuhku.
“Kamu mau ngapain ke sini?” suaranya terdengar serak.
“Penelitian, tuh. Bareng teman!” aku menunjuk Ivan yang masih bercakap-cakap dengan pemandu wisata, sambil sesekali mengambil foto pilar yang rata.
“Oh ...,”gumamnya seperti orang marah, tapi mungkin karena suaranya yang serak.
Mark menoleh kembali kearah Ivan, lalu menatapku lekat.
“Hati-hati, pemuda itu sepertinya bukan orang baik!” keningku mengernyit, bau amis kembali tercium. Aku heran dengan ujaran Mark.
“Maksud, kamu?”
“Kamu harus jaga diri, aku merasa kalau dia menginginkan sesuatu dari, mu.” Aku melongo, kok bisa Mark berkata seperti itu?
“Aku, duluan, ya. Jaga diri.” Mark membalikan badan, aku juga mau mengejar Ivan, namun langkah ku terhenti, sesaat suara Mark terdengar bagai bisikan.
“Kamu terlalu baik, untuk lelaki itu. Aku yang akan memiliki dan menjagamu!” aku berbalik, ternyata Mark sudah di bawah pintu lobang, untuk keluar. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum.
Ah, lelaki aneh, gumamku sambil menggeleng. Tapi aku merasakan keganjilan pada Mark, dia tidak pakai boot, tidak pakai helm, dan senter. Kok dia bisa masuk?






infinitesoul dan 3 lainnya memberi reputasi
4
673
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan