Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

denbagoes01Avatar border
TS
denbagoes01
Perjalanan Menuju Maut
Perjalanan Menuju Maut


"Udah sampai mana? Gue udah siap nih di depan rumah."

"Iya nih, bentar lagi nyampe. Masih satu belokan lagi."

"Yodah, gue tungguin."

Tut-tut, terdengar sambungan telepon terputus.

"Bim, lo inget jalannya kan?" tanya Galih seraya memasukan kembali ponsel ke dalam sakunya.

"Inget, lah," kata Bimo santai. Meski jalanan gelap dan banyak kubangan, dirinya mengingat dengan pasti jalan menuju rumah Cakra, kawan mereka.

Malam itu malam Minggu. Galih dan Bimo sengaja menjemput kawan mereka agar bisa pergi berlibur bersama. Rumah Cakra memang berada di kampung sementara keduanya berasal dari kota. Jarak yang jauh dan perbedaan latar belakang tak menjadi penghalang bagi persahabatan mereka. Bimo sudah dua kali ke rumah Cakra, sementara Galih belum pernah sekalipun ke sana.

Waktu masih menunjukkan pukul tujuh, tetapi suasana jalanan menuju rumah Cakra nyaris gelap gulita. Tak ada penerangan lain di sekitar kecuali sorot lampu mobil mereka. Gerimis terus mengguyur, membuat pemandangan di luar jendela menjadi buram.

"Eh, stop, Bim!" seru Galih tiba-tiba.

"Ada apa sih?"

Bimo menghentikan mobilnya perlahan.

"Coba lihat di depan ada orang melambai-lambai."

Bimo mengikuti arah pandangan temannya. Tak jauh di depan mobil mereka, seorang nenek-nenek berpakaian serba putih mengayunkan tangan ke depan seperti minta tolong. Sementara sebelah tangannya menenteng sesuatu mirip gayung. Penampilan nenek itu cukup mengerikan dalam suasana gelap seperti ini. Apalagi dengan rambut hitam yang panjang tergerai menambah kesan bahwa dia bukan seorang perempuan tua.

Perjalanan Menuju Maut


Bimo yang berfirasat buruk bermaksud tancap gas, tetapi sebelum berhasil melakukannya, Galih telah turun dan menghampiri nenek tersebut.

Gila tuh anak! Batin Bimo.

Bimo menyaksikan kawannya mendekati si nenek dan mengajak bicara. Beberapa saat kemudian di luar dugaan Galih menggandeng si nenek dan membawanya mendekati mobil.

"Bim, anterin nenek ini pulang bentar ya," kata Galih dari kaca jendela yang terbuka. "Gue kasihan liatnya."

"Tapi, Gal ...." Bimo menelan kembali interupsinya karena tampaknya Galih tak menunggu persetujuannya untuk membawa nenek itu. Dia telah membuka pintu belakang dan mempersilakan si nenek masuk.

"Emang lu tau rumahnya?" bisik Bimo sambil melirik penumpang baru mobilnya melalui kaca dengan perasaan was-was.

"Udah jalan lurus aja. Nanti kalo udah sampe, nenek ini bakal bilang."

Bimo tak habis pikir bagaimana kawannya begitu santai menghadapi hal ini. Namun dia terus menjalankan mobil dan berharap bahwa firasatnya salah.

Beberapa menit mobil berjalan, nenek itu meminta berhenti. Dia menunjuk sebuah rumah kecil di seberang jalan dan mengatakan bahwa itu rumahnya. Bimo cukup lega karena telah menurunkan si nenek dan melanjutkan perjalanan menuju rumah Cakra.

Sesampainya di depan rumah Cakra, cowok itu telah menunggu dengan terkantuk-kantuk.

"Lama amat sih, bre?" gerutunya.

"Iya nih. Tadi masih nganterin seorang nenek-nenek di pinggir jalan."

"Ha? Nenek-nenek siapa?"

"Nggak tau. Rumahnya di deket belokan sebelum masuk gang rumah lo."

Cakra tampak bingung tetapi memutuskan untuk mengabaikan omongan Galih. Mereka pun berangkat.

Setelah melewati belokan tempat mereka menurunkan si nenek, tiba-tiba Galih berseru.

"Loh, rumahnya kok udah nggak ada?"

"Rumah siapa?"

"Rumah si nenek tadi. Iya kan, Bim?"

Bimo yang ditanyai hanya bengong. Dia melajukan mobilnya perlahan dengan pikiran aneh-aneh.

"Dari dulu di situ nggak ada rumah, Gal," kata Cakra menjelaskan.

"Masa sih?"

Dalam perjalanan mereka lebih banyak diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Galih yakin menurunkan si nenek di sana, dan rumah itu pun terlihat jelas. Sementara Cakra masih bertanya-tanya bagaimana kawannya bisa menyebut semak belukar sebagai rumah. Dan lagi, seingatnya dia tak pernah punya tetangga seorang nenek-nenek.

Orang yang paling berpikiran keruh adalah Bimo. Sedari tadi, dirinya tak konsentrasi menyetir. Dia memiliki dugaan tentang siapa si nenek misterius itu, tetapi takut untuk mengungkapkannya.

"Guys, kalian pernah denger nggak sih tentang sebuah cerita hantu?"

Galih dan Cakra tersentak dengan pertanyaan Bimo yang secara tiba-tiba.

"Apaan?"

"Nenek Gayung."

"Jangan bikin merinding deh!"

"Gal, elu lihat nggak sih tadi si nenek bawa gayung?"

Deg!

Bimo mengacaukan perjalanan mereka dengan fakta mengejutkan. Dia dan Galih sama-sama tahu, sama-sama ingat bahwa si nenek tadi memang membawa gayung.

"Jadi yang kalian anter tadi si Nenek Gayung?" tanya Cakra. Dia tak yakin apakah ini adalah pertanyaan ataukah pernyataan.

Ketiganya berpandangan dengan perasaan yang buruk.

"Gawat, jika benar itu Nenek Gayung! Jika kalian tau ceritanya, orang yang ngajak bicara si Nenek hantu itu bakalan kena musibah. Bakalan celaka!"

"Lu kok malah nakutin?"

"Bukan nakutin, tapi ngejelasin!"

"Trus lu berharap kita celaka gitu?!"

"Stop! Kenapa kalian malah berantem sih?"

Bimo berusaha melerai mereka. Namun karena perhatiannya sedikit teralih justeru membuatnya hilang kendali.

"Bim, AWAS!"

CIIIITT!

Perjalanan Menuju Maut


Bimo menghentikan mobilnya seketika begitu tahu sudah melewati badan jalan. Hampir saja mereka menabrak pohon besar di tepi jalan.

"Hampir aja!"

"Udah, guys. Jangan berantem mulu. Kita nggak bakal kena sial kok kalo hati-hati. Anggep aja cerita Nenek Gayung itu cuma mitos!"

Mereka sepakat melupakan perdebatan tentang si nenek misterius. Bimo menyetir dengan hati-hati dan penuh konsentrasi. Setidaknya mereka harus melewati jalanan gelap itu dan bertemu dengan jalan raya perkotaan untuk memastikan terhindar dari bahaya. Mereka tak yakin bahwa hantu bisa saja membuat tersesat dan menemui jalan buntu. Bagaimana kalau mereka berakhir di kuburan atau hutan? Tak ada yang bisa menyangkanya.

Semua pikiran buruk tiga cowok itu lenyap begitu mobil mereka melewati rumah-rumah penduduk dengan lampu terang benderang. Beberapa ratus meter berikutnya tampak bangunan pertokoan berjajar-jajar. Mereka cukup lega karena mengenali kawasan itu sebagai pusat kota di tempat tinggal Bimo.

"Guys, ke pom bentar ya. Udah nipis nih."

Mobil mereka pun berhenti di sebuah pom terdekat. Sebelum melanjutkan perjalanan, Bimo mampir ke toilet karena tak bisa menahan buang air. Beberapa saat kemudian dia kembali.

"Yuk, lanjut. Keburu malem nih!"

Malam semakin larut. Jam di ponsel Galih sudah menunjukkan pukul setengah sebelas. Harusnya sebentar lagi sudah sampai rumah Bimo. Dia sibuk bermain dengan ponselnya, sementara Cakra telah mendengkur di jok belakang.

Galih sedang asyik memainkan ponselnya, ketika tetiba suara dering mengagetkannya. Dia lebih kaget lagi begitu melihat nama yang tertera di layar. Dengan perasaan gugup, cowok itu mengangkatnya.

"Halo?"

"Gal, lu gimana sih? Kok gue ditinggal di pom? Siapa yang nyetir?"

Siapa yang nyetir?Mendadak Galih bertanya dalam hatinya. Dia masih tak mengerti apa yang terjadi. Bimo baru saja menelepon. Lalu siapa yang kini berada bersama mereka?

Dengan perasaan takut Galih memalingkan wajah, melihat siapa yang berada di kursi kemudi. Nenek berambut panjang itu duduk di sana, menyetir dengan percaya diri. Saat kepala itu menoleh, Galih bisa melihat bahwa dia bukanlah nenek-nenek yang harus dikasihani. Wajahnya mengerikan dengan sorot mata merah dan bibir pucat, meringis menampakan tawanya.

"Selamat datang di neraka!"

Mobil itu pun entah melaju ke mana.

Selesai

Penulis : @denbagoes01
Sumber : Mitos Nenek Gayung dan Gambar

Diubah oleh denbagoes01 16-03-2020 23:50
deanjerryAvatar border
eL89Avatar border
blueshurikenAvatar border
blueshuriken dan 20 lainnya memberi reputasi
21
1.5K
22
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan