- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Pantangan dan Kerajaan Arwah Danau Situ Gede


TS
RetnoQr3n
Pantangan dan Kerajaan Arwah Danau Situ Gede
Cerita Pendek Horor

Hari ini adalah hari yang kutunggu. Bersama dua orang teman, kami akan berkemah di pinggiran danau Situ Gede Tasikmalaya. Wah, bayangan tentang serunya tidur di alam terbuka membuat hati makin semangat.
Meskipun sebelumnya, ayah dan ibu tidak mengizinkan. Aku tetap berkeras hati untuk ikut berkemah. Dengan rayuan maut seorang anak, akhirnya mereka luruh juga. Lagian, kenapa mereka mesti melarang? Aku kan sudah kelas 2 SMA.
"Nak, hati-hati, ya. Sekarang hari Sabtu, jangan naik perahu, jangan sebut kohkol, jangan sembarangan ngomong," perintah Ibu.
Aku hanya mengangguk malas mendengar semua larangan Ibu. Lagian, hari gini masih ada aja yang percaya mitos-mitos begituan. Aku mah bukannya ga percaya, tapi .... Hellow, zaman udah moderen, kepercayaan seperti itu udh ketinggalan zaman. Kaya ga pernah sekolah aja.
Di bawah pohon kersen yang cukup teduh, pinggir danau Situ Gede, kami membangun tenda untuk ditempati bersama. Lisa dan Dewi, mereka adalah teman petualanganku kali ini.
Selesai kami mendirikan dan merapihkan tenda, bekal makan malam pun dibuka. Bersama mereka, aku berbagi bekal sambil bercerita tentang beberapa kejadian di sekolah. Biasalah perempuan, kalo udah ngumpul, bawaannya ngegosip mulu. Mulai dari cowo cakep sampai cerita yang ga jelas sumbernya.
"Eh, Nad, Wi, tau ga? Katanya di sini banyak pantangannya loh," kata Lisa setengah berbisik.
"Tau gue, emak gue udah wanti-wantu dari rumah. Tapi, ga peduli lah. Kenapa coba ga boleh naik perahu di Sabtu sore? Mungkin karena kita jomblo ya?" Aku bersikap santai. Kami bertiga tertawa bersama.
Lelah menggerayangi, aku berbaring di tikar, menatap langit sore yang mulai memerah.
***
Kami memutuskan untuk naik perahu bersama. Kami menyusuri pinggir danau untuk mencari perahu yang beroperasi. Sayang sekali, hampir semua tukang perahunya tidak beroperasi.
Sampai di ujung danau, di samping hutan bambu, kami bertemu seorang bapak tua dengan kulit keriput kering bersisik berwarna hitam legam. Awalnya aku sempat merinding melihat penampilannya. Tapi segera kutepis perasaan itu.

"Mau naik perahu, Neng?" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban pertanyaan bapak itu. "Ga takut, Neng?" Ragu-ragu aku menggeleng.
Kami bertiga naik ke perahu bapak itu. Perahu tersebut berwarna hitam dan putih, gambar ikan berwarna hitam sedang meliuk menjadi hiasannya. Aku merasa mata ikan itu tertuju padaku. Sempat sesaat aku terpaku menatap mata belonya.
Sempat gemetar, tapi aku tetap naik bersama Lisa dan Dewi. Untuk menghilangkan ketakutan, kami bergenggaman tangan. Kami mengalihkan pembicaraan tentang sekolah.
"Hei, lihat awannya. Kaya bentuk ikan, ya!" Lisa teriak. Kami menengadahkan kepala untuk melihat lebih jelas.
"Iya, jadi inget cerita ambu. Ada ikan kohkol di situ gede," cerita Dewi.
Sontak aku mengeratkan genggaman ke Dewi dan memelototinya. Kenapa sih bisa keceplosan. Seluruh ototku terasa menegang. Aku melihat ke belakang tempat tukang perahu mengemudi.
Mata bapak itu membulat sempurna, bola matanya menonjol seperti mau keluar. Tubuhnya semakin lama semakin berwarna hitam. Sisik di kulitnya makin tampak menonjol seperti sisik ikan. Bapak itu seperti monster ikan, bukan ... hantu ikan, bukan ... jelmaan ikan. Ah, aku bingung menamainya.
Kedua tangannya berubah menjadi sirip berujung runcinh. Kepalanya semakin lama semakin mengkerucut. Hanya kakinya yang tidak berubah. Masih seperti kaki manusia. Manusia setengah ikan.
Kudengar suara keciprak air yang semakin lama semakin jelas. Perahu kami bergoyang hebat. Kurasakan ombak menerpa perahu kami.
Satu tangan yang bebas, kugunakan memegang pinggiran perahu. Aku terpaku lemas. Ingin lari, tapi ini ada di tengah danau.
Monster ikan jadi-jadian itu mendekat ke arah kami.
"Bukankah sudah ada yang memperingatkan kalian untuk tidak melakukan apapun di sini pada hari Sabtu? Apalagi menyebut kata kohkol di danau ini." Suaranya menggelegar disertai seringai tawa. "Anak yang tidak menghargai nasehat orang tua, pantas untuk dijadikan prajurit di kerajaan arwah," lanjutnya.
Mendengar gelegar tawanya yang bagai guntur. Kakiku melemas, penglihatanku kabur, dan perlahan semua gelap. Apakah hanya sampai di sini hidupku? Apakah aku akan dibawa ke kerajaan arwah?
"Tidaaaak!" Aku berteriak sekencang mungkin. Tapi tidak ada suara yang lolos dari tenggorokan. Sesak, bagai berada di dalam air.
Nyatakah ini? Atau hanya mimpi?
Salam hangat,
RetnoQr3n
Diubah oleh RetnoQr3n 16-03-2020 21:34






infinitesoul dan 5 lainnya memberi reputasi
6
793
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan