

TS
diannurlaili
Not Today
“I-ini beneran, Dok?” Aku shock. Tanganku yang memegang lembaran kertas berisi diagnosis kesehatanku itu gemetar. Satu fakta yang mampu membuatku merasa tak ada gunanya lagi aku mengejar apa yang selama ini aku cari. Cukup sudah, waktuku sudah hampir habis. Tinggal menunggu detik demi detik yang akan membawaku ke dimensi lain. Kanker otak stadium 3. Aku tak pernah berpikir mempunyai penyakit yang mengerikan seperti ini. Aku hanya menganggap sakit kepala dan mimisan yang sering kualami akhir-akhir ini adalah faktor kelelahan karena aku harus mengejar deadline.
Laki-laki paruh baya dengan stetoskop yang menggantung di lehernya itu mengangguk. Matanya menyiratkan rasa prihatin dan kasihan. Cukup! Aku benci melihat diriku sendiri dikasihani oleh orang lain. Aku melipat kertas itu dan mengantonginya. Berdiri dengan senyum seadanya dan berterima kasih ala kadarnya.
Keluar dari ruangan dokter, aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Tidak! Ini belum berakhir. Aku belum bisa membelikan rumah kedua orang tuaku, aku belum melihat adikku lulus sarjana. Sebagai penulis freelance yang pendapatan tergantung kemampuanku dalam menuliskan cerita, aku tak bisa memberikan terlalu banyak. Aku bahkan tak pernah keluar rumah jika tak mendesak. Hari-hariku hanya berkutat dengan laptop dan tulisan-tulisan yang membuat mataku minus dan sekarang harus menggunakan kacamata sebagai alat bantu. Aku juga jarang berolahraga, mungkin ini yang memicu penyakit berkembang dengan baik di tubuhku.
“Nak, kamu tidak apa-apa, kan?” Wanita cantik berhijab cream dengan aksen renda di ujungnya itu menghampiriku dengan wajah diliputi dengan kecemasan. Gurat-gurat halus sebagai tanda penuaan sudah banyak di area sekitar mata dan pipinya. Ah, aku bahkan belum sempat membawa ibuku perawatan ke salon.
“Tidak, Bu! Diana baik-baik saja kok, hanya kelelahan dan akan sembuh kalau istirahat.” Ya, aku berbohong! Aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Ibuku, beliau mempunyai riwayat penyakit jantung, dan aku tak mungkin membuatnya terkejut dengan keadaanku yang sebenarnya. Ibu sedang menjalani perawatan intensif untuk penyakitnya ini dan aku ingin beliau cepat sembuh.
Ibuku menghela napas lega dan memelukku dengan erat. Aku tersenyum meski dalam hatiku ingin menangis. Sungguh, aku tidak takut mati, tapi aku belum menyelesaikan tugasku sebagai seorang anak di dunia ini. Terlahir di keluarga yang biasa membuat kita semua harus bekerja keras jika menginginkan sesuatu. Aku sendiri hanya tamatan SMA, Ibuku hanya bekerja di rumah sebagai Ibu rumah tangga, Ayahku yang bekerja sebagai driver ojek online pun tak mampu memberi banyak. Adikku laki-laki, dia masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Cita-citaku sangat banyak, aku ingin menyekolahkan adikku hingga lulus kuliah, membelikan kedua orang tuaku rumah yang layak dan memberangkatkan mereka ke tanah suci. Selain bekerja sebagai penulis freelance, aku juga membuka online shop yang menjual bermacam-macam buku. Dari buku novel, hingga buku pelajaran. Dari sini, aku bisa menabung sedikit demi sedikit untuk membantu orang tuaku.
“Assalamualaikum!”
Aku dan Ibu sampai di rumah setelah sebelumnya ke apotek terlebih dahulu untuk menebus obat. Hanya sekedar pereda nyeri karena obat tak banyak membantu saat ini. Kata Dokter, aku harus melakukan kemoterapi atau operasi jika memang di perlukan. Tapi, uang dari mana?
“Waalaikumsalam!” Itu suara adikku. Dia pasti baru saja pulang dari sekolah mengingat sekarang sudah pukul empat sore.
“Kakak kenapa?”
Aku hanya tersenyum memandang adikku. “Kakak tidak apa-apa, kok. Hanya kelelahan saja.”
Aku melihat raut tidak percaya di wajahnya, tetapi ia memilih untuk mengangguk. Memang, membohongi adikku itu sulit, apalagi dia yang memang mengambil jurusan kesehatan karena bercita-cita menjadi dokter.
“Ya sudah, Bu! Diana ke kamar dulu, ya!” pamitku pada Ibu dan beliau hanya mengangguk setelah mengusap kepalaku dengan sayang.
“Istirahat dulu, kerjaan bisa dilanjutkan besok!” pesannya yang kudengar sayup-sayup karena kini aku sudah berada di kamar.
Aku membanting tubuhku ke kasur dan memejamkan mata, meredakan rasa pening yang tiba-tiba menyerang. Tidak! Aku masih sanggup bertahan lebih lama. Aku memberi sugesti kepada diriku sendiri. Setelahnya aku bangkit dan berniat menyelesaikan naskah dan bisa langsung dikirim ke penerbit dan pundi-pundi rupiah bisa mengalir ke rekeningku.
Baru saja melangkah, rasa mual hebat melanda, perut seperti diaduk yang membuatku segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua makanan tadi siang. Rasa pening di kepala semakin menjadi setelah aku selesai membersihkan mulutku. Cairan hangat terasa keluar dari hidung. Aku menyekanya, dan cairan merah yang ada di tanganku membuat mataku berkunang-kunang. Dengan tertatih, aku keluar dari kamar mandi. Tanganku kugunakan untuk membekap hidung agar darah tak semakin banyak keluar. Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan adikku yang membuatnya segera berlari menghampiriku.
“Kak!” pekiknya sambil membantuku berjalan.
Sampai di kamar aku segera meraih tisu dan menyumbat hidungku. Adikku keluar dari kamar, satu menit kemudian ia sudah kembali dengan sebaskom air hangat dan handuk bersih. Dengan cekatan, ia membersihkan tanganku yang berlumuran darah dan juga di sekitar hidung dan mulutku.
“Kak, jujur sama Fikri sekarang juga, sebenarnya kakak sakit apa?” tanyanya begitu mimisanku sudah bisa diatasi dan aku sudah bersandar dengan nyaman di kasur.
Aku tersenyum, merasa bangga dengan adikku yang tumbuh dengan baik. Meskipun ia laki-laki, tapi ia tak pernah ikut-ikutan nakal seperti kebanyakan temannya, waktunya habis di rumah untuk belajar dan membantu pekerjaan rumah. Tak heran jika ia selalu mendapat posisi pertama di sekolahnya. Keluarga pun sedikit terbantu karena ia berhasil mendapatkan beasiswa.
“Kakak hanya kelelahan, Fik!” Aku mengulang jawaban yang sama.
Adikku tampak menggelengkan kepalanya. “Kakak tahu kalau aku juga sekolah di bidang kesehatan, bukan?”
Aku mengangguk. “Makanya belajar yang bener, dan cepet jadi dokter!”
Aku menghela napas saat Fikri menatapku tajam meminta penjelasan.
“Fik, Kakak hanya kelelahan, kok! Besok juga sembuh,” ucapku penuh keyakinan yang membuatnya menyerah. Ia membantuku berbaring dan menarik selimut hingga sebatas leherku.
“Kakak istirahat sekarang! Kalau sampai aku tahu kakak masih bekerja, aku tak mau melanjutkan sekolah dan menggantikan kakak bekerja.”
Aku mengangguk pasrah. Ancaman yang satu ini memang selalu ia gunakan jika aku terlalu keras kepala jika diminta untuk istirahat.
Setelah Fikri keluar dari kamar, aku meraih tasku dan mengambil obat yang baru saja kutebus. Menenggaknya sesuai resep dokter dan memejamkan mata untuk istirahat. Mungkin, aku akan mati, mungkin batas waktuku memang tinggal sedikit lagi, tapi tidak hari ini. Aku masih punya banyak mimpi, aku masih punya banyak hal yang ingin kulakukan bersama keluargaku. A day may come, when I lose, but is not today, today I fight.
Laki-laki paruh baya dengan stetoskop yang menggantung di lehernya itu mengangguk. Matanya menyiratkan rasa prihatin dan kasihan. Cukup! Aku benci melihat diriku sendiri dikasihani oleh orang lain. Aku melipat kertas itu dan mengantonginya. Berdiri dengan senyum seadanya dan berterima kasih ala kadarnya.
Keluar dari ruangan dokter, aku mengepalkan tanganku dengan kuat. Tidak! Ini belum berakhir. Aku belum bisa membelikan rumah kedua orang tuaku, aku belum melihat adikku lulus sarjana. Sebagai penulis freelance yang pendapatan tergantung kemampuanku dalam menuliskan cerita, aku tak bisa memberikan terlalu banyak. Aku bahkan tak pernah keluar rumah jika tak mendesak. Hari-hariku hanya berkutat dengan laptop dan tulisan-tulisan yang membuat mataku minus dan sekarang harus menggunakan kacamata sebagai alat bantu. Aku juga jarang berolahraga, mungkin ini yang memicu penyakit berkembang dengan baik di tubuhku.
“Nak, kamu tidak apa-apa, kan?” Wanita cantik berhijab cream dengan aksen renda di ujungnya itu menghampiriku dengan wajah diliputi dengan kecemasan. Gurat-gurat halus sebagai tanda penuaan sudah banyak di area sekitar mata dan pipinya. Ah, aku bahkan belum sempat membawa ibuku perawatan ke salon.
“Tidak, Bu! Diana baik-baik saja kok, hanya kelelahan dan akan sembuh kalau istirahat.” Ya, aku berbohong! Aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya kepada Ibuku, beliau mempunyai riwayat penyakit jantung, dan aku tak mungkin membuatnya terkejut dengan keadaanku yang sebenarnya. Ibu sedang menjalani perawatan intensif untuk penyakitnya ini dan aku ingin beliau cepat sembuh.
Ibuku menghela napas lega dan memelukku dengan erat. Aku tersenyum meski dalam hatiku ingin menangis. Sungguh, aku tidak takut mati, tapi aku belum menyelesaikan tugasku sebagai seorang anak di dunia ini. Terlahir di keluarga yang biasa membuat kita semua harus bekerja keras jika menginginkan sesuatu. Aku sendiri hanya tamatan SMA, Ibuku hanya bekerja di rumah sebagai Ibu rumah tangga, Ayahku yang bekerja sebagai driver ojek online pun tak mampu memberi banyak. Adikku laki-laki, dia masih duduk di bangku kelas 2 SMA. Cita-citaku sangat banyak, aku ingin menyekolahkan adikku hingga lulus kuliah, membelikan kedua orang tuaku rumah yang layak dan memberangkatkan mereka ke tanah suci. Selain bekerja sebagai penulis freelance, aku juga membuka online shop yang menjual bermacam-macam buku. Dari buku novel, hingga buku pelajaran. Dari sini, aku bisa menabung sedikit demi sedikit untuk membantu orang tuaku.
“Assalamualaikum!”
Aku dan Ibu sampai di rumah setelah sebelumnya ke apotek terlebih dahulu untuk menebus obat. Hanya sekedar pereda nyeri karena obat tak banyak membantu saat ini. Kata Dokter, aku harus melakukan kemoterapi atau operasi jika memang di perlukan. Tapi, uang dari mana?
“Waalaikumsalam!” Itu suara adikku. Dia pasti baru saja pulang dari sekolah mengingat sekarang sudah pukul empat sore.
“Kakak kenapa?”
Aku hanya tersenyum memandang adikku. “Kakak tidak apa-apa, kok. Hanya kelelahan saja.”
Aku melihat raut tidak percaya di wajahnya, tetapi ia memilih untuk mengangguk. Memang, membohongi adikku itu sulit, apalagi dia yang memang mengambil jurusan kesehatan karena bercita-cita menjadi dokter.
“Ya sudah, Bu! Diana ke kamar dulu, ya!” pamitku pada Ibu dan beliau hanya mengangguk setelah mengusap kepalaku dengan sayang.
“Istirahat dulu, kerjaan bisa dilanjutkan besok!” pesannya yang kudengar sayup-sayup karena kini aku sudah berada di kamar.
Aku membanting tubuhku ke kasur dan memejamkan mata, meredakan rasa pening yang tiba-tiba menyerang. Tidak! Aku masih sanggup bertahan lebih lama. Aku memberi sugesti kepada diriku sendiri. Setelahnya aku bangkit dan berniat menyelesaikan naskah dan bisa langsung dikirim ke penerbit dan pundi-pundi rupiah bisa mengalir ke rekeningku.
Baru saja melangkah, rasa mual hebat melanda, perut seperti diaduk yang membuatku segera berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua makanan tadi siang. Rasa pening di kepala semakin menjadi setelah aku selesai membersihkan mulutku. Cairan hangat terasa keluar dari hidung. Aku menyekanya, dan cairan merah yang ada di tanganku membuat mataku berkunang-kunang. Dengan tertatih, aku keluar dari kamar mandi. Tanganku kugunakan untuk membekap hidung agar darah tak semakin banyak keluar. Di tengah perjalanan, aku berpapasan dengan adikku yang membuatnya segera berlari menghampiriku.
“Kak!” pekiknya sambil membantuku berjalan.
Sampai di kamar aku segera meraih tisu dan menyumbat hidungku. Adikku keluar dari kamar, satu menit kemudian ia sudah kembali dengan sebaskom air hangat dan handuk bersih. Dengan cekatan, ia membersihkan tanganku yang berlumuran darah dan juga di sekitar hidung dan mulutku.
“Kak, jujur sama Fikri sekarang juga, sebenarnya kakak sakit apa?” tanyanya begitu mimisanku sudah bisa diatasi dan aku sudah bersandar dengan nyaman di kasur.
Aku tersenyum, merasa bangga dengan adikku yang tumbuh dengan baik. Meskipun ia laki-laki, tapi ia tak pernah ikut-ikutan nakal seperti kebanyakan temannya, waktunya habis di rumah untuk belajar dan membantu pekerjaan rumah. Tak heran jika ia selalu mendapat posisi pertama di sekolahnya. Keluarga pun sedikit terbantu karena ia berhasil mendapatkan beasiswa.
“Kakak hanya kelelahan, Fik!” Aku mengulang jawaban yang sama.
Adikku tampak menggelengkan kepalanya. “Kakak tahu kalau aku juga sekolah di bidang kesehatan, bukan?”
Aku mengangguk. “Makanya belajar yang bener, dan cepet jadi dokter!”
Aku menghela napas saat Fikri menatapku tajam meminta penjelasan.
“Fik, Kakak hanya kelelahan, kok! Besok juga sembuh,” ucapku penuh keyakinan yang membuatnya menyerah. Ia membantuku berbaring dan menarik selimut hingga sebatas leherku.
“Kakak istirahat sekarang! Kalau sampai aku tahu kakak masih bekerja, aku tak mau melanjutkan sekolah dan menggantikan kakak bekerja.”
Aku mengangguk pasrah. Ancaman yang satu ini memang selalu ia gunakan jika aku terlalu keras kepala jika diminta untuk istirahat.
Setelah Fikri keluar dari kamar, aku meraih tasku dan mengambil obat yang baru saja kutebus. Menenggaknya sesuai resep dokter dan memejamkan mata untuk istirahat. Mungkin, aku akan mati, mungkin batas waktuku memang tinggal sedikit lagi, tapi tidak hari ini. Aku masih punya banyak mimpi, aku masih punya banyak hal yang ingin kulakukan bersama keluargaku. A day may come, when I lose, but is not today, today I fight.
0
438
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan