

TS
Syahrulleo
Bagaimana mungkin aku tidak mengingatmu di malam sebahus ini..
Kalau aku mati, kamu pasti cari istri baru ya?”
“Aku sedang mencari bintang Mah, kok malam ini bintang ga muncul ya?” sahutku. Ia ikut mencari – cari juga sembari menjawab, “Hmm, sepertinya bintang – bintang itu tersesat, dan ga tahu jalan pulang, jadi mereka tak muncul di langit kita malam ini.” Jawabannya membuat hatiku berdesir. “Ya kan kalau tersesat bisa nanya, bintangnya malu bertanya sih, jadi sesat di langit deh,” ceplosku. Mendengar ceplosanku itu membuatnya tertawa, “Papah bisa aja…trus, jadi apa jawabannya sama pertanyaan awalku tadi? Kamu belum menjawabnya ih,” coleknya. Aku segera pura – pura tidur saja dan mendengkur lalu terdengar suara tawanya lagi.
“Fadia Azmi?”
Aku tertawa, “Nah, gitu dong…berani jujur itu hebat!” tukasku. “Iya, iya,” sahutnya. Aku tertawa lagi. Ya begitulah Fadia, seorang gadis apa adanya, suka becanda dan tidak mempan digombali. Maka dari itu aku sudah tak sabar menunggu sore, ingin segera bertemu dengannya lagi, melihat wajahnya lagi, mendengar tawanya lagi, berbincang – bincang dengannya lagi ditemani martabak keju kismis dibawah matahari senja seperti puisi – puisi romantis tentang jatuh cinta.
Pertanyaan itu mengejutkanku, hingga membuatku menoleh padanya. Kutatap wajahnya dari samping. Matanya sedang menatap langit malam dengan bibirnya menyungging senyum. Saat itu kami sedang berbaring di halaman rumput tebal di belakang rumah yang beratapkan langit terbuka. Musim panas yang panjang dengan kemarau apinya membuat kami senang menghabiskan malam di belakang sini. Angin yang berhembus sejuk dengan bintang – bintang yang bermunculan serta bulan yang menggantung, menjadi ornamen pelengkap tempat favorit kami ini untuk bercengkerama. Sepetak rumput sintetis tebal yang bisa digulung bila hujan tiba menjadi alas kami untuk berleha dan membaringkan badan menikmati kebersamaan.
“Kok kamu gitu ngomongnya?” aku balik tanya. Kepalanya menoleh padaku. Separuh wajahnya terpapar cahaya bulan, memunculkan siluet bayang wajahnya yang oval. Matanya yang bulat menatapku. Hidungnya yang bangir dengan bibirnya yang tipis berwarna merah alami tersenyum. Cantik, masih cantik, sama seperti saat kami bertemu dulu. “Ga apa – apa, cuma nanya aja, ga tau kenapa pengen nanya gitu,” jawabnya, “Jadiii jawaban Papah apa?”
Aku melenguh sebal, malas untuk menjawabnya lalu memutar kepala kembali menatap langit dan menggunakan kedua tanganku sebagai bantal. Terdengar tawanya yang keras senang karena telah membuatku sebal. Malam kali ini di langit tampak begitu sepi, tidak ada gemerlap dan gemerlip di sana, hanya ada hitam dan bulan saja. “Lagi nyari apa Pah?” tanyanya melihat mataku yang sedang mencari - cari.
“Aku sedang mencari bintang Mah, kok malam ini bintang ga muncul ya?” sahutku. Ia ikut mencari – cari juga sembari menjawab, “Hmm, sepertinya bintang – bintang itu tersesat, dan ga tahu jalan pulang, jadi mereka tak muncul di langit kita malam ini.” Jawabannya membuat hatiku berdesir. “Ya kan kalau tersesat bisa nanya, bintangnya malu bertanya sih, jadi sesat di langit deh,” ceplosku. Mendengar ceplosanku itu membuatnya tertawa, “Papah bisa aja…trus, jadi apa jawabannya sama pertanyaan awalku tadi? Kamu belum menjawabnya ih,” coleknya. Aku segera pura – pura tidur saja dan mendengkur lalu terdengar suara tawanya lagi.
****
“Fadia Azmi?”
Dia menganggukkan kepala. “Ada keperluan apa malam – malam datang kesini?” tanyanya padaku dengan kerutan di kening. “Hai, namaku---“ aku tak melanjutkan perkenalanku karena dia telah memotongnya, “Issssh, aku udah tahu nama kamu, kita kan sekelas, ngapain pake kenalan lagi sih…aku mau nanya ngapain malam – malam kesini?” Aku nyengir, “Mau kenal lebih dekat sama kamu, boleh?”
Dia menggaruk – garuk kepalanya. “Kamu kan duduk dua meja di belakangku, bukannya itu udah dekat?” tanyanya lagi. “Bukan duduknya, aku mau lebih dekat kenal hatinya…” jawabku kalem. Dia menatapku diam, seperti yang membeku. “Halo…apakah ada orang di sana?” ujarku sembari melambaikan tangan di depan wajahnya yang terpaku. “Isssh!” dia menepis tanganku, “Sebaiknya kamu pulang deh…ga enak kalau sampai Papahku ta---“
“Fadia!”
Terdengar suara panggilan keras dari dalam rumah. Aku sudah duga suara siapa itu. “Tuh kan, Papahku sudah manggil…udah deh mendingan kamu pulang…Papahku galak!” bisiknya. “Santai aja kali, ga pa pa galak juga, berarti kan ga setiap cowok bisa datang kesini dan kenalan sama kamu, eh aku mau kenal sama Papah kamu dong,” sahutku sembari merapihkan rambut, jaket jeansku serta menepuk – nepuk celana belel jeansku agar terhilang dari debu. “Nah, aku sudah siap…mana kenalin sama Papahmu…” pintaku. Dia geleng – geleng dan mengucapkan, “Selamat malam, Assalamualaikum,” lalu menutup pintu rumahnya di depan wajahku.
Aku menghela nafas, lalu mengetuk pintunya lagi beberapa kali. Setelah menunggu cukup lama, baru pintunya dibuka. “Ya ada apa?” tanya papahnya yang muncul dari balik pintu. “Eh malam Om, maaf ganggu, aku dari Karang Taruna mau ketemu sama Fadia, ingin menyampaikan konsep acara buat tujuh belasan nanti,” jawabku dengan senyum meski hati terkejut karena tak menduga kalau papahnya yang muncul. “Karang Taruna?” gumam papahnya sembari melirik jam di dinding ruang tamunya yang menunjukkan pukul 9 malam kemudian kembali menatapku. Aku masih memasang senyum di wajahku.
“Fadia! Fadia!...” panggil papahnya, “Ya sudah tunggu, nanti Om panggilkan, tapi jangan lama ya, sudah malam.” Aku mengangguk dengan sopan. “Tuh, ada temenmu dari Karang Taruna…” sahut papah pada Fadia yang sedang menonton televisi. “Karang Taruna?” tanyanya heran, ia menuju ke depan dan membuka pintunya.
“Issshhhh! Masih kamu…kirain sudah pulang…pake bilang dari Karang Taruna lagi, ada apa?” ucapnya sebal sembari melipat tangannya di depan dada. Aku tersenyum, berkata, “Aku ga lama kok, cuma mau jawab salam kamu sebelum kamu tutup pintu tadi, kan aku belum jawab.” Wajahnya tampak terkejut. “Waalaikumsalam…oh iya, salam buat Papah, dia ga galak kok, baik ah, selamat malam,” ucapku seraya berlalu. Fadia menggaruk – garuk kepalanya dan tak ayal ia pun tersenyum dikulum.
Itulah pertama kalinya aku datang ke rumahnya.
***
“Mau kemana? Mau kemana?” tanyanya kaget sampai dua kali.
“Mau ke rumahmu, Fadia,” jawabku tenang.
“Hah? Sekarang?”
“Iya, masa tahun depan, keburu lulus.”
“Tapi ini kan masih siang…”
“Katanya kemarin ga boleh malam – malam...”
“Iya sih, tapi ga siang – siang juga…”
“Jadi bolehnya kapan?”
“Hufhhh, gimana kalau sore aja…”
“Sore? Saat senja?…”
“Iya, saat senja…kenapa?”
“Senja itu puitis, romantis…”
Dia tertawa, “Biar kayak anak sastra...”
“Anak sastra? Bukannya kamu anak Pak Sutowo dan Ibu Ningsih?”
“Hey! Darimana kamu tahu nama orang tuaku?”
Kini aku yang tertawa, “Ke ruang guru tadi…”
Dia geleng – geleng, “Sampai segitu niatnya ya cari data – dataku…hmmm, buat apa?” Aku menatapnya penuh keyakinan dan menjawab, “Supaya aku tahu tanggal lahir kamu, jadi bisa bilang selamat ulang tahun, supaya aku juga tahu RT kamu berapa RW kamu berapa, jadi bisa tahu jadwal rondanya.”
“Buat apa?”
“Jadi aku bisa dateng ke rumahmu saat ga ada ronda.”
“Trus mau ngapain?”
“Mau jadi pencuri...”
“Hah? Maksudnya?”
“Pencuri hatimu…”
“Iissshh, emangnya aku tivi empat belas inci apa maen dicuri aja.”
Dia tertawa tanpa pipi yang merona sepertinya gombalanku tak mempan buatnya. “Basi tau gombalannya, coba yang lebih kreatif lagi cari gombalannya ya,” balasnya. “Jadi gimana, aku boleh ke rumahmu sekarang, apa nanti sore?” tanyaku. “Sore aja, sembari aku mau titip beliin martabak keju kismis di pengkolan sebelum ke rumah ya, ini duitnya…” jawabnya sembari mengeluarkan uang.
Aku melongo, “Ini beneran? Kamu nitip martabak?” Dia mengangguk dan menyodorkan uangnya, “Emang kenapa? Kan buat nemenin kita ngobrol, lagi pula itu tukang martabak bukanya sore, jadi sekalian kamu lewat…eh tapi kamu suka martabak kan?” Aku jadi mengangguk. “Cuma aneh aja,” gumamku. “Aneh kenapa?” sahutnya ternyata dia mendengar gumamanku. Aneh aja, ada cowok mau pedekate malah dititipin beli martabak, jawabku tapi di hati.
“Engga kok, engga ada yang aneh hehehe…kalau Papah sama Mamahmu sukanya apa? Biar sekalian aku beliin,” ucapku.
“Udah, kamu ga usah beli apa – apa buat Papah sama Mamahku…kita masih sekolah kok, ongkos aja masih dikasih sama orang tua kan, jadi jangan repot – repot…kamu datang aja aku udah seneng…eh…” dia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangannya. “Gimana, gimana, aku ga terlalu jelas sama kalimat yang terakhir tadi loh,” tanyaku pura – pura ga dengar sebetulnya dengar dan senang.
“Iya deh…aku jujur…kamu datang aja aku udah seneng kok…”
Aku tertawa, “Nah, gitu dong…berani jujur itu hebat!” tukasku. “Iya, iya,” sahutnya. Aku tertawa lagi. Ya begitulah Fadia, seorang gadis apa adanya, suka becanda dan tidak mempan digombali. Maka dari itu aku sudah tak sabar menunggu sore, ingin segera bertemu dengannya lagi, melihat wajahnya lagi, mendengar tawanya lagi, berbincang – bincang dengannya lagi ditemani martabak keju kismis dibawah matahari senja seperti puisi – puisi romantis tentang jatuh cinta.
****
0
640
3


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan