Mulanya Gw kaget juga membaca berita di laman detik.com (10/3/2020), bertajuk Nasib Gadis di Tulungagung yang Disetubuhi Pacar Saat Datang Bulan.

Remaja di bawah umur disetubuhi pacarnya saat datang bulan dengan imbalan dua buah kaos sebagai hiburan. Orang tua yang mengetahui kemudian melaporkan kejadian tersebut ke aparat kepolisian.

Bersadarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Dengan ancaman hukuman minimal 5 tahun maksimal 15 tahun. Nikmat sekejap harus dibayar dengan mahal.

Namanya juga mabuk cinta, hanya dengan panggilan WA dengan alasan kangen bisa bertemu, menyewa kamar kos pula. Kalau sudah begini siapa yang salah?

Itulah sulitnya jadi orangtua. Punya anak gadis takut dinodai. Punya anak laki-laki takut menodai. Hitung-hitungannya akan sama saja. Salah pergaulan, benarkah?

Aksi pacaran tak hanya habis hingga cium-ciuman dan raba-rabaan. Layaknya orang dewasa, kadang gaya yang diperagakan malah lebih dahsyat dari orang dewasa. Dari mana mereka melihat?

Mengasuh anak memang tak seberat menggembala sapi, kerbau, atau itik sekalipun dalam jumlah banyak. Repotnya minta ampun. Kalau hewan peliharaan jelas jalannya kemana, tinggal bila ditangan diarahkan atau dipukulkan ke badannya. Manut sudah hewan itu.

Kalau anak? Zaman sekarang, ketika arus informasi dan media sosial menyebar luas. Kontrol ktifitas anak sulit dilakukan. Dahulu kalau mau pergi dengan pacar. Sang pacar datang, mengetuk pintu, izin mau ngajak jalan. Orangtua tau jalannya ke mana, bersama siapa.

Kalau sekarang, dering WA yang gawainya dipasang headset tak akan orang lain yang mendengar. Kalau kemudian janjian ketemunya di luar rumah. Tak ada anggota keluarga yang tahu. Belum lagi jika berdusta. Alasan ketemu kawan, mengerjakan tugas kelompok dan lain-lain.

Kalau sudah kejadian, pihak yang paling pertama dirugikan jelas perempuan. Walau pihak laki-laki pun rugi. Harusnya masih sekolah dan mengejar cita-cita, akhirnya kandas di tengah jalan dan mendekam dalam penjara.

Dalam bahan ajar Psikologi Seksual, Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, 2016 Menyebutkan seksualitas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang
berbeda dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi.

Ketika dua lawan jenis berdekatan sementara memiliki rasa ketertarikan maka interaksi yang terjadi adalah menjurus pada perilaku seksual. Disadari atau tidak, ditahan atau diumbar mengarahnya selalu ke urusan itu.

Maka ketika dua lawan jenis berada dalam satu ruang berduan, wajar ketika para ustad mengatakan yang ketiga adalah setan. Peluang terjadinya hubungan itu sangat besar.

Lebih lanjut dalam bahan ajar itu disebutkan bahwa bentuk komunikasi perasaan kepada lawan jenis melalui tindakan yang dilakukannya,
seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus,
seperti isyarat gerakan tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata. (Denny & Quadagno,
1992; Zawid, 1994; Perry & Potter, 2005)

Nah, ketika orang tua memahami bahwa berduaan dengan lawan jenis di tempat teetutup rentan terjadinya hubungan badan maka antisipasi sejak dini perlu diperhatikan.

Menanamkan ajaran agama kepada anak-anak sejak dini, bahwa hubungan badan di luar nikah adalah terlarang seeta memberikan gambaran bagaimana akibat yang ditimbulkan pasti sedikit banyak menjadi warning untuk anak ke depannya.

Tak ada orang tua yang menginginkan anaknya celaka, baik anak laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu membatasi pergaulan dengan berhubungan secara sehat dan wajar ketika pacaran adalah hal paling mendasar yang perlu diperhatikan.