- Beranda
- Komunitas
- Food & Travel
- Cerita Pejalan Domestik
Takdir Prajurit di Ujung Peluru Kelompok Kriminal Bersenjata Papua


TS
tyatutu
Takdir Prajurit di Ujung Peluru Kelompok Kriminal Bersenjata Papua
Paniai, adalah tempat perdana saya menginjakkan tanah Papua. Sejak pertama sampai di sana, saya lumayan kaget karena jika kamu mengetikkan nama itu d Google maka yang muncul adalah keyword ‘Paniai Berdarah’.
Mengingatkan saya bahwa peristiwa mengerikan itu pernah saya tulis dari kejauhan. Bukannya gentar saya malah kian penasaran hingga sampai di Nabire takdir menuntun saya makin dekat dengan zona merah ini.
Sekali lagi tak ada pikiran mundur sedikit pun meski sebenarnya stakeholder terbilang cukup ‘gila’ juga mengirim saya yang satu-satunya perempuan dengan tubuh kecil sampai sana.
Pertimbangannya, belum ada media mainstream Jakarta apalagi sekelas media saya yang sampai ke sana. Ya, mereka butuh publikasi.
Perjalanan ditempuh dari Nabire ke Paniai sekitar 6 jam, selama itu saya banyak bertukar cerita dengan driver favorit saya soal ancaman pembunuhan yang sering menghampirinya. Mulai dari parang di leher hingga pistol di kepala, tapi coba tebak apa yang dia katakan.
“Saya pasrah aja, namanya juga kerja, anggap aja kita lagi sial”
Hebatnya si Bapak ini tak pernah bilang sama keluarga dengan alasan tak mau buat khawatir. Mungkin ini namanya tingkat kepasrahan level tertinggi.

Sebelum masuk Paniai, beberapa kali kita mampir ke markas koramil untuk drop tim yang bertugas di daerah tersebut.
Lalu…entah di Deiai atau Mappia, saya melihatnya. Tanpa baju loreng, berkaus santai dia menyandarkan AK 47 di bahunya. Dibandingkan dengan personel yang lain, badannya tidak tinggi apalagi besar. Tapi ternyata nantinya saya tahu bahwa keberanian dan intergritasnya melebihi tubuhnya sendiri.
Waktu bergerak namun kami belum juga bergerak ke lokasi yang dituju. Perlu banyak briefing dan kesepakatan untuk masuk ke pos pertama kami, Obano. Di sela-sela itu, saya melihatnya lagi, prajurit tanpa baju loreng yang sibuk memotret sana sini tanpa bertanya.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kami yang menyingkir dari rapat internal tim ekspedisi, terlibat percakapan seru. Saya yang punya banyak info background soal Kelompok kriminal bersenjata (KKB) pun mengonfirmasi banyak perisitiwa yang sebelumnya telah terjadi, utamanya rentetan penembakan di Puncak Jaya.

Dan dia adalah salah satu korban dari penembakan membabi buta itu oleh KKB atau kelompok separatis yang lebih banyak dinilai caper demi uang daripada ingin pisah dari RI. Bertahun-tahun ditugaskan di Puncak Jaya membuat mentalnya kuat dan keberaniannya menjadi berlipat.
Tapi saat dekat dengan kematian, dia pun gentar. Ketakutan itu dibagikan ke saya yang cuma orang asing dan belum hitungan jam berkenalan.
Cerita berawal dari patroli di gelapnya hutan Puncak Jaya. Tak ada suara dan tak boleh bersuara, mereka menyisir daerah rawan itu. Tapi kewaspadaan belumlah cukup, berondongan tembakan muncul dari arah belakang.
Semua berlari kalang kabut, dia merasa teman di belakangnya jatuh tersungkur namun yang dilakukannya hanya terus berlari. Celana yang gobrong pun tembus peluru berkali-kali. Tembakan mereda dan dia selamat.
Kejadian serba cepat ini pun membuat dirinya bergegas kembali ke pos jaga. Coba tebak untuk apa? Untuk memeluk Alquran. Ceritanya, sambil menangis dia sujud di atas sajadah dan memeluk Alquran. Itu sebagai wujud syukur, katanya, dia masih diberi hidup.
Belum puas, dia pun menelepon sang bunda, sang pemberi hidup di dunia. Cerita kembali berlanjut dan dia terus menekankan kembali soal peluru yang punya takdir masing-masing.
Keberuntungan dia sebagai prajurit kembali diuji, kali ini peluru KKB menuntaskan takdir rekannya lagi saat penyerangan berlanjut. Mereka yang mengejar para KKB, merapat semua ke dinding bukit menghindari tembakan. Naas, teman di belakangnya tertembak lalu jatuh ke jurang, padahal dia yang ada di depan dan peluru datang dari arah depan.
Secara logika harusnya mengenai dirinya bukan temannya, tapi memang sekali lagi peluru punya takdirnya masing-masing. Saya pun bertanya kalau teman tewas apa yang dilakukan tim mereka?
Maka bagaimanapun “Senjata adalah lebih penting dari hidup kami” tegas dia tanpa ada kata “tapi”. Beberapa hari setelah saya berbincang, dia pun kembali menghadapi takdirnya di ujung peluru. Apa itu? tunggu ya cerita selanjutnya. Cerita lainnya lihat di sini. Videonya lihat di sini.
Mengingatkan saya bahwa peristiwa mengerikan itu pernah saya tulis dari kejauhan. Bukannya gentar saya malah kian penasaran hingga sampai di Nabire takdir menuntun saya makin dekat dengan zona merah ini.
Sekali lagi tak ada pikiran mundur sedikit pun meski sebenarnya stakeholder terbilang cukup ‘gila’ juga mengirim saya yang satu-satunya perempuan dengan tubuh kecil sampai sana.
Pertimbangannya, belum ada media mainstream Jakarta apalagi sekelas media saya yang sampai ke sana. Ya, mereka butuh publikasi.
Perjalanan ditempuh dari Nabire ke Paniai sekitar 6 jam, selama itu saya banyak bertukar cerita dengan driver favorit saya soal ancaman pembunuhan yang sering menghampirinya. Mulai dari parang di leher hingga pistol di kepala, tapi coba tebak apa yang dia katakan.
“Saya pasrah aja, namanya juga kerja, anggap aja kita lagi sial”
Hebatnya si Bapak ini tak pernah bilang sama keluarga dengan alasan tak mau buat khawatir. Mungkin ini namanya tingkat kepasrahan level tertinggi.

Sebelum masuk Paniai, beberapa kali kita mampir ke markas koramil untuk drop tim yang bertugas di daerah tersebut.
Lalu…entah di Deiai atau Mappia, saya melihatnya. Tanpa baju loreng, berkaus santai dia menyandarkan AK 47 di bahunya. Dibandingkan dengan personel yang lain, badannya tidak tinggi apalagi besar. Tapi ternyata nantinya saya tahu bahwa keberanian dan intergritasnya melebihi tubuhnya sendiri.
Waktu bergerak namun kami belum juga bergerak ke lokasi yang dituju. Perlu banyak briefing dan kesepakatan untuk masuk ke pos pertama kami, Obano. Di sela-sela itu, saya melihatnya lagi, prajurit tanpa baju loreng yang sibuk memotret sana sini tanpa bertanya.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba kami yang menyingkir dari rapat internal tim ekspedisi, terlibat percakapan seru. Saya yang punya banyak info background soal Kelompok kriminal bersenjata (KKB) pun mengonfirmasi banyak perisitiwa yang sebelumnya telah terjadi, utamanya rentetan penembakan di Puncak Jaya.

Dan dia adalah salah satu korban dari penembakan membabi buta itu oleh KKB atau kelompok separatis yang lebih banyak dinilai caper demi uang daripada ingin pisah dari RI. Bertahun-tahun ditugaskan di Puncak Jaya membuat mentalnya kuat dan keberaniannya menjadi berlipat.
Tapi saat dekat dengan kematian, dia pun gentar. Ketakutan itu dibagikan ke saya yang cuma orang asing dan belum hitungan jam berkenalan.
Cerita berawal dari patroli di gelapnya hutan Puncak Jaya. Tak ada suara dan tak boleh bersuara, mereka menyisir daerah rawan itu. Tapi kewaspadaan belumlah cukup, berondongan tembakan muncul dari arah belakang.
Semua berlari kalang kabut, dia merasa teman di belakangnya jatuh tersungkur namun yang dilakukannya hanya terus berlari. Celana yang gobrong pun tembus peluru berkali-kali. Tembakan mereda dan dia selamat.
Quote:
Kejadian serba cepat ini pun membuat dirinya bergegas kembali ke pos jaga. Coba tebak untuk apa? Untuk memeluk Alquran. Ceritanya, sambil menangis dia sujud di atas sajadah dan memeluk Alquran. Itu sebagai wujud syukur, katanya, dia masih diberi hidup.
Belum puas, dia pun menelepon sang bunda, sang pemberi hidup di dunia. Cerita kembali berlanjut dan dia terus menekankan kembali soal peluru yang punya takdir masing-masing.
Keberuntungan dia sebagai prajurit kembali diuji, kali ini peluru KKB menuntaskan takdir rekannya lagi saat penyerangan berlanjut. Mereka yang mengejar para KKB, merapat semua ke dinding bukit menghindari tembakan. Naas, teman di belakangnya tertembak lalu jatuh ke jurang, padahal dia yang ada di depan dan peluru datang dari arah depan.
Secara logika harusnya mengenai dirinya bukan temannya, tapi memang sekali lagi peluru punya takdirnya masing-masing. Saya pun bertanya kalau teman tewas apa yang dilakukan tim mereka?
Quote:
Maka bagaimanapun “Senjata adalah lebih penting dari hidup kami” tegas dia tanpa ada kata “tapi”. Beberapa hari setelah saya berbincang, dia pun kembali menghadapi takdirnya di ujung peluru. Apa itu? tunggu ya cerita selanjutnya. Cerita lainnya lihat di sini. Videonya lihat di sini.


tata604 memberi reputasi
1
421
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan