Kaskus

Story

mambaulathiyahAvatar border
TS
mambaulathiyah
Rembulan Jingga (Cerpen)

"Kata orang, wanita yang lahir pada bulan Suro-sebuah bulan menurut wicara Jawa-akan selalu dinaungi oleh kesedihan. Kesuraman masa depan dan sepuluh bala'."

Aku mengusap tengkukku yang perlahan bergidik. Mbah Samiyan di depanku komat-kamit membaca mantra. Aura mistisnya mengudara di belakangnya. Tapi, setelah kupicingkan mata hingga fokus terjauh ternyata itu hanya asap dupa yang disembunyikan di balik pot bunga besar dengan tanaman ringin putih dengan tinggi kira-kira sepinggang.

Wah, dukun juga punya trik, macam pesulap. Mbah Ni di sampingku duduk khusyuk tidak bergerak. Wajahnya menatap serius ke arah Mbah Samiyan, mulutnya merapal sesuatu.

"Modar!"

Kami berdua terlonjak. Tanganku mencengkeram tiang lampu di dekatku yang bersinar remang-remang. Mbah dukun keren sekali propertinya. Aku mengangguk paham.

"Napane, Mbah. Sing modar?" Mbah Ni membuka suara.

"Jodohe." Mata Mbah Samiyan enggan menatapku. Sementara aku menunjuk diriku dengan ujung jariku sendiri. Busyet deh. Keren sekali ajian Mbah Samiyan sampai bisa meramal jodohku.

"Astaghfirullah. Mbah. Lalu bagaimana?"
Mbah Ni mengucap kalimat pengampunan tapi datang ke rumah Mbah Samiyan. Sungguh berputar balik. Aku terpaksa ikut, daripada bermasalah. Bukan berarti aku mengiyakan, kuanggap ini sebagai sebuah observasi. Catat!

"Besok datang lagi. Bawa pitek cemani, mahar sewu dan ... mandikan wanita ini dengan air kembang tujuh rupa."

Mbah Samiyan mengeluarkan empat bungkus berisi kembang-kembangan yang beraneka warna.

"Lima puluh ribu," katanya.

Ah, bisnis juga rupanya. Tokcer deh akalnya. Aku melarang Mak Ni mengulurkan uang, tapi ... diambilnya juga dompet bekas wadah gelang emas yang tersimpan di dalam BH tuanya. Lima puluh ribu melayang, padahal bunga itu sangat banyak dan murah di pasar.

"Gak popo, Nduk. Tolak bala'." Mak Ni mengusap tanganku berusaha menenangkan.

Aku mengucap maaf dalam hati ya Allah. Kata Pak Kyai, dengan melangkah ke rumah dukun hingga masuk ke dalam saja sudah dianggap dosa, apalagi jika menuruti pesan-pesannya.

***

"Mak. Noni gak mau lagi ke sana. Dukunnya terlalu keren, pasti pikirannya licik." Aku merajuk kepada Mak Ni, nenekku yang sejak kecil mengasuh dan membesarkanku karena Ibu pergi ke Taiwan dan bisa dihitung dengan jari kapan dia pernah pulang.

"Nduk, kau tak dengar? Sepuluh bala' dan ...."

"Iya. Kemalangan. Noni dengar semua. Tapi, Noni ngeri, Mak. Itu namanya mendahului Tuhan." Aku membenarkan letak dudukku di depan Mak Ni lalu membisikkan sesuatu.

"Mak, kalau ke sana lagi, dosa kita bertambah lho."

"Siapa yang ngomong?"

"Kyai Masduki. Dalam pengajian kemarin."

"Memang Kyai bisa ngatur jodohmu? Buang bala'mu?"

Aku tersenyum, kebingungan hendak menjawab apa.

"Paling tidak, Kyai Masduki lebih sregep sholat daripada kita, Mak."

"Hubungane opo?" tanya Mak Ni memojokkanku.

"Paling tidak, Allah akan lebih mengenal doa Kyai saat berdoa, daripada doa kita yang jarang menghadap-Nya." Aku menjawab sambil berfilsafat. Mak Ni sepertinya kurang paham, karena setelah menggaruk kepalanya yang tidak disisir itu dia kembali meniup kayu bakar dalam pawon rumah kami dan bergelut dalam asap.

****

"Mak," panggilku kepada Mak Ni yang terbengong di rumah dukun geblek Samiyan. Tangisannya histeris, berulang kali dia menutup wajahnya dengan kerudung panjang yang dikenakan menutup separuh rambut tuanya.

"Mak," panggilku lagi. Mak Ni kemudian berlari ke arahku. Ditepuk-tepuknya pipiku, dipeluknya tubuhku.

"Mak." Aku memanggilnya lagi. Kali ini lebih lirih. Tangannya memegang dadaku, memutar-mutar pandangannya ke sana ke mari lalu meraih sebuah kain sarung dan menekannya ke atas dadaku. Darah segar mengalir dari sana. Aku merasakan sakit sekali, tak tahu harus berbuat apa.

"Mak," panggilku lagi. Tapi, aku segera terhenyak saat tak bisa lagi kusentuh tubuh Mak Ni. Aku hanya bisa memanggilnya dalam sunyi lalu merutuki nasibku sendiri.

Benar, Mbah Samiyan berkata benar. Sepuluh bala' melekat padaku dan bala' kesepuluh adalah karena ulah tangannya.

***

"Masuklah sini, Nduk." Panggilan mbah Samiyan kala itu entah kenapa membuatku seperti hilang kesadaran. Dia memapahku ke dalam sebuah kamar remang-remang lalu menidurkanku di sebuah dipan panjang. Harum aroma dupa menemani ketakutanku malam itu.

Tangan Mbah Samiyan mulai meraba tubuhku, mulutnya membaca sesuatu.

Lalu, aku berteriak. Tapi suaraku tak terdengar. Kucoba menggapai sebuah benda dengan tanganku yang kaku. Tangan ino seolah menolak perintahku.

Namun, berhasil.

Prankk!

Benda serupa botol itu kupukulkan tepat di kepalanya. Kepala Mbah Samiyan berdarah, dia berubah beringas. Sisa botol yang tajam di tanganku di rebutnya lalu di tancapkan ke dadaku.

****

Rumah Mak Ni sudah mulai ramai. Bahkan tangisan Ibuku juga meramaikan malam itu. Saat bulan jingga bersinar di atas desa, lantunan suara mengaji tetanggaku menyertai kepergianku kembali kepada sang Pemilik Hidup.

Kyai Marzuki terlihat menitikkan air mata. Mungkin beliau teringat kisah keluh kesahku tempo hari. Sekarang aku tahu Kyai, bahwa bala' adalah nyata dan semua penyebabnya adalah manusia sendiri dengan segala keangkuhannya, keegoisannya dan ketololannya.

Aku berharap, Allah Yang Pengampun memaafkan dosa-dosaku hari itu, karena untuk bertaubat setelah ini aku sudah tidak bisa.
Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
2.2K
15
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan