phien86Avatar border
TS
phien86
My Truly Destiny
Bagi sebagian orang, hidup merupakan kutukan. Sementara sebagiannya lagi amat menghargai desah napas yang Alloh pinjamkan untuk mendulang bekal pulang...

***


Kokok ayam jantan menggema dari perumahan penduduk. Malam siap beranjak. Perlahan tapi pasti, semburat kemerahan di ufuk timur kian meronakan langit.

Di luar, sisa guyuran hujan semalam menguarkan aroma tanah basah. Berpadu tetesan embun, menjadikan bumi Rancabali pagi itu memiliki hawa dingin menggigit. 13 derajat celcius. Bukan main.

Ketika itulah seorang gadis berparas oriental bangkit dari pembaringan. Ia tak yakin apakah dirinya benar-benar tertidur semalaman. Yang jelas kepalanya terasa berat.

Ah, si gadis menghela napasnya dalam-dalam, lanjut meraba tempat dimana jantungnya berada. Hatinya sungguh kebas karena tumpukan rasa sakit, tapi yang paling menyedihkan dari semua itu, ia harus merasakannya sendirian.

Gemetaran, si gadis berjalan pelan-pelan mendekati lemari kaca besar di pojok ruangan. Tangannya mengambil sebotol plastik kecil obat anti depresan dari dalam sana.

Terpaut beberapa kilometer dari tempat si gadis berada, seorang remaja lelaki menikmati pemandangan sekitar dari balkon lantai dua.

Ada senyuman lebar tersungging di bibirnya, juga di lubuk hatinya. Bayangan gunung Patuha dari kejauhan, hamparan kebun teh, biusan kabut tipis, aroma kayu bakar, suara gemericik sumur ditingkahi suara ibu-ibu yang bersiap berbagi tempat pencucian, semuanya nampak begitu menakjubkan.

"Alloh, nikmat mana lagi yang bisa kudustakan?" tukasnya masih penuh senyuman, menggenggam tongkat pel erat-erat seolah-olah benda itulah senjata paling berharga di dunia.

"Sakaaaaaa, cepetan udah kebelet nih! Panggilan alam udah nggak bisa ditolerir! Keluar dulu kenapa sih!" jerit Andatari, mahasiswi FIKOM Unpad semester 5. Si sulung dalam keluarga.

"Bentaaaar, kagok lagi sampoan!" Saka menyahut cuek, kelas XII SMA Harapan. Si putera kedua.

"Tari, jadi cewek jangan teriak-teriak gitu ah kayak tarzan aja! Saka, kamu juga buruan, kasian kakak kamu!" tegur mama, wanita terkasih yang masih nampak ayu di pertengahan usia 40 an.

"Ma, ini tempe nya diangkatin sekarang?" tanya ayah, panutan terkeren sejagad rumah.

Si cowok di balkon terkekeh-kekeh mendengarkan semua keramaian di lantai bawah rumahnya. Kebahagiaan ternyata bisa ditimbulkan dari hal-hal sesederhana ini. Sembari menenteng tongkat pelnya, dia berjalan gesit menuruni tangga. Ingin menggabungkan diri dengan kehebohan. Lalu tanpa ba bi bu, di matikannya lampu di sebelah pintu kamar mandi.

"Nah, kalau kayak gini dijamin dia bakal buru-buru keluar, Kak!" katanya puas, mengajak kakak perempuannya ber-high five. Cengiran jahil terpampang nyata di bibirnya.

Andatari ketawa cekakakan, melayani ajakan si adik bungsu.

"Heh! Siapa tuh yang matiin lampu?! Kurang kerjaan!"

Suara nyaring Saka terdengar belingsatan panik dari balik kamar mandi, buru-buru menuntaskan acara mandi nya secepat mungkin.

"Ka, selamat gelap-gelapan, ya! Hati-hati di deket bak mandi biasanya suka ada cacingnya!" sahut si cowok menahan tawa sebelum kabur ke ruangan tamu, bermaksud melanjutkan tugasnya mengepel lantai.

"Abiiiiiiii. Awas kamu!" teriak Saka sekali lagi.

***

"Mah, Yah, Abi pamit dulu."

Abichandra mencium tangan kedua orang tuanya takzim setelah sarapan di meja makan.

Jam dinding masih menunjukkan pukul 06.00 tapi Abichandra sudah rapi jali berseragam putih abu lengkap bak tentara siap perang.

"Hati-hati di jalan, Sayang." Mama membelai lembut kepala anak bungsunya. Tak ketinggalan, ayahnya ikut mensponsori doa, tersenyum di balik koran pagi yang sedang dibacanya. "Dapet ilmu yang bermanfaat ya, Bi."

"Aamiin." Abichandra mengamini sepenuh hati. Diciuminya juga tangan Andatari sebelum menolehkan kepala menatap Saka yang memang satu sekolahan dengannya dan hanya terpaut usia setahun doang, "Ka, yakin nggak mau bareng?"

"Ngapain? Kurang kerjaan amat, agak siangan aja daftar ulang mah. Memangnya aku panitia ospek? Duluan ajalah!" Saka melambaikan tangan ke udara malas-malasan. Matanya memelototi hape dalam genggaman sementara mulutnya asyik mengunyah sarapan, ditambah sesekali menyeruput coklat hangat favoritnya.

Hari itu memang hari terakhir daftar ulang bagi siswa kelas XI dan XII serta pendaftaran siswa baru untuk kelas X di tahun ajaran baru.

"Ok. Tapi jangan sampai nyesel! Assalamualaikum!" kata Abichandra sebelum ngeloyor pergi ke luar rumah, mencangklong tas biru dan sweater abu di bahunya.

"Waalaikumsalam." Mama, ayah, Andatari dan Saka menjawab serempak.

Namun, setelah cuek beberapa jenak, gelagat mencurigakan Abichandra barusan menarik perhatian Saka. Semenjak kecil dulu, dia sudah sangat paham gimana Abichandra, adiknya paling bungsu yang kadang jahilnya suka ngga kira-kira.

Dihantui rasa trauma, Saka beranjak dari kursi. Mau tak mau turun tangan mempreteli propertinya satu persatu di atas sofa ruang keluarga. Disana tergeletak jaket dan tas sekolah miliknya.

Kunci motor aman di saku jaket, buku-bukunya juga lengkap dalam tas berikut kotak pinsilnya, sepatu ready di tempat sepatu. Kaos kaki... Nah, raib!

"Abiiiiiiiiiiiiii!" teriakan sewot Saka menggelegar di seantero rumah.

***



Melewati jalan setapak yang kecil dan berbatu-batu, Abchandra berjalan slow motion, memasukkan kedua tangannya dalam saku celana seragam.

Terhitung sudah tiga tahun Abichandra dan keluarganya menempati rumah dinas milik ayahnya yang memang seorang karyawan BUMN dan dipindah tugaskan kesini. Daerah perkebunan teh di Bandung Selatan, Jawa Barat.

Abichandra menghirup udara segar dalam-dalam berulangkali demi membersihkan paru-parunya. Perpaduan uap pepohonan, dedaunan teh dan kabut semalam menimbulkan bau alam yang khas dan menyegarkan.

"Punten Pak, Bu (Permisi Pak, Bu)," sapa Abichandra ramah pada orang-orang yang berpapasan dengannya di jalanan.

Beberapa pria dan wanita setengah baya mengenakan baju panjang dan celana sederhana menggendong tas yang terbuat dari bilik kayu untuk menampung dedaunan teh.

Para pemetik teh itu serempak menganggukan kepala tanda hormat, "Mangga, Jang, angkat (Silahkan, Nak, berangkat) ?"

"Muhun (iya)," Abichandra tersenyum manis.

"Kadieu heula, Jang, ngopi heula ngen didieu (Sini dulu, Nak, minum kopi dulu disini)!"

Kali ini giliran seorang kakek yang mengenakan sarung dan berkupluk rajutan, mengacungkan mug kalengnya tinggi-tinggi ke arah Abichandra, menawari kopi hangat dari kursi anyaman teras rumahnya. Di atas meja terdapat sepiring ubi rebus mengepulkan-ngepulkan asap.

"Mangga, Pak, ngiring raos (Silahkan, Pak, selamat menikmati)," balas Abichandra sambil mengangguk

God, how i really love my life!

Abichandra mensyukuri hari-harinya yang indah. Keramahan dan ketulusan warga pedesaan ini selalu berhasil menyentuh dasar hatinya.

Bersamaan dengan itu, seraut wajah gadis manis berpipi merah dan kerudungan putih diam-diam mengintip lewat jendela rumahnya.

Begitu Abichandra melintas, ia langsung panik luar biasa. Serta merta melesat menuju kaca. Diceknya satu persatu rok dan baju seragam, kaus kaki, sepatu dan kerudung yang dikenakannya. Setelah yakin penampilannya rapi, cewek itu tersenyum puas. Ia memburu ibunya di dapur, mencium tangan untuk meminta restu lalu bergegas keluar rumah.

"Bu, Sarah angkat heula. Assalamualaikum! (Bu, Sarah berangkat dulu)" pamitnya dari ambang pintu.

"Waalaikumsalam. Eh, sarapan heula atuh (Eh, sarapan dulu)! " Ibu Sarah melongokan kepala dari dapur melambaikan susuk penggorengannya ke udara.

"Atos, Bu (Udah, Bu)!" balas Sarah tanpa sempat menoleh lagi. Dia terburu-buru melangkahkan kaki ke jalanan, meninggalkan rumahnya yang mungil berbilik kayu.

Sarah tidak tahu sudah berapa lama rutinitas ini ia lakukan. Yang jelas ia tidak bisa menahan diri untuk menatapi Abichandra dari kejauhan. Mengagumi semua yang ada pada diri pria jangkung itu.

Kecerdasannya, keramahannya, kemandiriannya, kemantapannya dalam bersikap, jiwa humorisnya, dan segalanya. Bahkan ia juga suka cara Abichandra menyampirkan sweater abu di bahunya seperti sekarang ini.

"Eh, lihat..itu si Abi!"

"Iih, ganteeng...kaseeeeep pisan!"

"Iya, mirip banget Adipati Dolken, ya?"

"Heem!"

Tak jauh dari Sarah, beberapa cewek berseragam putih abu cekikikan, menunjuk-nunjuk Abichandra. Kelihatan banget mereka itu termasuk Abichandra fans club.

Semangat Sarah langsung menukik turun beberapa derajat. Balon di hatinya kempis, memudarkan senyum di wajahnya. Ingin rasanya ia menjitak dirinya yang bodoh. Kenapa ia bisa lupa kalau Abichandra pastinya juga memiliki segudang penggemar di sekelilingnya?

Tiba-tiba suara klaskson mobil menyalak kencang membuyarkan lamunan Sarah. Di jalanan kecil itu, ia dan yang lainnya terpaksa melipir ke tepi untuk memberikan ruang pada sebuah mobil CRV berwarna silver.

Sepintas dari kursi depan penumpang Sarah melihat wanita berusia 40 an bermake-up natural sedang memegangi setir kemudi. Duduk di sebelahnya adalah seorang gadis berwajah cantik oriental mengenakan seragam putih abu. Mobil itu melaju pelan menuju bangunan sekolah bertuliskan SMA Harapan. Satu-satunya sekolah menengah di desa mereka.

"Siapa itu? " Sarah merasa penasaran.

***





0
247
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan