

TS
someshitness
[LOVE LETTER 4] Litani Degup Rotasi
Quote:
Planet Bumi, 11 Februari 2020
Untuk Bulan (lagi),
Bulan berotasi. Bulan berganti. Satu hal tetap stagnan: pertemanan yang beku. Hubungan yang hambar. Berkali-kali dihantam realita, yang sembunyi-sembunyi tak akan berbuah apa-apa. Penyesalan demi penyesalan, kesia-siaan. Nista. Entah jiwaku berserakan di mana, yang pasti ragaku kosong. Bekasan kepompong.
Bulan berganti. Bulan yang baru. Kau datang sebagai pencerita. Pemain teater berjuta mimik, dara muda yang kikuk, ceroboh, dan marjinal. Kau mungkin bulan pertengahan, yang diabaikan orang-orang. Segala kepenatan, lesu, waktu-waktu yang merenggang, pun hanya sebagai bulan singgah, menanti bulan lebaran dan penghujan yang penuh momentum.
Aku pun begitu. Kau biasa-biasa saja. Kau hanya teman yang setara.
Ikatan lebih erat mulai terjalin pada masa-masa mendatang. Keluarga itu, tiga puluh tujuh, aku yakin berharga bagimu, bagiku pun juga. Bergumam halus jadi tabiatmu. Kebijaksanaan yang agung. Sebatas itu saja manusia dapat meraba dengan mata, dalam bebatuan pucatnya tiada yang tahu. Tiada yang peka, hingga saat datangnya penutupan.
Dengung gemintang yang riang. Tentang dirimu yang menyinari yang lain. Tentang dirimu yang beranjak dewasa dan memikirkan yang lain. Aku lagi-lagi jadi manusia paling congkak. Ambisi liar manusia akan kuasa. Padahal, dengan segenap pikiran, sadar: purnama memancar ke segala penjuru. Setiap manusia memiliki sinarnya. Setiap yang fana diberi cuma-cuma, bahkan kepada mereka yang tak peduli sekalipun. Setiap kami, mereka, berhak atas dirimu.
Egoku harus mati.
Bulan memuakkan. Tanpa liburan! Kau membosankan, tetapi segala obrolan justru mengendap. Kehidupan yang jenuh. Berulang kali melihatmu jatuh dan berdiri. Memaki dan bersedih hati, tak tahu siapa yang bisa memahamimu. Yang merangkulmu hanya udara, sekejap hilang jadi angin dingin. Mereka mungkin hanya memiliki satu kesan bagimu: komplementer. Bagiku, kau jadi tak tergantikan.
Bulan berganti. Bulan (tak) kembali. Sekarang, kau berotasi di planet yang mana? Keonaranmu yang jenaka, siapakah mereka yang sekarang mentertawakanmu? Sifat loyal dan murah hati itu, apakah kini berbalas? Bagaimana kau menyeka air matamu?
Aku harap kau baik-baik saja. Tidak. Aku yakin kau baik-baik saja.
Dua tahun ialah saat-saat yang panjang. Burung biru membawakan suara dari langit. Darimu! Dan sehat walafiat, seperti dugaanku. Walau bukan untukku, tapi aku tahu kau tersipu dan menyendu. Aku tahu kau tak pergi kemanapun. Kau dan aku hanya berotasi. Peredaran langit membuat kita saling membelakangi. Kau, ternyata sedang membagi pendarmu. Tempat-tempat baru yang butuh lelap, pengembara sejagat yang merindukan mimpi. Lembah dan dataran rendah, tanah lapang dan hutan taiga di utara. Kau berbagi, kau dikaruniai.
Rona yang merah. Aku rasa sedetik, semenit, sebulan, setahun--yang pasti tidak lama--kemudian, kau bisa meledak. Keperakanmu mungkin tak lagi berdegup lemah, tetapi berkobar serupa mentari. Kau bisa muntahkan relung dalam dirimu, kedalaman jiwa yang jadi misteri. Aku mungkin hanya bisa menawarkan hipotesisku, tentang kau yang jadi betah. Kau yang meluruh di belantara ardi. Merekat pada seseorang dan saling terbiasa 'tuk jadi abadi.
Bulan (tak) kembali. Bulan mati. Segaris lurus tiga benda langit yang mengambang. Kali ini kau hilang. Menyisakan pekat malam, ruang hampa yang tak terhingga. Naluriku hanya bisa menerka jejak bayangan yang tertinggal. Kali ini kau jauh. Tak terjamah. Hangat di dekap yang lain. Merakit konstelasi yang baru.
Bulan mati. Menanti bulan baru. Perpesanku hanyalah sekelumit goresan pena yang rapuh: tetaplah sama. Meski dentingan tak lagi mengagetkan gawai kita berdua, tetaplah setia. Meski duniamu penuh suka cita berhambur debu-debu cahaya, tetaplah di sana.
Kawan binatangmu,
Pt.
Bulan berotasi. Bulan berganti. Satu hal tetap stagnan: pertemanan yang beku. Hubungan yang hambar. Berkali-kali dihantam realita, yang sembunyi-sembunyi tak akan berbuah apa-apa. Penyesalan demi penyesalan, kesia-siaan. Nista. Entah jiwaku berserakan di mana, yang pasti ragaku kosong. Bekasan kepompong.
Bulan berganti. Bulan yang baru. Kau datang sebagai pencerita. Pemain teater berjuta mimik, dara muda yang kikuk, ceroboh, dan marjinal. Kau mungkin bulan pertengahan, yang diabaikan orang-orang. Segala kepenatan, lesu, waktu-waktu yang merenggang, pun hanya sebagai bulan singgah, menanti bulan lebaran dan penghujan yang penuh momentum.
Aku pun begitu. Kau biasa-biasa saja. Kau hanya teman yang setara.
Ikatan lebih erat mulai terjalin pada masa-masa mendatang. Keluarga itu, tiga puluh tujuh, aku yakin berharga bagimu, bagiku pun juga. Bergumam halus jadi tabiatmu. Kebijaksanaan yang agung. Sebatas itu saja manusia dapat meraba dengan mata, dalam bebatuan pucatnya tiada yang tahu. Tiada yang peka, hingga saat datangnya penutupan.
Dengung gemintang yang riang. Tentang dirimu yang menyinari yang lain. Tentang dirimu yang beranjak dewasa dan memikirkan yang lain. Aku lagi-lagi jadi manusia paling congkak. Ambisi liar manusia akan kuasa. Padahal, dengan segenap pikiran, sadar: purnama memancar ke segala penjuru. Setiap manusia memiliki sinarnya. Setiap yang fana diberi cuma-cuma, bahkan kepada mereka yang tak peduli sekalipun. Setiap kami, mereka, berhak atas dirimu.
Egoku harus mati.
Bulan memuakkan. Tanpa liburan! Kau membosankan, tetapi segala obrolan justru mengendap. Kehidupan yang jenuh. Berulang kali melihatmu jatuh dan berdiri. Memaki dan bersedih hati, tak tahu siapa yang bisa memahamimu. Yang merangkulmu hanya udara, sekejap hilang jadi angin dingin. Mereka mungkin hanya memiliki satu kesan bagimu: komplementer. Bagiku, kau jadi tak tergantikan.
Bulan berganti. Bulan (tak) kembali. Sekarang, kau berotasi di planet yang mana? Keonaranmu yang jenaka, siapakah mereka yang sekarang mentertawakanmu? Sifat loyal dan murah hati itu, apakah kini berbalas? Bagaimana kau menyeka air matamu?
Aku harap kau baik-baik saja. Tidak. Aku yakin kau baik-baik saja.
Dua tahun ialah saat-saat yang panjang. Burung biru membawakan suara dari langit. Darimu! Dan sehat walafiat, seperti dugaanku. Walau bukan untukku, tapi aku tahu kau tersipu dan menyendu. Aku tahu kau tak pergi kemanapun. Kau dan aku hanya berotasi. Peredaran langit membuat kita saling membelakangi. Kau, ternyata sedang membagi pendarmu. Tempat-tempat baru yang butuh lelap, pengembara sejagat yang merindukan mimpi. Lembah dan dataran rendah, tanah lapang dan hutan taiga di utara. Kau berbagi, kau dikaruniai.
Rona yang merah. Aku rasa sedetik, semenit, sebulan, setahun--yang pasti tidak lama--kemudian, kau bisa meledak. Keperakanmu mungkin tak lagi berdegup lemah, tetapi berkobar serupa mentari. Kau bisa muntahkan relung dalam dirimu, kedalaman jiwa yang jadi misteri. Aku mungkin hanya bisa menawarkan hipotesisku, tentang kau yang jadi betah. Kau yang meluruh di belantara ardi. Merekat pada seseorang dan saling terbiasa 'tuk jadi abadi.
Bulan (tak) kembali. Bulan mati. Segaris lurus tiga benda langit yang mengambang. Kali ini kau hilang. Menyisakan pekat malam, ruang hampa yang tak terhingga. Naluriku hanya bisa menerka jejak bayangan yang tertinggal. Kali ini kau jauh. Tak terjamah. Hangat di dekap yang lain. Merakit konstelasi yang baru.
Bulan mati. Menanti bulan baru. Perpesanku hanyalah sekelumit goresan pena yang rapuh: tetaplah sama. Meski dentingan tak lagi mengagetkan gawai kita berdua, tetaplah setia. Meski duniamu penuh suka cita berhambur debu-debu cahaya, tetaplah di sana.
Kawan binatangmu,
Pt.
![[LOVE LETTER 4] Litani Degup Rotasi](https://s.kaskus.id/images/2020/02/11/8341957_202002111047460756.jpg)
Diubah oleh someshitness 15-02-2020 00:27






aldysadi dan 3 lainnya memberi reputasi
4
869
Kutip
0
Balasan
Thread Digembok
Thread Digembok
Komunitas Pilihan