- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cerbung Bukan Mauku Jadi Madu, Part 1


TS
Muasyaroh
Cerbung Bukan Mauku Jadi Madu, Part 1
Bukan Mauku Jadi Madu
#KiraniNaratri
Part 1
Mbak ... bukankah dulu kamu yang memintaku menjadi bagian dari keluargamu? Ketika diri ini berusaha keras menolak semua permintaan, karena tak ingin menjadi duri dalam rumah tangga kalian, kamu tetap bersikukuh. “Aku hanya ingin kamu, Nara. Bukan wanita lain.” Begitu katamu dulu, Mbak.
Mbak ... bukankah dulu kamu sangat rela, aku menjadi madu? Di saat suamimu juga berusaha menolak, kamu ingin dia tetap menikah lagi. Dan, aku yang menjadi istri keduanya.
Memiliki seorang madu. Berarti sudah siap dengan risiko berbagi. Bukankah begitu, Mbak?
Kamu tahu, Mbak? Aku juga wanita biasa yang dapat merasakan luka. Apalagi berstatus sebagai istri kedua. Berat, Mbak. Banyak sanksi sosial yang kuterima. Terutama tuduhan sebagai perebut suami orang. Apakah aku sakit dengan semua itu? Tentu. Harusnya ada pembelaan darimu. Katakan kepada semua orang jika kamu yang memintaku. Tapi, tidak begitu. Malah seolah acuh dan membiarkan mereka mencibirku.
“Seorang istri yang rela suaminya menikah lagi. Maka, Allah janjikan surga, Ra.” Senyum simpulmu waktu itu begitu meyakinkan. Aku sampai terbuai. Kamu terlihat sangat ikhlas dengan pernikahan kedua suamimu. Hal tersebut membuatku percaya, kamu akan menjadi sahabat yang baik. Mengurus satu suami bersama-sama. “Kita bisa.” Yakinmu waktu itu.
Mbak ... boleh aku bertanya? Apakah Allah tetap memberikan surga kepada seorang istri yang mengizinkan suami menikah lagi, tapi mendzolimi istri yang lain? Ah, percuma bertanya padamu. Kurasa hanya Allah yang tahu jawabannya. Bukan begitu, Mbak?
Sekarang, setelah sekian purnama berlalu, mengapa sikapmu menjadi tak acuh terhadapku? Seakan-akan ingin menyingkirkanku dari kehidupan kalian. Suamimu juga suamiku, kan, Mbak? Bukankah kita memiliki hak yang sama?
Dulu, aku memang tidak mencintai Mas Arman. Namun, cinta itu tumbuh perlahan. Sekarang, jujur saja, aku tak rela bila harus kehilangannya. Bukankah kamu adalah penyebab dari tumbuhnya rasa cinta ini? Apakah tidak jahat jika sekarang malah ingin memisahkan ikatan di antara kami?
Katakan, apa yang salah dari diri ini? Apa karena aku sepertimu? Allah memang belum menitipkan janin dalam rahim kita. Lalu, aku harus bagaimana?
Mbak ... aku masih percaya, kamu adalah wanita salehah yang memintaku menjadi istri kedua suamimu karena Allah. Bukan karena sebab yang lain.
***
Aku menutup kembali buku itu. Sebuah coretan yang bukan hanya ditulis dengan tinta. Namun, juga air mata. Kertas itu akhirnya terbasahi oleh derai yang jatuh perlahan.
Kuamati setiap sudut ruang. Ranjang yang kini hanya berpenghunikan aku seorang diri. Lelaki yang biasa menemani, sedang berada di rumah istri tua. Tiga hari untukku dan empat hari untuknya. Ini adalah permintaan Mbak Ami. Dia yang meminta Mas Arman lebih sering berada di tempatnya. Aku? Tidak bisa apa-apa, selain pasrah.
***
“Nara, aku mohon. Kamu mau jadi istri Mas Arman, ya.”
Benar-benar mengejutkan. Aku tak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Mas Arman dan Mbak Ami sudah seperti kakak yang begitu kuhormati. Rumah kami berdekatan. Oleh karenanya, saling melibatkan satu sama lain, sudah menjadi hal biasa.
“Mbak Ami ini ngomong apa?”
“Aku serius, Nara.”
“Bukannya Mbak Ami udah anggap aku seperti adik sendiri, ya, Mbak?”
“Justru itu, Nara. Aku nggak rela kalau Mas Arman nikah sama wanita lain. Aku maunya kamu.”
Aku mengamati sosok wanita yang tengah duduk tepat di hadapan. Melihatku dengan tatapan memohon. Seseorang yang sejak puluhan tahun lalu, sudah sangat baik. Keluarga Mbak Ami memang luar biasa. Mereka yang selalu menolong keluargaku saat sedang kesusahan. Mas Arman juga. Ia tak segan memberi uang saat aku kekurangan biaya sekolah. Tentu saja, itu atas persetujuan Mbak Ami.
“Mas Arman cinta sama Mbak Ami. Dia tidak akan mungkin berpindah ke lain hati, Mbak.”
“Itu sekarang, Nara. Hati manusia siapa yang tau. Bisa saja Mas Arman berubah pikiran begitu saja. Aku sudah pernah cerita, kan, Ra? Rahimku bermasalah. Kami tidak akan mungkin punya keturunan.”
Pasangan ini sudah menikah sekitar tujuh tahun. Namun, Allah belum memberi kepercayaan pada mereka. Mbak Ami pernah memeriksakan ke dokter. Katanya, yang bermasalah adalah dari pihak istri.
“Kalian akan tetap bersama dengan atau tanpa anak, Mbak.”
“Tapi, keturunan adalah salah satu tujuan menikah.”
“Kenapa harus aku, Mbak?”
“Karena aku percaya sama kamu, Nara. Kamu pasti akan menjadi istri yang baik untuk Mas Arman.”
“Ada cara lain untuk memiliki anak, selain dengan cara ini. Mbak Ami sama Mas Arman bisa adopsi.”
“Siapa, sih, yang nggak ingin punya anak darah daging sendiri. Mas Arman pasti juga ingin itu. Aku paham.”
“Tapi tidak dengan cara berpoligami. Itu berat, Mbak.”
Mbak Ami memegang tanganku. Menatap dengan mata berkaca-kaca, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan tangis. “Karena berat itu. Makanya, kita pikul berdua. Mas Arman pasti akan berlaku adil.”
“Tapi, Mbak—“
“Percayalah. Kita akan menjadi partner yang baik.”
Mbak Ami pulang. Pertemuan kali ini tak menghasilkan apa-apa. Dia masih menunggu keputusanku. Aku meminta waktu untuk memikirkan hal serius ini.
***
Rembulan telah terlihat. Tidak ada hal lain yang kupikirkan selain ungkapan Mbak Ami siang tadi. Rasa di dada kian bergemuruh. Seorang yang selama ini sudah kuanggap sebagai kakak akan menjadi suamiku? Sungguh tak ada rasa apa pun, selain rasa hormatku padanya.
Aku belum berbicara tentang masalah ini kepada Bapak. Dia pasti tidak akan percaya saat kuceritakan nanti. Sama halnya denganku. Mbak Ami sangat lucu. Di saat wanita di luaran sana mati-matian mempertahankan sang suami agar tidak tergoda wanita lain, ia justru mencarikan seorang istri muda untuk suaminya. Sesolehah itu dia.
Di rumah kecil ini, aku hanya tinggal berdua dengan Bapak. Ibu telah meninggal saat aku masih duduk di bangku SMP. Bapak hanya bekerja sebagai seorang buruh. Kadang menjadi tukang bangunan, kadang buruh tani. Apa pun pekerjaannya, asal halal pasti ia lakukan.
Selepas tamat SMA, aku memutuskan bekerja di toko sembako Mbak Ami. Lumayan, penghasilan yang kudapat bisa digunakan untuk bantu Bapak memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beberapa tahun bekerja di sana, Mbak Ami sudah menganggapku seperti adik sendiri. Aku sangat bersyukur. Tak mampu kuhitung jasa yang telah dia berikan padaku.
Mengingat semua pengorbanan yang telah diberikan Mbak Ami, rasanya tak sanggup menolak permintaanya. Apalagi, permohonan penuh ketulusan itu. Apa ini jalanku membalas semua sikap baik Mbak Ami?
Di usiaku yang sudah menginjak 21 tahun, tentu aku sudah memiliki kekasih. Raka, seseorang yang telah kukenal sejak kami duduk di bangku SMA. Menerima tawaran Mbak Ami, itu sama saja membunuh perasaanku. Apa aku sanggup?
Nuansa dingin malam ini, tak mampu membuat mata terpejam. Aku masih mengamati langit-langit. Membawa beban pikir yang teramat berat. Dilema. Ini bukan sekadar perjodohan biasa. Namun, perjodohan dari istri tua yang memintaku menjadi madunya. Ah, berat sekali.
***
Aku sedang menyapu halaman saat melihat Mas Arman akan berangkat kerja. Mbak Ami dengan cekatan mempersiapkan segala sesuatu. Dasi yang telah terpasang rapi, jas yang sekarang sedang ia pasangkan di tubuh proporsional itu. Benar-benar sikap istri salehah.
Binar bahagia terpancar dari raut keduanya. Aku sangat kagum dengan keluarga ini. Mereka selalu selayaknya pengantin baru, walau sudah beberapa tahun menikah. Ada nama mereka dalam tiap bait doaku. Seseorang yang berjasa itu selalu kudoakan agar rumah tangganya diberi ketentraman. Bahagia hingga ajal memisahkan.
Melihat kedekatan mereka, aku berpikir ulang. Mana mungkin merenggut kebahagiaan yang telah tercipta rapi sedemikan rupa? Kedatangan sosokku, pasti akan membuat mereka tak sedekat ini lagi. Iya, karena Mas Arman harus membagi cinta. Namun, mengapa harus meragukan itu? Bukankah Mbak Ami telah mengatakan jika ia rela berbagi?
“Nara ....” Mbak Ami membuyarkan lamunan. Ia mendapatiku sedang berdiri mematung menyaksikan keromantisan mereka. Ah, ceroboh sekali aku. Kenapa harus mengamati mereka?
“Kamu udah beres-beresnya?”
“Udah, Mbak. Tinggal nyapu ini.”
“Oh, yaudah. Selesaiin dulu. Nanti berangkat ke tokonya bareng, ya.”
“Iya, Mbak. Nanti aku kabari kalau udah selesai.”
Mas Arman berangkat ke kantor. Mbak Ami terlihat menyalami penuh takzim. Aku sama sekali tak iri. Hanya sedang memikirkan permintaan Mbak Ami kemarin. Andai Tuhan hadirkan buah hati dalam keluarga itu. Lengkap sudah. Namun, Allah pasti punya rencana lain untuk pasangan ini.
Aku masuk rumah karena teringat harus segera menyiapkan sarapan buat Bapak. Nasi dan lauk sudah matang. Hanya tinggal menyajikannya di meja makan.
Bapak terlihat mengusap-usap rambut yang masih basah dengan sehelai handuk. Hari ini ia akan bekerja di tempat tetangga untuk membangun rumah. Bapak menjadi tukang bangunan di sana.
“Bapak sarapan dulu, ya.”
“Makasih, Nduk.”
“Bangun rumah Pak Qasim belum selesai, to, Pak?”
“Belum. Wong ada beberapa temen Bapak itu malah sering libur. Jadi, ya agak lama.”
“Owalah.”
Kuperhatikan raut itu. Orang tua tunggal yang begitu gigih bekerja keras demi menghidupiku. Bapak yang juga berperan sebagai seorang Ibu. Jasanya begitu luar biasa.
Aku masih ragu menceritakan permintaan Mbak Ami kemarin. Bapak pasti akan terkejut. Aku belum sanggup mengutarakannya sekarang, tapi kapan? Hanya lelaki ini tempatku berbagi cerita.
“Kamu kerja, to, Nduk?”
“Kerja, Pak.”
“Berangkat sama Mbak Ami?”
“Iya.”
Waktu tempuh dari rumah ke toko sekitar 20 menit. Tidak terlalu jauh. Toko itu berada di kota. Sedang, kami tinggal di desa. Aku biasa berangkat bersama Mbak Ami menggunakan motor otomatisnya. Wanita itu memang tidak setiap hari datang ke toko. Paling, jika ingin saja. Namun, walau tidak ikut, aku masih diperbolehkan menggunakan motornya. Dia memang baik.
“Kapan, ya, kita bisa balas budi sama keluarga Mbak Ami. Mereka itu sudah baik banget sama kita.”
Aku tersedak. Perkataan Bapak membuatku terbatuk saat sedang menelan makanan. Air putih segera kuteguk. Sebernarnya, sekarang bisa saja membalas semua kebaikan Mbak Ami. Yaitu dengan memenuhi permintaan Mbak Ami menjadi madunya. Tentu ia akan bahagia. Karena, memang itu yang diharapkan dariku.
“Kalau makan pelan-pelan, Nduk.”
“Iya, Pak.”
“Yaudah, ya. Bapak berangkat.” Bapak berpamitan, setelah menghabisakan seporsi nasi.
“Hati-hati, ya, Pak.”
“Iya, kamu juga hati-hati kalau berangkat ke toko.”
Mungkin, nanti malam akan kuceritakan kepada Bapak. Aku janji, apa pun keputusannya, pasti akan kuterima. Bahkan, ketika Bapak mengizinkanku menjadi istri kedua Mas Arman. Walau harus melukai perasaan sendiri. Termasuk mengikis cintaku kepada Raka. Demi bakti, semua pasti kulakukan.
0
1.1K
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan