Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

erinherlinaAvatar border
TS
erinherlina
Cerita MISTERI - MISTERI BUKU HARIAN TUA
Misteri Buku Tua
Oleh Erin Herlina



'Andai ada orang yang ingin sekali kulenyapkan dari muka bumi ini adalah dia, biarlah dia hilang dari dunia ini. Ingin sekali kulihat jasadnya hancur karena melompat dari lantai atas karena diputuskan kekasihnya.'

***
"Akh!"
Panas pipiku ditampar oleh Sania, kakak kelas terpopuler dan tercantik di sekolah ini. Entah apa salahku sampai hati mereka mengurung dan berbuat kekerasan seperti ini.

"Lo tuh, kalau jadi cewek jangan keganjenan, ngaca dong! Cantik gak, pinter gak! Berani-beraninya deketin Bagas."

"Tapi Kak, Kak Bagas yang pertama ngedeketin ak-."

"Diaaaaamm! Siapa yang bilang lo boleh ngomong!"

Plakkkk

Sekali lagi, tamparan itu mendarat di pipiku, panas rasanya.

"Sudah San, sudah mulai sore nih, nanti orang-orang keburu curiga kalau kita masih di sini. Mending lepasin nih anak."

Suara yang kukenal melegakan hati ini. Kak Rin, kakakku. Aku menatapnya berterima kasih. Dia membuang muka membuka pintu kelas dan pergi diikuti Kak Sania. Sambil berjalan keluar Kak Sania berkata, "untung gue masih baik, kalau gak, habis lo dimakan penunggu kelas ini."

"Huuuuffttt hahhh," menarik nafas panjang sambil menyeka air mata. Kenapa seperti ini, bukan aku yang mendekati Kak Bagas. Dia sendiri yang pertama mengirim surat padaku, aku tak tahu kalau dia adalah pacar Kak Sania.

Ish, malas aku berurusan dengan Kak Sania apapun itu. Menghindar adalah jalan terbaik.

Kuambil tas yang tergeletak di samping tempatku duduk. Kelas mulai gelap, kherrr merinding juga berada di kelas sore-sore. Kuberjalan meninggalkan kelas, sampai di depan pintu gerbang aku berhenti. Seperti ada yang mengikuti. Kuperhatikan sekitar tak ada seorangpun di sini. Bulu kudukku merinding, ihhh kherrr lebih baik aku cepat pulang.

Tak butuh waktu lama untukku sampai di rumah. Jarak dari rumah dan sekolah tidak terlalu jauh. Hanya sekitar satu kilometer. Aku terbiasa jalan kaki untuk pulang dan pergi ke sekolah.

Sesampainya di rumah aku terkejut kak Rin dan mama sedang bertengkar.
Sejak kak Rin pindah ke rumah ini pada kenaikan kelas tahun lalu, rumah ini selalu ramai dengan pertengkaran mama dan kak Rin. Ada saja yang membuat mereka bentrok. Masalah sepele pun akan jadi masalah besar.
Kak Rin adalah kakak tiriku. Dia anak papa dengan isterinya yang dahulu. Ya, mamaku adalah isteri keduanya. Kak Rin menyalahkan mamaku atas perceraian yang menimpa kedua orangtuanya. Sejak dahulu mamaku mencoba mendekatinya, namun sikap Kak Rin begitu dingin. Tak jarang dia membentak mamaku.

Brakkkk!

Terdengar pintu dibanting. Pasti sebentar lagi mama akan berteriak membujuk Kak Rin lalu menangis. Aku tak tega melihat mama seperti itu, kadang terbesit rasa kesal dan marah pada kak Rin. Namun, aku selalu menahannya. Aku tak ingin membuat keadaan semakin runyam. Mama selalu bilang padaku, bahwa kak Rin hanya belum bisa menerima kita. Sikapnya tak usah diambil hati. Mama menyuruhku untuk berdoa agar Allah melembutkan hati kak Rin dan dapat menerima kami.

Pada suatu hari, Kak Rin mengalami kecelakaan. Motor yang dikendarainya tak sengaja ditabrak orang. Luka yang diderita Kak Rin tidak terlalu parah. Namun begitu, Kak Rin harus istirahat selama seminggu di rumah.
Waktu itu aku baru pulang sekolah ketika mendapati Kak Sania di rumah. Tentu saja dia kaget. Matanya menatap Kak Rin meminta penjelasan.

"Tenang aja, cuma adik tiri kok. Gak penting."

"Oh, syukur deh, gue kira Lo punya adik pelakor Rin."

Ish, apa sih. Pelakor, siapa juga yang pelakor. Aku masuk kamar tak kuperdulikan mereka. Sampai kemudian Kak Rin berteriak dari luar.

"Mia, mending Lo buatin minum deh untuk Sania. Mama sedang keluar kota, jadi ga ada yang bisa gue suruh buatin minum. Lagian mama Lo tu sok banget, gak mau paket pembantu segala. Repot kan ja-."

Ceklek.

"Iya Kak, biar Mia yang buatin. Kak Sania mau minum apa?"

"Apa yaaa, air putih aja deh."

Kubawakan air putih untuk Kak Sania.

"Eh, Mia kamu mending gabung sama kita deh, kan enak biar rame. Ya kan Rin. Nanti kita main permainan yang seru deh. Kita main apa ya, main petak umpet asik kali ya. Tapi, yang pertama jaga Mia, mau kan?"

Aku, terdiam malas sih sebenarnya. Tapi, kalau aku menolak masalah gak ya.

"Gimana? Mau ya Mi?"

"Iya deh."

"Nah gitu dooong, tapi yang jaga harus ditutup matanya pakai kain ini. Startnya bukan di sini. Ayo Mi, sini."

Kak Sania tersenyum, senang sekali sepertinya bisa bermain denganku. Tak apalah, siapa tahu dengan begini kami bisa berteman. Kulirik Kak Rin, seperti biasanya sejak tadi dia hanya diam. Memang pembawaannya seperti itu mungkin.

Kak Sania menutup mataku dengan kain. Gelap tak terlihat apa-apa.

"Ayo Mi, ikut ya."

"Kita mau kemana Kak?"

"Sudah tenang aja, biar seru kita startnya jangan di sini."

Aku diajak berjalan dengan mata tertutup berjalan menuruni tangga. Seingatku kalau ada tangga menurun setelah ruang keluarga dan dapur adalah gudang. Tidak, aku tidak mau kalau di gudang, di sana gelap. Belum lagi, ini rumah tua pasti di sana seram banyak hantunya.

"Kak, kita gak ke gudang kan?"

"Gak kok, tenang saja. Memang kenapa kalau di gudang Mi?"

"Ehh anu, gak apa-apa kok Kak."

"Nah, sampai. Sekarang berputar. Sip sudah."

Ceklek.

Suara apa itu? Seperti pintu ditutup.

"Uhukk ... uhukkk," kenapa udara jadi pengap begini.

"Kak sudah? Ini dimana? Aku buka ya?" Gelap, ahhh ... ini gudang. Mereka sengaja mengerjaiku.
Dokh dokh dokh.

"Kak ... buka Kak. Aku gak mau di sini. Aku takut kak di sini gelap! Aku gak bisa bernafas Kak."

"Hahahhaha, Mia Lo polos bangetttttttttt. Percaya aja. Mana mungkin gue mau main sama pelakor! Hihihi, ayo Rin."

"Kak Rin tolong Kak. Kak, jangan tinggalkan Mia. Mia takut gelap, di sini pasti banyak tikus. Ugghuhuhuhu ...."

Aku berteriak meminta tolong, berharap mereka mau membuka pintunya. Tapi, tak ada tanda-tanda mereka kembali untuk membuka pintu. Kuperhatikan sekeliling, ahh ... gelap, pengap, aku kesulitan bernafas.

Dulu aku pernah beberapa kali ke sini. Seingatku ruangan yang dipakai gudang ini besarnya 3 x 3 meter persegi. Rumah ini dulu adalah kepunyaan nenek, ibu dari papaku. Karena tak ada yang menempati akhirnya kami tinggal di sini.

"Kalau tidak salah di sini ada saklar, coba aku ingat-ingat ada dimana ya?"
Aku berbicara sendiri sambil meraba-raba dinding.

Klotakh brakkkk ggedubakh.

"Aduuuh ...." Aku terjatuh menabrak sesuatu.

Ceklek. Akhirnya saklar yang kucari berhasil ditemukan. Kuperhatikan sekeliling, banyak tumpukan buku-buku. Sepertinya tadi aku menabrak tumpukan buku yang ditaruh asal.

Tunggu dulu, buku yang berserakan itu seperti album foto. Ohhh, ini foto Kak Rin dengan mamanya. Ada satu lagi, buku yang berbeda, buku warna coklat kertasnya berwarna agak kekuningan sepertinya sudah sangat lama.

'Tuliskan perasaanmu di sini dan temukan keajaiban.'

Dahiku mengerenyit membaca tulisan di sampul buku itu. Tapi tak apalah, aku bawa, entah kenapa buku ini sangat menarik bagiku. Aku membersihkan salah satu bagian gudang dan kualasi lantai dengan kardus untuk aku tidur. Capek rasanya sejak tadi menangis.

Keesokan harinya.
Ceklek. Pintu terbuka, Kak Rin melongok ke dalam.

"Mia bangun ayo keluar, Lo gak sekolah, cepet keluar bentar lagi mama papa dateng, awas Lo kalau ngadu!"

"Iya Kak. Hoaahm." Aku melangkah melewatinya sambil menenteng buku tua bersampul cokelat itu. Sebelum mandi, aku mencoba menulis di buku itu.

'Hai, namaku Mia. Aku kelas 10 di SMA Nusa Bangsa. Aku mempunyai seorang kakak yang galaknya minta ampun. Entah sejak kecil dia begitu galak padaku dan mama. Sejak dulu ingin sekali aku menjadi teman dekatnya. Aku selalu iri pada teman-teman yang memiliki kakak perempuan, mereka seakan punya teman curhat di rumah. Sayang Kak Rin tidak bisa seperti itu. Andai saja dia bisa baik padaku ....'

Aku termenung di depan buku itu, sampai lupa kalau hari sudah siang. Sadar aku akan terlambat, terburu-buru aku mandi dan berangkat ke sekolah.

Di sekolah, ketika jam istirahat. Kalau bukan karena Dinda yang mengajak ke kantin malas rasanya, di sana pasti ada nenek lampir Sania. Oh iya, Dinda ini adalah sahabatku, tapi aku jarang sih cerita kehidupan pribadi dengannya.

"Mia, hai!"

"Eh, Kak Bagas ada di sini?"

"Iya, sini duduk di sini."

"Eh, anu, emm. Gak Kak terimakasih."

"Lho, Mi tu-."

"Ayo Din."

Aku menarik lengan Dinda, lalu berbalik lari ke kelas. Tapi, sial sepasang mata Kak Sania memperhatikanku. Wah, bakal gawat ini.

Benar saja, begitu pulang sekolah Kak Sania sudah ada di depan kelasku. Aku pura-pura tak lihat sajalah. Ku berjalan melewatinya.

Sreeeet bukhhh.

Kak Sania menarik tasku.

"Ikut gue!"

"Tapi Kak," aku mencoba mengelak tapi, Kak Sania tetap menarik lenganku kasar.

Di bawanya aku ke WC putri. Suasana WC sangat sepi, semua siswa pasti sudah pulang ke rumahnya masing-masing.

Brakkk.

Pintu WC dibuka kasar, aku didorongnya masuk ke dalam sampai terjatuh.

Di dalam WC dia menjambak rambutku. Dikeluarkannya gunting, lalu dia menggunting rambutku asal. Setelah puas dengan rambutku. Dia menampar pipiku beberapa kali. Panas sekali rasanya. Puas dengan semua itu, ditinggalkan aku sendiri di dalam.

"Ugghuhuhuhu, Mama ...."

Sebelum pulang aku mampir ke salon, tak mau mama khawatir melihat kondisiku. Sepanjang jalan banyak mata melihatku. Tentu saja mereka bertanya-tanya, melihat kondisiku yang kacau balau.

Sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamar. Sempat aku berpapasan dengan Kak Rin, dia diam namun wajahnya seperti penasaran dengan kondisiku yang begini. Walaupun rambut sudah lumayan rapih, namun wajah masih bengkak bekas tamparan dan terlalu lama menangis. Untung tadi mama sedang di dapur.

Aku membersihkan diri. Kemudian kubuka buku tua berwarna coklat yang kutemukan di gudang.

'Andai ada orang yang ingin sekali kulenyapkan dari muka bumi ini adalah dia, biarlah dia hilang dari dunia ini. Ingin sekali kulihat jasadnya hancur karena melompat dari lantai atas karena diputuskan kekasihnya. Sania Putri Mahendra, aku benci sekali!'

"Ugghuhuhuhu ...." Semalaman aku menangisi apa yang terjadi hari ini.

Besoknya di sekolah, tepat jam istirahat di halaman kelas 12 ramai berkumpul. Dinda berlari-lari ke arahku.

"Mia ayo, Kak Sania bunuh diri!"

Jderrrrrr.

Bagai disambar petir. Aku tak menyangka apa yang kutulis dalam buku itu menjadi kenyataan. Kulihat kepala Kak Sania hancur, wajah cantiknya bersimbah darah. Wajah yang biasanya ber-make up mahal, kini ber-make up darah. Isi kepalanya keluar aku hampir muntah melihatnya, aku menangis sejadinya. Aku merasa bersalah, takut, shock dengan semua yang terjadi. Tiba-tiba semua menjadi gelap.

"Mia, sayang kamu sudah bangun?"

Terdengar suara mama, aku berada di UKS. Mungkin tadi karena terlalu shock aku sampai pingsan. Mama mengajakku pulang.

Sampai di rumah aku termenung di depan buku itu. Menyesal telah menulis yang tidak-tidak.

Rasanya aku pernah melihat film seperti ini, 'Death Note' judulnya. Tapi apa mungkin buku ini seperti buku dalam film tersebut. Di film tersebut ada sebuah buku ajaib dimana ketika kita menginginkan seseorang mati, hanya tinggal menulis nama, tanggal serta cara mereka mati. Tapi tidak mungkin, tidak mungkin ada buku seperti itu di dunia ini, lagi pula itu hanya film kartun. Ini hanya kebetulan, aku mendorong buku itu jauh-jauh sampai buku tersebut terjatuh. Aku ambil lagi, berbahaya jika sampai ada yang membaca tulisanku, kusembunyikan buku itu di dalam lemari baju.

***

Sebulan telah berlalu sejak kematian Kak Sania, selama itu juga aku tidak bisa tidur nyenyak.

Seperti malam ini. Ia datang menemuiku. Dengan rambutnya yang acak-acakan, darah menetes dari kepalanya. Mata yang melotot hampir copot. Dia menyeringai, seolah menikmati perannya sekarang sebagai hantu.

"Kak ... maafkan aku, maaf aku tak bermaksud begitu pada kakak. Ugghuhuhuhu, aku mohon, ampuni aku ...."

"Kamu pembunuh Mia. Kamu juga harus mati, ahahhahaha."

Kak Sania mendekat ke arahku, badannya melayang kepalanya bersimbah darah. Bau anyir mengeruak di seluruh penjuru ruangan. Kepala dengan wajah yang dulu sangat cantik, kini tak berbentuk. Otaknya berkedut-kedut seperti ingin melompat keluar.

"Huweeeek."

Aku muntah melihat penampakannya sekarang. Sadar ia semakin mendekat aku berlari sekuat tenaga. Kamar terdekat adalah kamar Kak Rin.

Dokh dokh dokh. Aku menggedor pintu kamar Kak Rin dengan sekuat tenaga.

"Kak Rin, Kak ... buka Kak, tolong Mia Kak!" Lama menunggu tak ada jawaban, aku berlari ke arah kamar mama.

"Ma ... ugghuhuhuhu, tolong Mia Maa!" Mama pun tak menjawab, arwah Kak Sania semakin mendekat, darahnya berceceran di sepanjang lantai rumah.

Rumahku yang biasanya terang, terlihat gelap gulita. Aku bingung harus kemana. Kak Rin dan mama seperti tidak mendengar suaraku. Aku berlari mengitari rumah, turun ke ruang keluarga, kemudian ke dapur. Sampai di dapur aku mengambil pisau.

"Hei, setan kalau kau berani sini!"

"Hahahhaha, kepalaku hancur saja aku masih bisa jalan, apalagi cuma pisau kecil itu, ahahaahhahahaha."

"Kak Sania sudah mati, tak puas kah menyiksaku di dunia. Bahkan sekarang mau menyiksaku juga."

"Kamu yang bikin aku begini Mia, kamu juga harus mati!"

Aku melempar pisau, lalu keluar lewat pintu belakang yang ada di dapur. Sampai di luar, aku terus berlari-lari mengitari halaman rumah, terus berlari kencang dan tanpa sadar aku sudah di sekolah.

Sepanjang aku berlari tak ada seorangpun yang menolong, teriakanku seperti tak ada yang mendengar. Kak Sania terus mengejarku. Sampai tepat di depan sebuah kelas, aku ingat ini kelas Kak Sania. Di kelas ini juga aku pernah di siksa. Gelap sekali, entah jam berapa sekarang. Suasananya seram, Kak Sania tidak lagi mengejarku. Tapi tiba-tiba ....

Brakkkkkkk.

Sesuatu jatuh dari atas, itu Kak Sania. Kepalanya hancur, kemudian dengan kepala yang tidak berbentuk dia tersenyum padaku. Badannya yang semula menempel dengan tanah kemudian berdiri, mendekat ke arahku. Ingin ku berlari tapi seluruh badanku terasa kaku.

Dengan gerakan lambat dia mendekat kemudian mencekik leherku. Matanya melotot, otaknya berkedut-kedut seakan ingin keluar, bau anyir campur bau busuk menusuk ke dalam hidungku. Tapi dengan di cekik begini, jangankan mencium bau darah, sebentar lagi pun aku akan kehabisan nafas.

"Akhhh ...," aku berusaha menjerit namun, suaraku tak keluar.

Di ujung nyawaku, baru aku ingat, bahwa aku punya Allah. Lirih aku mengucapkan, "Allah ... Allah ... Allah ...."

Ketika nafas hampir habis, kurasa tubuhku tertarik ke alam lain.
"Hmmmph. Huahhhhh!"

Aku tebangun dari tidurku. Mimpi yang sama berulang-ulang selama satu bulan ini. Aku depresi, sehingga mimpi terasa nyata. Aku meraba leherku, terasa sakit aku bersyukur masih selalu dapat hidup kembali.

Jam menunjukkan pukul 01.00 WIB ketika kuterbangun dari mimpi mengerikan itu. Samar-samar kudengar suara pintu mobil di tutup. Di balik tirai jendela kamar, terlihat Kak Rin dan seorang laki-laki.

-Bersambung-
Nyedol dulu gan sambil nunggu sambungannya 😁emoticon-Blue Guy Cendol (L)
Diubah oleh erinherlina 08-04-2020 15:52
jenggalasunyiAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 16 lainnya memberi reputasi
17
3.1K
36
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan