- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- Gosip Nyok!
Seratus Lima Puluh


TS
pojokinformasi
Seratus Lima Puluh
[Inspirasi yang tercetus saat melihat anak online-ku masak di rice cooker.]
***
“Nikah bukannya makan enak, malah makin gak enak!”
“Belajar masak makanya, biar enak masakanmu!”
“Makanan apa ini?! Gak ada enaknya!”
“Kayak Mama kalau masak itu! Enak, bikin napsu makan!”
"Boros kali jadi perempuan!"
"Dekil, bau!"
"Jelek. Buat apa cantik kalau pas gadis doang?!"
"Buat malu aja!"
Shit!
Tak bisakah itu mulut bicara dengan lembut?
Ijal, namanya. Lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, menurut perkiraanku. Menikah dengan wanita unik bernama Aisya.
Ya, Mbak Aisya memang unik. Wanita yang selalu diam dan sabar menghadapi tingkah laku suaminya. Aku tahu, sebenarnya dia sakit hati, tapi dia tahan demi buah cinta hasil pernikahan mereka.
Sering aku memperhatikan Mbak Aisya yang menangis sambil menjemur kain, atau sambil melakukan tugas hariannya. Teriris hati ini, sebenarnya. Namun, apa daya, aku pun juga takut melihat sangarnya Bang Ijal.
*
“Bang, tambahin uang belanja, boleh?” Suara Mbak Aisya terdengar ketakutan.
“Enak aja! Jadi istri itu harus bisa menjaga dompet suami, bukan malah menguras!” Astaga, tega sekali mulut Bang Ijal berkata seperti itu.
Ditinggalkannya Mbak Aisya yang tengah menyeka air mata. Ah, Mbak. Kenapa tidak engkau katakan pada suamimu itu rincian belanja kebutuhan kalian?
*
Mbak Aisya pernah bercerita, jika masakannya tak enak dikarenakan tak lengkapnya bahan. Misal, di rumah hanya ada bawang merah dan tomat, maka dia berinisiatif membuat sambal tomat saja. Jangan ditanya soal rasa, yang penting anak bisa makan, dan masih dalam keadaan halal, katanya.
Pernah juga aku melihat Mbak Aisya masak di rice cooker karena stok gas habis, sedangkan untuk mencari kayu bakar pun tak memungkinkan, karena hari sedang hujan lebat. Untuk membeli gas pun, dia tak bisa, uang yang seharusnya untuk membeli gas, dipergunakan untuk berobat.
Malangnya nasibmu, Mbak.
*
Aku hanya tersenyum saat Mbak Aisya menoleh ke arahku, dia pun menganggukkan kepala, lalu masuk ke dalam rumah.
Sebenarnya aku pun tak kan sanggup jika harus berada di posisi Mbak Aisya. Uang belanja hanya dijatah seratus lima puluh ribu rupiah saja. Sudah termasuk semuanya, mulai dari sabun, minyak, gula, gas elpiji, dan buah untuk anaknya, yang wajib dibeli, jika tidak dibeli, maka Mbak Aisya harus siap dengan lima jari yang mendarat di pipinya.
Bukan Mbak Aisya tak pintar mencari uang, hanya saja usaha online-nya tak selalu lancar mengalir seperti air. Keuntungan yang dia dapat pun, hanya lima ribu per satu barangnya, dan uang keuntungan dipergunakan untuk menutupi kekurangan kebutuhan keseharian mereka.
Bukan pula, Bang Ijal orang susah. Dia bekerja di perusahaan negara dengan gaji lima juta rupiah per bulannya. Entah setan apa yang merasuki jiwanya, sampai tega hanya memberikan enam ratus ribu per bulan untuk kebutuhan rumah tangga.
Selalu menyalahkan istri yang tak pintar mengatur keuangan, tapi tak menyadari diri sendiri. Aku tahu, kalau uang sisa gajinya ia pergunakan untuk jajan di luar sana.
Aku juga sudah pernah memberitahukan perihal ini pada Mbak Aisya, tapi tanggapannya hanyalah sebuah senyuman ikhlas. Sungguh berhati mulia.
Hanya aku, tempat bersandar dan tumpahan keluh kesahnya atas perilaku Bang Ijal. Aku hanya bisa menyemangati. Kalau pun aku memberi saran, rasanya tak pantas, karena aku pun belum pernah merasakan kehidupan pernikahan.
Aku, saksi betapa suramnya wanita yang dulunya cantik, berhati kuat layaknya karang, tapi tak hancur walau dihantam deburan ombak, hanya bisa menjadi dalang atas kecelakaan yang menimpa suami Mbak Aisya, tiga pekan lalu.
Ah, Mbak. Wajah sedihmu itu tak lagi aku temukan. Senang rasanya bisa membantu. Semoga engkau bisa sukses dengan warung sarapanmu itu.
Lihatlah, bahkan kematian manusia bermulut kasar itu tak meninggalkan duka sedikit pun di hatimu, juga anakmu.
Berbahagialah Mbak. Aku akan tetap duduk di sini, di pohon mangga ini, untuk selalu setia menjadi tempat ceritamu.
.
.
.
.
Hihihihi.
Pohon Mangga, 27 Januari 2020
***
“Nikah bukannya makan enak, malah makin gak enak!”
“Belajar masak makanya, biar enak masakanmu!”
“Makanan apa ini?! Gak ada enaknya!”
“Kayak Mama kalau masak itu! Enak, bikin napsu makan!”
"Boros kali jadi perempuan!"
"Dekil, bau!"
"Jelek. Buat apa cantik kalau pas gadis doang?!"
"Buat malu aja!"
Shit!
Tak bisakah itu mulut bicara dengan lembut?
Ijal, namanya. Lelaki berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, menurut perkiraanku. Menikah dengan wanita unik bernama Aisya.
Ya, Mbak Aisya memang unik. Wanita yang selalu diam dan sabar menghadapi tingkah laku suaminya. Aku tahu, sebenarnya dia sakit hati, tapi dia tahan demi buah cinta hasil pernikahan mereka.
Sering aku memperhatikan Mbak Aisya yang menangis sambil menjemur kain, atau sambil melakukan tugas hariannya. Teriris hati ini, sebenarnya. Namun, apa daya, aku pun juga takut melihat sangarnya Bang Ijal.
*
“Bang, tambahin uang belanja, boleh?” Suara Mbak Aisya terdengar ketakutan.
“Enak aja! Jadi istri itu harus bisa menjaga dompet suami, bukan malah menguras!” Astaga, tega sekali mulut Bang Ijal berkata seperti itu.
Ditinggalkannya Mbak Aisya yang tengah menyeka air mata. Ah, Mbak. Kenapa tidak engkau katakan pada suamimu itu rincian belanja kebutuhan kalian?
*
Mbak Aisya pernah bercerita, jika masakannya tak enak dikarenakan tak lengkapnya bahan. Misal, di rumah hanya ada bawang merah dan tomat, maka dia berinisiatif membuat sambal tomat saja. Jangan ditanya soal rasa, yang penting anak bisa makan, dan masih dalam keadaan halal, katanya.
Pernah juga aku melihat Mbak Aisya masak di rice cooker karena stok gas habis, sedangkan untuk mencari kayu bakar pun tak memungkinkan, karena hari sedang hujan lebat. Untuk membeli gas pun, dia tak bisa, uang yang seharusnya untuk membeli gas, dipergunakan untuk berobat.
Malangnya nasibmu, Mbak.
*
Aku hanya tersenyum saat Mbak Aisya menoleh ke arahku, dia pun menganggukkan kepala, lalu masuk ke dalam rumah.
Sebenarnya aku pun tak kan sanggup jika harus berada di posisi Mbak Aisya. Uang belanja hanya dijatah seratus lima puluh ribu rupiah saja. Sudah termasuk semuanya, mulai dari sabun, minyak, gula, gas elpiji, dan buah untuk anaknya, yang wajib dibeli, jika tidak dibeli, maka Mbak Aisya harus siap dengan lima jari yang mendarat di pipinya.
Bukan Mbak Aisya tak pintar mencari uang, hanya saja usaha online-nya tak selalu lancar mengalir seperti air. Keuntungan yang dia dapat pun, hanya lima ribu per satu barangnya, dan uang keuntungan dipergunakan untuk menutupi kekurangan kebutuhan keseharian mereka.
Bukan pula, Bang Ijal orang susah. Dia bekerja di perusahaan negara dengan gaji lima juta rupiah per bulannya. Entah setan apa yang merasuki jiwanya, sampai tega hanya memberikan enam ratus ribu per bulan untuk kebutuhan rumah tangga.
Selalu menyalahkan istri yang tak pintar mengatur keuangan, tapi tak menyadari diri sendiri. Aku tahu, kalau uang sisa gajinya ia pergunakan untuk jajan di luar sana.
Aku juga sudah pernah memberitahukan perihal ini pada Mbak Aisya, tapi tanggapannya hanyalah sebuah senyuman ikhlas. Sungguh berhati mulia.
Hanya aku, tempat bersandar dan tumpahan keluh kesahnya atas perilaku Bang Ijal. Aku hanya bisa menyemangati. Kalau pun aku memberi saran, rasanya tak pantas, karena aku pun belum pernah merasakan kehidupan pernikahan.
Aku, saksi betapa suramnya wanita yang dulunya cantik, berhati kuat layaknya karang, tapi tak hancur walau dihantam deburan ombak, hanya bisa menjadi dalang atas kecelakaan yang menimpa suami Mbak Aisya, tiga pekan lalu.
Ah, Mbak. Wajah sedihmu itu tak lagi aku temukan. Senang rasanya bisa membantu. Semoga engkau bisa sukses dengan warung sarapanmu itu.
Lihatlah, bahkan kematian manusia bermulut kasar itu tak meninggalkan duka sedikit pun di hatimu, juga anakmu.
Berbahagialah Mbak. Aku akan tetap duduk di sini, di pohon mangga ini, untuk selalu setia menjadi tempat ceritamu.
.
.
.
.
Hihihihi.
Pohon Mangga, 27 Januari 2020
Diubah oleh pojokinformasi 27-01-2020 21:06
0
178
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan