- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
MARI MEMBAKAR BUKU! By Hacktivis Hmei7 Kediri


TS
hmei72483
MARI MEMBAKAR BUKU! By Hacktivis Hmei7 Kediri
Suara debur ombak bagai berteriak di hadapanku. Bergemuruh begitu hebatnya. Menciptakan riak dan gelombang naik dan turun tanpa jeda. Membuat perasaanku seketika tenang dan mataku tiba-tiba begitu lembut.
Helaian angin yang menerbangkan rambutku dan mengusap begitu halus kulitku yang rapuh. Dan cahaya matahari yang tak semenakutkan saat aku berada di kurungan kota. Menjadikan kedua kakiku jauh lebih ringan melangkah walau harus berjuang melewati bentangan pasir yang mengarah ke barat.
Di punggung dan bahuku, terdapat empat buku dan sebuah boneka bernama Mr. M. Empat buku, yang tiga di antaranya sedang akan aku jadikan butiran abu yang akan mudahnya terbawa arus angin di pantai ini.
Aku tengah berjalan menuju apa yang aku sebut mengakhiri tulisan atau akhir dari buku-buku. Sebuah masa, yang aku tahu, di mana buku-buku telah kehilangan isinya, idealismenya, penemuannya, dan tak lagi banyak berarti bagi masyarakat luas kecuali hanya sebagai bacaan biasa sambil lalu atau sekedar dikagumi tapi tak pernah serius dipraktekkan.
Sebuah masa, di mana banyaknya pemikir, ilmuwan, filsuf, sastrawan, intelektual, dan banyak lainnya, yang mana mereka telah menulis buku-buku penting dalam sejarah manusia. Yang mengubah banyak sudut pandang dunia ini. Yang telah mencoba sekuat tenaga mempertahankan kemanusiaan dan kebenaran dalam taruhan nyawa. Atau, yang penemuan dan cara berpikirnya telah membuang dunia ini diambang keruntuhan akan segala jenis kebenaran dan utopia. Yang, dalam artian kasarnya, keberadaan mereka, bagiku sudut pandangku, bagaikan tak pernah ada.
Mereka telah membuka selubung dunia manusia. Mengungkapnya walau itu menyakitkan. Dan sebagian lainnya, berusaha untuk membuat manusia menjadi lebih baik. Tapi segala upaya itu gagal. Manusia yang terus beranak pinak dan memijahkan kebodohan-kebodohan baru, menjadi batasan tulisan mereka. Ada ruang, yang aku sebut sebagai pembatas tulisan, yang terlampau besar yang tak akan pernah mampu bisa dimasuki oleh para penulis dan pemikir terhebat dan terbijak sekalipun. Sebuah ruang, di mana isi hati dan kepala mayoritas besar manusia tak menginginkan apa yang ada di buku-buku itu. Sebagus apa pun dan sebaik apa pun buku-buku itu dibuat. Mayoritas besar manusia tak akan membaca dan mau memahaminya. Sebagian lainnya bahkan tak akan pernah bisa membelinya karena alasan ekonomi. Yang lainnya sudah lebih dulu enggan karena buku bukan hal penting untuk dibeli dan diutamakan. Sebagian besar malah membenci membaca buku. Sebagian lainnya, tak pernah tahu bahwa buku-buku itu pernah ada. Sebagian lagi, lebih menyukai buku-buku ringan layaknya film bioskop dan komik yang tak menguras banyak pikiran. Sedangkan buku-buku yang membicarakan idealisme, kebenaran, kebijaksanaan, penemuan baru, dan hal yang mengerutkan kening, hanya sedikit yang mau bersentuhan dengan buku-buku semacam itu.
Jadi, sebaik dan sebagus apa pun sebuah buku, akan selalu terbatas hanya untuk beberapa orang. Mungkin, itulah sebabnya ribuan atau malah jutaan penulis menulis dan selalu menulis tema-tema yang sama. Untuk apa menulis dan mengulangi tema yang sama, jika orang-orang terdahulu sudah melakukannya? Kenapa tidak mencetak buku-buku lama itu dan menghentikan mencetak buku-buku baru yang sekedar mengulangi?
Dunia telah keranjingan dengan buku, buku, dan buku.
Mengulangi tema yang sama dengan cara menghapus para penulis terdahulu. Seolah, apa yang ditulis dan diketemukan orang terdahulu dihapus dan disingkirkan begitu mudahnya hanya karena para penerbit dan pembaca modern tak menyukai kemasan isi buku para penulis lama itu.
Para penulis baru barmunculan begitu sering. Mengulang-ulang, apa yang beberapa abad lalu bahkan sudah dipikirkan dan ditulis oleh seseorang.
Sejarah kertas dan buku adalah sejarah pemborosan yang luar biasa. Sejarah pemborosan ini dibiayai dan didukung oleh para penerbit, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat luas. Sebuah penemuan, isi pikiran, dan dunia yang tak akan pernah bisa sampai kepada semua orang karena sebelum itu tersampaikan, buku-buku itu sudah dianggap usang dan tak layak. Disingkirkan dengan terang-terangan dengan buku-buku baru yang kadang lebih buruk dengan isi yang sekedar menjiplak.
Dampaknya, segala utopia runtuh. Harapan akan dunia yang adil, berkemanusiaan, yang menghormati alam, akan selalu terbatasi. Manusia sangat terikat kuat dengan tulisan dan buku-buku untuk mengajari mereka apa itu moralitas, hukum, sejarah, identitas, agama, tuhan, dan kebenaran yang jumlahnya begitu banyak.
Begitu pentingnya posisi tulisan sebagai pembangunan identitas manusia sebagai individu dan komunitas, tak bisa dibantah oleh mereka yang hidup di dunia modern hari ini. Terlebih manusia yang berbasis perkotaan.
Kita, manusia, dibangun oleh tulisan-tulisan dan buku-buku. Bagaimana cara kita berpikir, berpandangan, menilai segala sesuatu, dan identitas kedirian kita ditentukan oleh buku-buku yang diserap oleh orangtua, diperbolehkan hadir oleh pemerintah, yang dijadikan kurikulum di sekolah mengenai apa yang baik dan tidak.
Sejarah kita, identitas agama, suku, bahasa, dan banyak lainnya, sangat ditentukan oleh buku-buku atau berbagai tulisan dari penulis yang dianggap layak dan mewakili komunitas internasional, nasional, dan lokal sampai antar individu.
Begitu terikatnya manusia modern terhadap tulisan guna membangun identitas diri dan komunitas, benar-benar sangat rapuh dan mudah rusak. Terlebih saat nyaris ada begitu banyak fakta dan versi kebenaran yang pernah ditulis, diajarkan, atau belum diajarkan dan kebenaran fakta yang akan mungkin bertambah di masa depan.
Manusia dihadapkan pada suatu masa, di mana segala utopia mereka tak akan pernah tercapai sebaik apa pun mereka mencoba melakukannya. Perbedaan budaya, agama, negara, benua, ras, bahasa, pengalaman hidup, usia mental, tahun kelahiran dan usia fisik, apa yang disukai dan tidak, apa yang dicintai dan dibenci dan ditambah dengan hal-hal kecil yang jumlahnya banyak, sudah cukup menghancurkan segala jenus tulisan apa pun untuk bisa diakui dan diterima bersama secara total.
Batasan yang begitu kuat dan banyaknya itu menjadi batasan nyata segala ideologi, kebenaran, fakta, dan sudut pandang untuk bisa diterima dan menyebar. Hasilnya, dunia yang tetap terpecah-pecah dan tak akan pernah bisa menyatu dalam bentuk keseluruhan.
Terlebih dalam dunia berisi ego, yang berarti miliaran banyaknya, menjadikan buku-buku sebagai media, alat, sarana, atau penyampai kebenaran, fakta, kisah, sejarah, ideologi, dogma dan lain sebagainya, hanya akan sampai pada sebagian kecil manusia saja.
Fakta ini, yang seharusnya sudah diketahui oleh banyak pemikir dan penulis, diulangi dengan cara yang nyarus buta dan menegaskan manusia itu sendiri.
Hasilnya, tema yang diulang-ulang dengan cara yang mengenaskan dan mengerikan. Para penulis mengulangi menulis tema yang sama dan tak melihat krisis yang ada di dalamnya. Sebuah krisis, bahwa sebanyak apa pun penulis yang ada. Sebanyak apa pun buku dan tulisan yang ada. Inti dari dunia ini dan dunia manusia nyaris tak berubah.
Ulangan demi ulangan tema serupa dari jutaan penulis menandakan keruntuhan tulisan itu sendiri. Di akhir hidup mereka, dunia yang bak utopia itu tak akan pernah terwujud. Yang mereka tahu hanyalah ulangan dan ulangan. Dari generasi ke generasi. Seolah-olah, kematian hanya berisi kematian yang lain. Kelahiran hanya berisi kelahiran yang lain.
Seorang sejak awal dilahirkan untuk tidak tahu apa-apa. Pemborosan wawasan, ilmu pengetahuan, dan bagaimana dunia bekerja dibatasi oleh proses kelahiran yang akan membutuhkan pengajaran ulang entah sampai kapan berakhirnya.
Kelahiran baru adalah batasan nyata dan paling vital dari segala keruntuhan nilai. Kelahiran baru berarti kebodohan baru dan ketidaktahuan yang baru. Dan kelahiran baru berarti adalah perbedaan-perbedaan yang baru. Karena kelahiran yang satu akan diajari oleh orangtua yang terdidik dan terbuka. Sedangkan kelahiran baru lainnya akan diasuh oleh keluarga fanatik dan masa bodoh.
Pengasuhan ini membutuhkan tulisan dan buku-buku untuk mengisi pikiran dan hati si bayi dan si anak. Perbedaan nyata di awal pengasuhan ini saja, belum yang lainnya, menjadi batasan nyata itu sendiri.
Dari sinilah, jika tidak dari Tuhan atau seleksi alam, manusia terpecah dalam taraf yang tak bisa ditolong lagi. Ditambah masing-masih manusia memilih apa yang pas dan cocok bagi dirinya, menjadikan segala upaya penulis yang serius terbentur dengan hebatnya.
Selalu ada tembok tinggi yang tak akan pernah bisa didaki oleh penulis manapun. Seterkenal dan sepenting apa pun penulis itu. Karena sejak awal, manusia lahir dalam dunia yang berbeda-beda. Saat dewasa, mereka akan menolak dan menerima apa pun sesuai dunia di mana mereka berkembang. Dan pilihan pribadi yang bersifat individual, benar-benar meruntuhkan segalanya.
Masalah terbesarnya, selalu ada kelahiran, bayi, dan masa kanak-kanak. Masa itu saja adalah krisis nyata yang menjadikan lubang besar dalam kesamaan dalam cara berpikir dan memandang sesuatu. Harus menunggu 15-20 tahun hanya untuk bisa berpikir dan berbincang dengan cara yang nyaris sama. Jarak satu generasi pemahaman dan pengetahuan mengenai apa itu kebenaran, keadilan, dan lain sebagainya yang belum bisa diatasi oleh siapa pun.
Jika saja, setiap bayi sudah bisa berpikir dan berbicara layaknya orang dewasa dari generasi lalu atau usia mentalnya disetarakan dengan orang-orang hari ini. Apakah mungkin, apa yang diharapkan dan diketahui oleh para penulis dan buku-buku akan menjadi nyata secara penuh? Aku rasa tidak. Itu juga tidak akan banyak membantu.
Ada banyak hal yang bisa aku pikirkan mengenai dunia di mana buku-buku dan tulisan-tulisan telah runtuh. Kepercayaan manusia terhadap tulisan sebagai sumber identitas diri dan kebenaran telah sampai pada batasan terakhirnya. Hari ini, semakin sulit rasanya mempercayai buku-buku. Makin sulit rasanya mempercayai dan menaruh hormat terhadap tulisan-tulisan. Terlebih di sebuah dunia, di mana semakin banyak manusia egois dan berpikiran masa bodoh. Dunia di mana semua orang bisa menulis di internet. Dan sebuah dunia, di mana kelebihan tulisan tak membuat orang-orang saling mendekat dan menjadi lebih baik untuk sesama dan untuk makhluk hidup lainnya.
Dunia manusia telah kebanjiran tulisan. Sebuah dunia, yang sejatinya adalah keruntuhan tulisan dan manusia itu sendiri.
Masalah terbesarnya adalah saat tulisan dan buku-buku telah gagal. Manusia jenis baru akan menggantikan manusia jenis lama yang begitu terikat dengan tulisan dan buku-buku dalam bentuk kunonya. Manusia jenis baru akan menganggap buku-buku telah usang dan digantikan oleh segala yang visual, berbentuk hologram, dan yang bisa didengar dan dipandang tanpa banyak membaca. Proses membaca pun akan jadi cara lama dan terlalu kuno untuk dijadikan proses menyerap pengetahuan.
Hanya saja, saat buku-buku yang mencoba memahamkan manusia dengan cara yang detail saja telah gagal. Apa yang bisa dilakukan oleh pengganti buku kecuali mengulangi keterpecahan manusia yang sama? Sebuah generasi yang tercerabut dari buku dan tulisan saja secara mendadak, sudah akan kebingungan untuk menceritakan sejarah identitas dan keyakinannya sendiri. Terlebih jika buku serius dan penting mendadak tak lagi dinikmati dan dibaca. Seorang manusia tak akan bisa mempertahankan diri atas apa yang diyakininya.
Lalu, ada jutaan buku dan kebenaran yang berbeda. Dari sini saja, semua sudah hancur.
Aku memandangi laut yang bergejolak hebatnya. Ada kedamaian diri saat aku memandangi laut nan luas di depanku ini. Suatu kedamaian di mana manusia tak menjadi bagian yang begitu menguasai semuanya.
Sudah agak lama aku memutuskan untuk memilih 10 buku yang akan aku bakar. Itu adalah buku-buku penting. Penanda zaman dan buku yang telah mengubah sudut pandang dunia. Buku-buku luar biasa yang akan terus terbatasi oleh manusia itu sendiri. Menjadikan buku-buku itu, seolah menjadi keberadaan yang tak pernah ada dan percuma ada.
Untuk apa buku-buku itu terus dicetak? Kenapa tidak diakhiri saja? Salah satunya, yaitu dengan membakarnya.
Mari Membakar Buku adalah caraku menghargai dan menghormati para penulis yang bukunya aku bakar. Berbeda dengan Membakar Sastra Indonesia, yang mana lebih mengarah ke penghinaan dan peremehan yang begitu nyata, mengenai betapa memalukannya sastra hari ini.
Dan sekarang ini, aku ada di sebuah pantai dengan ombak menderu-deru. Menikmati apa yang ada di sekitarku.
Mengeluarkan buku-buku yang ada dalam tas. Mencoba membakarnya tapi angin yang begitu kencang menggagalkannya.
Tiga buku yang sedang ingin aku bakar adalah Why I am so Clever dari Nietzsche, Catatan Seorang Demonstran milik Soe Hok Gie, dan Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku dari orang-orang yang aku anggap penting dan layak aku hormati dalam cara membakarnya.
Hanya saja, korek api di tanganku bahkan gagal membakar buku kecil milik Nietzsche. Hanya ujung kertas dari buku Why I am So Clever saja yang sedikit terbakar.
Aku mencoba menghidupkan api berkali-kali tapi tetap saja gagal. Tiupan angin begitu kuat. Hingga akhirnya aku memilih opsi merobek kertas.
Pertama aku merobek-robek buku Nietzsche. Kemudian beralih ke Soe Hok Gie. Buku milik Pram sendiri belum tersentuh. Aku memutuskan meminggirkan Pram dan membuat bukunya berstatus menunggu. Dalam artian, aku bisa membakar dan merobeknya suatu saat nanti.
Merobek-robek buku sangat berbeda dengan membakarnya. Dalam hal merobek, aku mendapatkan gagasan yang akan sulit diterapkan saat aku membakar buku itu sendiri. Dengan merobek buku, aku bisa melakukannya di mana pun. Aku bisa memilih halaman, memperlambat tempo, dan merasakan bagaimana kertas terlepas dari jilidnya.
Dan yang jauh penting, aku bisa merobek buku di depan para penulisnya langsung saat acara peluncuran, bedah, atau diskusi buku. Merobek buku di depan penulisnya, adalah salah satu gagasan menarik yang aku dapatkan setelah merobek-robek buku telah selesai.
Gagasan menarik yang sangat ingin aku coba lakukan nantinya.
Aku merobek buku-buku di tanganku dalam keadaan yang cukup menyenangkan. Ada laut yang indah. Ombak bergemuruh menenangkan. Angin yang lembut dan sejuk. Matahari yang redup karena pepohonan. Dan gagasan akan akhir dari tulisan yang memanduku untuk melakukannya.
Terlebih tulisan sebagai penjaga terbesar garis kehidupan manusia. Kehidupan yang ditopang oleh tulisan dan dipuja bersama, yang anehnya, banyak orang terpelajar lupa diri akan akhir dan krisis yang ada tepat ada di depan mata mereka.
Setelah puas merobek-robek buku Nietzsche dan Soe Hok Gie. Aku kemudian berteduh. Mengambil The Letters of Vincent van Gogh, dan membacanya dengan tenang.
Memandangi laut. Tersenyum. Mataku rasanya menjadi teduh dalam kesendirian di sebuah pantai yang dalam keadaan sepi dari manusia lainnya.
Aku berpikir, ah, mungkin ini akan menjadi peninggalan terakhirku sebelum aku memutuskan pergi dari dunia ini. Maka dari itu, merobek-robek buku di pantai ini adalah awal dimulainya sebuah proyek Mari Membakar Buku.
Aku menikmatinya.
Dan mungkin, hanya aku satu-satunya yang berani melakukannya. Saat orang-orang begitu sibuk dan bangganya mencetaj buku-buku. Aku memulai proses membakarinya. Mengakhirinya. Proses ulangan yang tak akan berakhir jika tak ada satu pun orang yang mulai bermaksud mengakhirinya.
Kelak, orang akan bisa mengerti alasanku. Tapi tidak untuk saat ini. Di sebuah masyarakat yang masih banyak enggan berpikir.
Tapi, apa peduliku?
Helaian angin yang menerbangkan rambutku dan mengusap begitu halus kulitku yang rapuh. Dan cahaya matahari yang tak semenakutkan saat aku berada di kurungan kota. Menjadikan kedua kakiku jauh lebih ringan melangkah walau harus berjuang melewati bentangan pasir yang mengarah ke barat.
Di punggung dan bahuku, terdapat empat buku dan sebuah boneka bernama Mr. M. Empat buku, yang tiga di antaranya sedang akan aku jadikan butiran abu yang akan mudahnya terbawa arus angin di pantai ini.
Aku tengah berjalan menuju apa yang aku sebut mengakhiri tulisan atau akhir dari buku-buku. Sebuah masa, yang aku tahu, di mana buku-buku telah kehilangan isinya, idealismenya, penemuannya, dan tak lagi banyak berarti bagi masyarakat luas kecuali hanya sebagai bacaan biasa sambil lalu atau sekedar dikagumi tapi tak pernah serius dipraktekkan.
Sebuah masa, di mana banyaknya pemikir, ilmuwan, filsuf, sastrawan, intelektual, dan banyak lainnya, yang mana mereka telah menulis buku-buku penting dalam sejarah manusia. Yang mengubah banyak sudut pandang dunia ini. Yang telah mencoba sekuat tenaga mempertahankan kemanusiaan dan kebenaran dalam taruhan nyawa. Atau, yang penemuan dan cara berpikirnya telah membuang dunia ini diambang keruntuhan akan segala jenis kebenaran dan utopia. Yang, dalam artian kasarnya, keberadaan mereka, bagiku sudut pandangku, bagaikan tak pernah ada.
Mereka telah membuka selubung dunia manusia. Mengungkapnya walau itu menyakitkan. Dan sebagian lainnya, berusaha untuk membuat manusia menjadi lebih baik. Tapi segala upaya itu gagal. Manusia yang terus beranak pinak dan memijahkan kebodohan-kebodohan baru, menjadi batasan tulisan mereka. Ada ruang, yang aku sebut sebagai pembatas tulisan, yang terlampau besar yang tak akan pernah mampu bisa dimasuki oleh para penulis dan pemikir terhebat dan terbijak sekalipun. Sebuah ruang, di mana isi hati dan kepala mayoritas besar manusia tak menginginkan apa yang ada di buku-buku itu. Sebagus apa pun dan sebaik apa pun buku-buku itu dibuat. Mayoritas besar manusia tak akan membaca dan mau memahaminya. Sebagian lainnya bahkan tak akan pernah bisa membelinya karena alasan ekonomi. Yang lainnya sudah lebih dulu enggan karena buku bukan hal penting untuk dibeli dan diutamakan. Sebagian besar malah membenci membaca buku. Sebagian lainnya, tak pernah tahu bahwa buku-buku itu pernah ada. Sebagian lagi, lebih menyukai buku-buku ringan layaknya film bioskop dan komik yang tak menguras banyak pikiran. Sedangkan buku-buku yang membicarakan idealisme, kebenaran, kebijaksanaan, penemuan baru, dan hal yang mengerutkan kening, hanya sedikit yang mau bersentuhan dengan buku-buku semacam itu.
Jadi, sebaik dan sebagus apa pun sebuah buku, akan selalu terbatas hanya untuk beberapa orang. Mungkin, itulah sebabnya ribuan atau malah jutaan penulis menulis dan selalu menulis tema-tema yang sama. Untuk apa menulis dan mengulangi tema yang sama, jika orang-orang terdahulu sudah melakukannya? Kenapa tidak mencetak buku-buku lama itu dan menghentikan mencetak buku-buku baru yang sekedar mengulangi?
Dunia telah keranjingan dengan buku, buku, dan buku.
Mengulangi tema yang sama dengan cara menghapus para penulis terdahulu. Seolah, apa yang ditulis dan diketemukan orang terdahulu dihapus dan disingkirkan begitu mudahnya hanya karena para penerbit dan pembaca modern tak menyukai kemasan isi buku para penulis lama itu.
Para penulis baru barmunculan begitu sering. Mengulang-ulang, apa yang beberapa abad lalu bahkan sudah dipikirkan dan ditulis oleh seseorang.
Sejarah kertas dan buku adalah sejarah pemborosan yang luar biasa. Sejarah pemborosan ini dibiayai dan didukung oleh para penerbit, pengusaha, pemerintah, dan masyarakat luas. Sebuah penemuan, isi pikiran, dan dunia yang tak akan pernah bisa sampai kepada semua orang karena sebelum itu tersampaikan, buku-buku itu sudah dianggap usang dan tak layak. Disingkirkan dengan terang-terangan dengan buku-buku baru yang kadang lebih buruk dengan isi yang sekedar menjiplak.
Dampaknya, segala utopia runtuh. Harapan akan dunia yang adil, berkemanusiaan, yang menghormati alam, akan selalu terbatasi. Manusia sangat terikat kuat dengan tulisan dan buku-buku untuk mengajari mereka apa itu moralitas, hukum, sejarah, identitas, agama, tuhan, dan kebenaran yang jumlahnya begitu banyak.
Begitu pentingnya posisi tulisan sebagai pembangunan identitas manusia sebagai individu dan komunitas, tak bisa dibantah oleh mereka yang hidup di dunia modern hari ini. Terlebih manusia yang berbasis perkotaan.
Kita, manusia, dibangun oleh tulisan-tulisan dan buku-buku. Bagaimana cara kita berpikir, berpandangan, menilai segala sesuatu, dan identitas kedirian kita ditentukan oleh buku-buku yang diserap oleh orangtua, diperbolehkan hadir oleh pemerintah, yang dijadikan kurikulum di sekolah mengenai apa yang baik dan tidak.
Sejarah kita, identitas agama, suku, bahasa, dan banyak lainnya, sangat ditentukan oleh buku-buku atau berbagai tulisan dari penulis yang dianggap layak dan mewakili komunitas internasional, nasional, dan lokal sampai antar individu.
Begitu terikatnya manusia modern terhadap tulisan guna membangun identitas diri dan komunitas, benar-benar sangat rapuh dan mudah rusak. Terlebih saat nyaris ada begitu banyak fakta dan versi kebenaran yang pernah ditulis, diajarkan, atau belum diajarkan dan kebenaran fakta yang akan mungkin bertambah di masa depan.
Manusia dihadapkan pada suatu masa, di mana segala utopia mereka tak akan pernah tercapai sebaik apa pun mereka mencoba melakukannya. Perbedaan budaya, agama, negara, benua, ras, bahasa, pengalaman hidup, usia mental, tahun kelahiran dan usia fisik, apa yang disukai dan tidak, apa yang dicintai dan dibenci dan ditambah dengan hal-hal kecil yang jumlahnya banyak, sudah cukup menghancurkan segala jenus tulisan apa pun untuk bisa diakui dan diterima bersama secara total.
Batasan yang begitu kuat dan banyaknya itu menjadi batasan nyata segala ideologi, kebenaran, fakta, dan sudut pandang untuk bisa diterima dan menyebar. Hasilnya, dunia yang tetap terpecah-pecah dan tak akan pernah bisa menyatu dalam bentuk keseluruhan.
Terlebih dalam dunia berisi ego, yang berarti miliaran banyaknya, menjadikan buku-buku sebagai media, alat, sarana, atau penyampai kebenaran, fakta, kisah, sejarah, ideologi, dogma dan lain sebagainya, hanya akan sampai pada sebagian kecil manusia saja.
Fakta ini, yang seharusnya sudah diketahui oleh banyak pemikir dan penulis, diulangi dengan cara yang nyarus buta dan menegaskan manusia itu sendiri.
Hasilnya, tema yang diulang-ulang dengan cara yang mengenaskan dan mengerikan. Para penulis mengulangi menulis tema yang sama dan tak melihat krisis yang ada di dalamnya. Sebuah krisis, bahwa sebanyak apa pun penulis yang ada. Sebanyak apa pun buku dan tulisan yang ada. Inti dari dunia ini dan dunia manusia nyaris tak berubah.
Ulangan demi ulangan tema serupa dari jutaan penulis menandakan keruntuhan tulisan itu sendiri. Di akhir hidup mereka, dunia yang bak utopia itu tak akan pernah terwujud. Yang mereka tahu hanyalah ulangan dan ulangan. Dari generasi ke generasi. Seolah-olah, kematian hanya berisi kematian yang lain. Kelahiran hanya berisi kelahiran yang lain.
Seorang sejak awal dilahirkan untuk tidak tahu apa-apa. Pemborosan wawasan, ilmu pengetahuan, dan bagaimana dunia bekerja dibatasi oleh proses kelahiran yang akan membutuhkan pengajaran ulang entah sampai kapan berakhirnya.
Kelahiran baru adalah batasan nyata dan paling vital dari segala keruntuhan nilai. Kelahiran baru berarti kebodohan baru dan ketidaktahuan yang baru. Dan kelahiran baru berarti adalah perbedaan-perbedaan yang baru. Karena kelahiran yang satu akan diajari oleh orangtua yang terdidik dan terbuka. Sedangkan kelahiran baru lainnya akan diasuh oleh keluarga fanatik dan masa bodoh.
Pengasuhan ini membutuhkan tulisan dan buku-buku untuk mengisi pikiran dan hati si bayi dan si anak. Perbedaan nyata di awal pengasuhan ini saja, belum yang lainnya, menjadi batasan nyata itu sendiri.
Dari sinilah, jika tidak dari Tuhan atau seleksi alam, manusia terpecah dalam taraf yang tak bisa ditolong lagi. Ditambah masing-masih manusia memilih apa yang pas dan cocok bagi dirinya, menjadikan segala upaya penulis yang serius terbentur dengan hebatnya.
Selalu ada tembok tinggi yang tak akan pernah bisa didaki oleh penulis manapun. Seterkenal dan sepenting apa pun penulis itu. Karena sejak awal, manusia lahir dalam dunia yang berbeda-beda. Saat dewasa, mereka akan menolak dan menerima apa pun sesuai dunia di mana mereka berkembang. Dan pilihan pribadi yang bersifat individual, benar-benar meruntuhkan segalanya.
Masalah terbesarnya, selalu ada kelahiran, bayi, dan masa kanak-kanak. Masa itu saja adalah krisis nyata yang menjadikan lubang besar dalam kesamaan dalam cara berpikir dan memandang sesuatu. Harus menunggu 15-20 tahun hanya untuk bisa berpikir dan berbincang dengan cara yang nyaris sama. Jarak satu generasi pemahaman dan pengetahuan mengenai apa itu kebenaran, keadilan, dan lain sebagainya yang belum bisa diatasi oleh siapa pun.
Jika saja, setiap bayi sudah bisa berpikir dan berbicara layaknya orang dewasa dari generasi lalu atau usia mentalnya disetarakan dengan orang-orang hari ini. Apakah mungkin, apa yang diharapkan dan diketahui oleh para penulis dan buku-buku akan menjadi nyata secara penuh? Aku rasa tidak. Itu juga tidak akan banyak membantu.
Ada banyak hal yang bisa aku pikirkan mengenai dunia di mana buku-buku dan tulisan-tulisan telah runtuh. Kepercayaan manusia terhadap tulisan sebagai sumber identitas diri dan kebenaran telah sampai pada batasan terakhirnya. Hari ini, semakin sulit rasanya mempercayai buku-buku. Makin sulit rasanya mempercayai dan menaruh hormat terhadap tulisan-tulisan. Terlebih di sebuah dunia, di mana semakin banyak manusia egois dan berpikiran masa bodoh. Dunia di mana semua orang bisa menulis di internet. Dan sebuah dunia, di mana kelebihan tulisan tak membuat orang-orang saling mendekat dan menjadi lebih baik untuk sesama dan untuk makhluk hidup lainnya.
Dunia manusia telah kebanjiran tulisan. Sebuah dunia, yang sejatinya adalah keruntuhan tulisan dan manusia itu sendiri.
Masalah terbesarnya adalah saat tulisan dan buku-buku telah gagal. Manusia jenis baru akan menggantikan manusia jenis lama yang begitu terikat dengan tulisan dan buku-buku dalam bentuk kunonya. Manusia jenis baru akan menganggap buku-buku telah usang dan digantikan oleh segala yang visual, berbentuk hologram, dan yang bisa didengar dan dipandang tanpa banyak membaca. Proses membaca pun akan jadi cara lama dan terlalu kuno untuk dijadikan proses menyerap pengetahuan.
Hanya saja, saat buku-buku yang mencoba memahamkan manusia dengan cara yang detail saja telah gagal. Apa yang bisa dilakukan oleh pengganti buku kecuali mengulangi keterpecahan manusia yang sama? Sebuah generasi yang tercerabut dari buku dan tulisan saja secara mendadak, sudah akan kebingungan untuk menceritakan sejarah identitas dan keyakinannya sendiri. Terlebih jika buku serius dan penting mendadak tak lagi dinikmati dan dibaca. Seorang manusia tak akan bisa mempertahankan diri atas apa yang diyakininya.
Lalu, ada jutaan buku dan kebenaran yang berbeda. Dari sini saja, semua sudah hancur.
Aku memandangi laut yang bergejolak hebatnya. Ada kedamaian diri saat aku memandangi laut nan luas di depanku ini. Suatu kedamaian di mana manusia tak menjadi bagian yang begitu menguasai semuanya.
Sudah agak lama aku memutuskan untuk memilih 10 buku yang akan aku bakar. Itu adalah buku-buku penting. Penanda zaman dan buku yang telah mengubah sudut pandang dunia. Buku-buku luar biasa yang akan terus terbatasi oleh manusia itu sendiri. Menjadikan buku-buku itu, seolah menjadi keberadaan yang tak pernah ada dan percuma ada.
Untuk apa buku-buku itu terus dicetak? Kenapa tidak diakhiri saja? Salah satunya, yaitu dengan membakarnya.
Mari Membakar Buku adalah caraku menghargai dan menghormati para penulis yang bukunya aku bakar. Berbeda dengan Membakar Sastra Indonesia, yang mana lebih mengarah ke penghinaan dan peremehan yang begitu nyata, mengenai betapa memalukannya sastra hari ini.
Dan sekarang ini, aku ada di sebuah pantai dengan ombak menderu-deru. Menikmati apa yang ada di sekitarku.
Mengeluarkan buku-buku yang ada dalam tas. Mencoba membakarnya tapi angin yang begitu kencang menggagalkannya.
Tiga buku yang sedang ingin aku bakar adalah Why I am so Clever dari Nietzsche, Catatan Seorang Demonstran milik Soe Hok Gie, dan Bumi Manusia dari Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku dari orang-orang yang aku anggap penting dan layak aku hormati dalam cara membakarnya.
Hanya saja, korek api di tanganku bahkan gagal membakar buku kecil milik Nietzsche. Hanya ujung kertas dari buku Why I am So Clever saja yang sedikit terbakar.
Aku mencoba menghidupkan api berkali-kali tapi tetap saja gagal. Tiupan angin begitu kuat. Hingga akhirnya aku memilih opsi merobek kertas.
Pertama aku merobek-robek buku Nietzsche. Kemudian beralih ke Soe Hok Gie. Buku milik Pram sendiri belum tersentuh. Aku memutuskan meminggirkan Pram dan membuat bukunya berstatus menunggu. Dalam artian, aku bisa membakar dan merobeknya suatu saat nanti.
Merobek-robek buku sangat berbeda dengan membakarnya. Dalam hal merobek, aku mendapatkan gagasan yang akan sulit diterapkan saat aku membakar buku itu sendiri. Dengan merobek buku, aku bisa melakukannya di mana pun. Aku bisa memilih halaman, memperlambat tempo, dan merasakan bagaimana kertas terlepas dari jilidnya.
Dan yang jauh penting, aku bisa merobek buku di depan para penulisnya langsung saat acara peluncuran, bedah, atau diskusi buku. Merobek buku di depan penulisnya, adalah salah satu gagasan menarik yang aku dapatkan setelah merobek-robek buku telah selesai.
Gagasan menarik yang sangat ingin aku coba lakukan nantinya.
Aku merobek buku-buku di tanganku dalam keadaan yang cukup menyenangkan. Ada laut yang indah. Ombak bergemuruh menenangkan. Angin yang lembut dan sejuk. Matahari yang redup karena pepohonan. Dan gagasan akan akhir dari tulisan yang memanduku untuk melakukannya.
Terlebih tulisan sebagai penjaga terbesar garis kehidupan manusia. Kehidupan yang ditopang oleh tulisan dan dipuja bersama, yang anehnya, banyak orang terpelajar lupa diri akan akhir dan krisis yang ada tepat ada di depan mata mereka.
Setelah puas merobek-robek buku Nietzsche dan Soe Hok Gie. Aku kemudian berteduh. Mengambil The Letters of Vincent van Gogh, dan membacanya dengan tenang.
Memandangi laut. Tersenyum. Mataku rasanya menjadi teduh dalam kesendirian di sebuah pantai yang dalam keadaan sepi dari manusia lainnya.
Aku berpikir, ah, mungkin ini akan menjadi peninggalan terakhirku sebelum aku memutuskan pergi dari dunia ini. Maka dari itu, merobek-robek buku di pantai ini adalah awal dimulainya sebuah proyek Mari Membakar Buku.
Aku menikmatinya.
Dan mungkin, hanya aku satu-satunya yang berani melakukannya. Saat orang-orang begitu sibuk dan bangganya mencetaj buku-buku. Aku memulai proses membakarinya. Mengakhirinya. Proses ulangan yang tak akan berakhir jika tak ada satu pun orang yang mulai bermaksud mengakhirinya.
Kelak, orang akan bisa mengerti alasanku. Tapi tidak untuk saat ini. Di sebuah masyarakat yang masih banyak enggan berpikir.
Tapi, apa peduliku?
0
299
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan