id4s4id4hAvatar border
TS
id4s4id4h
AKIBAT KURANG PIKNIK
AKIBAT KURANG PIKNIK

By : Ida S

"Mas, minggu besok ke pantai ya. Biar hemat, kubawa semua makanan dari rumah. Sumpah Mas, aku bosen banget di rumah terus," celoteh istriku, sesaat setelah aku pulang kerja. Aku tidak jadi memasukkan gorengan mendoan ke mulut. Hilang nafsu makan seketika.

"Mar, apa kamu tau berapa ongkos piknik ke pantai? Bensin? Tiket masuk? Parkir? Belum kalau anak-anak minta ini itu. Minimal 500 ribu habis Mar! Mending uangnya kamu kirim ke Ibu, buat bantu bayar semesteran adikmu."

"Iya sih. Tapi kan gak tiap minggu kita piknik Mas. Sekali saja dalam tahun ini. Bolehlah ...."

"Enggak! Minggu besok aku mau lembur. Ada barang datang ke pabrik."

"Ya udah gapapa. Aku pergi sendiri sama anak-anak ya. Aku pakai uang tabunganku sendiri. Gak minta kamu kok. Aku ijin aja."

"Haissshhhhh, lancang sekali pergi tanpa suami. Nanti kalau kamu dikira janda gemana? Trus ada yang godain kamu gemana? No weyyyy!"

Istriku diam mematung, tak menjawab lagi. Ini artinya dia sudah paham, kodratnya sebagai seorang istri. Alhamdulillah, dia memang istri solihah sekali selama ini.

Aku beranjak dari kursi, dan mencium keningnya lembut. Kemudian berlalu meninggalkannya, menuju kamar. Aku sangat lelah hari ini, dengan semua pekerjaan di pabrik. Ingin segera tidur dan istirahat.

...

"Mas, aku boleh kerja lagi gak? Tadi mantan bos kirim aku surat penawaran untuk kembali ke kantor," ucap istriku tiba-tiba, membuat emosiku tersulut, setiap membahas tentang karier dia. Dia memang seorang sarjana akuntansi yang sangat handal di bidangnya. Tak heran, jika bosnya masih berharap dia kembali ke kantor. Tapi aku sangat tidak suka dia berkarier, dan menitipkan anak-anak pada pembantu.

"Apa selama ini, nafkah yang aku beri sama kamu kurang, Mar?"

"Tidak. Lebih kok Mas. Tapi aku bosan di rumah terus."

"Itu bukan sebuah alasan untuk kembali bekerja. Jadilah istri yang manis untukku ya sayang. Mas berangkat kerja dulu."

Setelah aku kecup keningnya, aku mencari anak-anak yang masih balita, untuk aku kecup juga pipi tembam mereka. Setelah itu aku berangkat kerja dengan tenang.

...

"Mas, mau ke mana?" teriak istriku, saat aku menyalakan sepeda motor, bersiap keluar rumah.

"Ke Indomaret, Mar. Belanja bulanan. Kamu mau titip apa? Es krim?"

"Ikuttttttttt."

"Lah. Kita cuma naik sepeda motor. Itu anak-anak mau kamu taruh mana? Trus bagaimana belanjaan kita nanti bawanya? Udah, di rumah aja. Kamu pengen apa, WA aja. Nanti Mas belikan."

Seperti biasa, istriku diam tak menjawab lagi, setelah kalah berdebat denganku. Tapi kali ini, tampak matanya berkaca-kaca, seperti hendak menangis saja. Aku pun segera berlalu meninggalkannya, sebelum kemalaman, toko tutup.

...

Emosiku meledak, ketika tidak mendapati istri dan anak-anakku di rumah. Ke mana mereka!

"Hallo, Assalamualaikum, Mas?" dia menjawab teleponku secepat kilat.

"Kamu dimana?"

"Ini Mas. Ada demo kosmetik di rumah Bu Rt. Maaf, aku lupa pamit. Tadinya cuma mau sebentar aja. Ternyata aku tertarik beli. Udah lama gak dandan. Ingin kelihatan cantik lagi buat Mas. Hehehehhe."

"Apa! Pulang sekarang! Aku gak butuh istri cantik! Bagiku kamu cantik sempurna, tanpa polesan apa pun. Pulang!"

Aku langsung menutup telepon dengan amarah yang memuncak. Tak habis pikir, bagaimana dia bisa keluar rumah tanpa seizinku. Aku murka!

...

Sejak aku memarahinya habis-habisan, karena keluar rumah tanpa izinku, Mar berubah drastis. Dia tak pernah lagi membuka mulutnya untuk meminta ini dan itu lagi. Dia melakukan semua perintahku dengan cekatan, seperti sebuah robot hidup, tanpa mengeluh lagi.

"Mar, kamu kelihatan pucat. Istirahat sana kalau sakit. Aku belikan obat ya?"

Dia hanya diam, tak menyahut. Kedua tangannya sibuk mengerjakan semua pekerjaan dapur, sambil sesekali mengurus kedua balita kami.

"Mar!" aku sedikit berteriak. Berharap dia berhenti bekerja, melihat tubuhnya yang seperti sempoyongan hampir jatuh. Namun, dia tetap tidak bergeming dengan teriakanku. Istriku terus melakukan pekerjaannya di dapur.

Tiba-tiba dia menangis tanpa suara. Air matanya berjatuhan, membasahi hijab lebarnya. Aku jadi bingung sendiri. Apa yang terjadi dengannya?

...

"Dok, istri saya sakit apa dok?" tanyaku cemas, tak sabar menunggu jawaban dokter yang telah memeriksanya. Aku membawa paksa istri, untuk berobat ke dokter, setelah hampir sebulan, dia tak membuka mulutnya, dan bekerja seperti robot tanpa lelah, setiap hari.

"Jiwanya terguncang Pak. Seperti banyak mengalami tekanan hidup. Saya tidak mau ikut campur dalam hal ini. Bapak lebih tau jawabannya, dari pada saya."

Dalam sepersekian detik, otakku dipaksa berpikir keras tentang semuanya. Dan segera memang aku mendapatkan jawabannya.

Aku telah dzalim padanya!

Aku telah merampas hak-haknya sebagai seorang wanita!

Aku terpukul hebat ....

"Tapi dia bisa kembali sembuh kan dok?"

"Sulit. Kecuali ...."

"Apa dok?"

"kecuali ...."

"Iya dok. Katakan dok. Demi dia, saya akan lakukan apa pun. Kembalikan istri saya seperti dulu lagi dok. Pleaseee ...."

"Ya. Sebaiknya dia ganti suami saja. Suami yang baik, perhatian, dan tak mengekang semua haknya sebagai seorang wanita."

Arghhhhhhhhhhhhhhhhhgghhhhhhh, betapa ingin aku tonjok dokter di depanku ini. Tapi aku segera sadar, bahwa apa yang disampaikannya itu memang benar.

"Marrrrrrrr, maafkan aku sayangggggggg, ayok kita piknik ke Brunai Darusalam, trus kita poto selpi di depan patung singa yang keluar air macurnya yaaaa. Yuk sayang, kita pulang," ucapku lirih, sambil menggapit bahu istriku lembut, keluar ruangan dokter yang sontoloyo itu.

“Pak! Singa yang ada air mancurnya itu adanya di Mekah, bukan di Brunai!” teriak dokter yang sok tahu itu!

...


Sepanjang perjalanan pulang dari dokter, otakku berpikir sangat keras. Aku harus melakukan sesuatu yang bisa mengembalikan sikap istriku seperti dulu lagi. Ceria dan selalu merajuk, meminta ini dan itu. Aku telah merampas haknya sebagai seorang istri, yang seharusnya aku manjakan dengan segala perhatian kasih sayangku. Tidak selalu soal materi, tapi juga kebahagiaan batin dia. Selama ini, aku telah salah memperlakukannya. Aku sengaja menitipkan kedua balitaku pada mertua, agar bisa mengajak Mar berobat ke dokter, setelah aksi bungkamnya.

"Kita makan dulu yuk, Mar. Mas lapar," ucapku pada istri, sambil melambatkan laju sepeda motorku.

"Kita langsung ke rumah Mama aja. Kasian anak-anak," jawabnya singkat, dengan nada yang kurang nyaman.

"Ayolah sayang. Mereka berada di tempat yang nyaman bersama Mama. Kita nikmati waktu berdua ini ya. Sambil kita bicara tentang rencana untuk piknik."

Aku berusaha meyakinkan Mar, agar mau sejenak menghabiskan waktu bersama tanpa anak-anak.

"Sayang duitnya Mas. Mending kita tabung aja. Pulang aja ya."

"Makan!" jawabku lantang, dan langsung berhenti di depan sebuah resto yang tulisannya seperti huruf Jepang. Sepertinya tempatnya cukup nyaman dan romantis, untuk sekedar ngobrol berdua dengan Mar.

Setelah aku parkir sepeda motor, tanpa mengajak Mar bicara lagi, langsung menggandeng Mar, masuk ke dalam resto. Dan alhamdulillah, Mar menurut saja, kugandeng lengannya masuk sebuah ruangan di lantai dua, persis pojok resto, dengan pemandangan bawah yang cukup bagus.

Seorang pelayan, dengan pakaian seperti orang Jepang, menghampiriku. Kemudian dia menyodorkan sebuah katalog menu makanan dan minuman resto.

"Selamat malam Pak. Mari saya bantu list untuk pesanannya," ucapnya ramah, dengan badan sedikit membungkuk.

"Saya pesan menu andalan resto ini. Pokoknya yang enak."

"Ok. Minumannya, Pak?"

"Minuman yang paling seger, 2 ya!"

"Baik Pak. Ditunggu ya."

...

Istriku hanya diam, sambil menunduk. Tak ada keceriaan sama sekali di wajahnya, walau aku sudah berusaha berubah, untuk membahagiakannya. Dia hanya sesekali menatapku, kemudian memalingkan wajahnya, memandang lepas keluar jendela.

"Maafkan, Mas ya Mar."

Aku raih jemarinya, meremasnya, kemudian mencium telapak tangannya lembut.

"Besok, yang belanja bulanan kamu ya. Mas ijin kan kamu ke Indomaret sendiri. Kalau mau beli lipstik atau bedak, juga boleh kok. Gapapa, kalau bosen di rumah, main aja ke rumah bu Rt, Ya."

Mar masih diam, tak menjawab. Pandangannya semakin jauh, menatap keluar jendela.

"Nanti kita piknik, cari patung singa yang mulutnya keluar air mancurnya ya, Mar.”

Mar, tetap membisu. Tidak merespon sama sekali semua ucapanku. Ya Allah, aku sedih sekali melihatnya. Istriku benar-benar sakit hati terhadap semua perlakuan burukku. Aku mulai kehabisan kata-kata. Ingin rasanya aku menangis dan memohon padanya, agar memaafkanku. Tapi aku malu, karena sedang berada di tempat umum.

Akhirnya, kami larut dalam heningnya suasana. Saling diam, kualihkan pandanganku, menatap layar ponselku. Memandangi gambar istri dan kedua balitaku.

Ah, betapa aku sangat mencintai mereka semua. Tapi aku telah salah dalam bersikap selama ini. Air mataku hampir saja tumpah.

...

Makanan pesanan kami pun datang. Pelayan menghidangkan semua dengan cekatan, dan ramah. Dalam sekejap menu sudah terhidang di atas meja.

...

Aku mematung, tak tau harus bagaimana, menatap menu yang ada di depanku. Bingung, dan marah bercampur menjadi satu.

"Mar, kita pulang aja yuk. Makan di rumah. Ini penghinaan bagi kita. Mereka pikir, kita ini kucing apa! Pesan makanan enak, malah dikasih ikan mentah gini! Kurang ajar bener! Ayok kita pulang aja!"

Aku sangat geram dibuatnya. Istriku masih tetap bungkam, tanpa berkomentar sama sekali tentang makanan di depannya.

"Pelayan! Sini!" aku memanggil pelayan, dan bersiap untuk menumpahkan emosiku.

"Kamu lihat saya! Lihat baik-baik! Tatap wajah saya, dan jangan berkedip! Saya memang berkumis! Tapi saya bukan kucing, yang makan ikan mentah itu! Apa kalian pikir, aku tak sanggup untuk membayar ongkos masak ikan itu hah! Dibakar kek, dipenyet kek! Goreng kek! Digeprek kek! Saya bayar!" ucapku dengan emosi tingkat tinggi pada pelayan di depanku.

"Apa tampangku, tampang muka susah?" sambungku lagi, meluapkan emosiku.

"Maaf Pak, maaf ..., tadi Bapak bilang, pesan makanan andalan resto kami. Ya ini salah satu menu favorit pengunjung di sini, Pak. Sashimi!" jawab pelayan dengan hati-hati.

"Sashimi ini adalah makanan Jepang yang mungkin paling segar dan mentah, isinya adalah potongan-potongan daging ikan dan telur ikan yang masih mentah dan biasanya disantap oleh Orang Jepang dengan kuah Soyu."

Apa pun penjelasan dari pelayan, aku tak tertarik sama sekali untuk menyantapnya. Aku juga sudah terlanjur emosi di buatnya.

"Berapa tagihannya? Saya bayar. Ini semua buat kamu. Saya enggak doyan!"

Dia langsung menyodorkan bill tagihannya.

"Astagaaaaaa ...."


Aku tak berani melanjutkan bicara lagi, takut istriku menganggap aku pelit.

Dengan sangat terpaksa, aku mengeluarkan tiga lembaran merah dari dompet, membayar tagihan makanan yang tak kusentuh sama sekali.

...

Dengan muka ditekuk, aku menggandeng istri keluar resto. Samar-samar, aku mendengar para pelayanan tertawa cekikikan sambil memandang ke arah kami.

"Ya gitu tu tu tuuuu, akibat kurang piknik doi! Hihihi ...."

Aku mendengarnya sangat jelas, mereka membicarakanku. Andai saja aku sendirian tak bersama istri, sudah aku ajak berantem mereka semua!


Gambar di ambil dari google pic
Diubah oleh id4s4id4h 15-01-2020 02:22
anasabilaAvatar border
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.7K
23
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan