- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Di Balik Surat ‘Keramat’ Skenario Penjatuhan Gus Dur yang Diloakkan


TS
pasti2periode
Di Balik Surat ‘Keramat’ Skenario Penjatuhan Gus Dur yang Diloakkan
Quote:
Dari penemuan surat keramat yang berisi skenario penjatuhan Gus Dur yang hendak diloakkan yang ditemukan oleh jurnalis Virdika Rizky Utama, hingga terbitnya buku Menjerat Gus Dur.
Penemuan dokumen penjatuhan Gus Dur pada Oktober 2017 sungguh sebuah ketidaksengajaan dan keberuntungan. Kala itu, saya sebagai calon reporter di Majalah Berita Mingguan Gatra ditugaskan untuk meliput satu tahun perkembangan renovasi di DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat.
Setelah melakukan doorstop sebagai mana biasanya reporter, saya melihat tumpukan dokumen lama sedang dikeluarkan dan dikumpulkan untuk dibuang. Berawal dari iseng, saya menanyakan apakah ini dapat dilihat dan dibawa pulang. “Boleh, ini mau dikiloin,” kata salah seorang petugas.
Setelah menemukan dan membawa pulang dokumen tersebut, saya berdiskusi dengan kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika. Di sana saya membahas tentang sejarah pemerintahan Gus Dur dan menentukan sikap apakah temuan ini akan ditindaklanjuti atau tidak. Saya menyanggupi untuk melanjutkan temuan ini dengan riset sendiri dan tanpa bantuan pendanaan siapa pun—kecuali gaji saya sebagai reporter.
Sepanjang 2018, saya melakukan riset mulai dari membeli dan membaca buku terkait pemerintahan Gus Dur. Lalu, mencari dan menggandakan koran-koran atau majalah sezaman di perpustakaan nasional.
Baru di awal 2019, saya melakukan wawancara dan penulisan. Ada dua narsumber yang bersedia untuk memberikan keterangan tapi menolak untuk diungkap identitasnya. Riset dan penulisan yang saya lakukan menggabungkan metodologi sejarah dan jurnalistik.
Saya tahu seluruh narasumber yang saya temui—terutama oposisi Gus Dur—akan membantahnya. Saya tetap masukkan bantahan mereka di dalam buku dan melakukan komparasi dengan fakta sejarah atau kejadian yang ada. Hasilnya, sebagian besar cocok.
Pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan transisi dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Oleh sebab itu, pemerintahan ini menjadi sangat penting untuk menentukan arah politik Indonesia.
Gus Dur mendorong banyak kemajuan dalam mendemokratisasi masayarakat, sebut saja penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, membolehkan perayaan imlek, ingin menghapus TAP MPRS No. XXV/ 1965, dan juga menghukum kekuatan rezim lama yang sarat akan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Gus Dur sangat berani. Ia mendorong hal-hal itu tanpa mempertimbangkan kalkulasi kekuatan politiknya.Diawali oleh pemecatan Jusuf Kalla (Golkar) dan Laksamana Sukardi (PDI-P) dari kabinetnya, Gus Dur mulai kehilangan kawan koalisinya.

Melalui serangkaian maneuver para koboi senayan—istilah politikus baru yang mengkritik Gus Dur— seperti Priyo Budi Santoso, Ade Komarudin, Alvin Lie, dan Arifin Panigoro, kredibilitas dan legitimasi Gus Dur mulai dilemahkan.
Isu yang paling kuat dan dijadikan alat oleh para politikus adalah tuduhan kasus suap Bruneigate dan Buloggate. Meski Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa Gus Dur terbukti tidak bersalah, parlemen saat itu terus mencecar Gus Dur dengan mengeluarkan Memorandum I dan Memorandum II.
Bukannya takut, Gus Dur malah semakin tertantang. Gus Dur ingin membalas dengan mengadili Soeharto, keluarganya, dan kroni-kroninya. Ini semakin membuat marah parlemen yang meskipun terpilih saat reformasi, tetapi isinya mayoritas adalah orang-orang lama dari rezim Soeharto.
Tak dilemahkan oleh parlemen, Gus Dur juga dilemahkan oleh kekuatan ekstra-parlementer yaitu mahasiswa—terutama koneksi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI, diakui oleh M. Fakhruddin, Ketua PB HMI saat itu, sebagai motor. Ia terlibat serangkaian rumusan aksi bersama Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yaitu Fuad Bawazier.

Tak cukup sampai disitu, Gus Dur juga mendapatkan perlawanan di militer. Gus Dur ingin melaksanakan amanat reformasi dengan menghapus dwi fungsi ABRI dan menghapus komando teritorial. Saat itu, Gus Dur hanya didukung oleh kelompok Agus Wirahadikusumah. Akan tetapi, resistensi terhadapnya terlalu kuat. Kelompok Wiranto cs tak mau hal itu terjadi.
Bahkan, bukti paling nyata bahwa tentara tak mendukung Gus Dur adalah saat malam pembacaan dekrit presiden 22 Juli 2001. Saat itu, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Ryamizard Ryacudu mengadakan apel dan mengarahkan tank ke istana.
Gus Dur sejatinya tahu bahwa dia akan kalah. Ia tak menyerah, tetapi melakukan perlawanan dengan menerbitkan dekrit presiden 23 Juli 2001. Alhasil, di parlemen, dekrit itu sudah ditunggu dan dilawan dengan surat putusan MA bahwa dekrit itu inkonstitusional.
Gus Dur memang kalah di dalam politik, tetapi capaiannya dalam mendemokratisasi masyarakat tak akan bisa ditandingi oleh penerusnya. Selain itu, perlawanannya melawan oligarki, seolah ingin membuktikan bahwa politik tanpa transaksi bisa dijalankan di Indonesia.
Penemuan dokumen penjatuhan Gus Dur pada Oktober 2017 sungguh sebuah ketidaksengajaan dan keberuntungan. Kala itu, saya sebagai calon reporter di Majalah Berita Mingguan Gatra ditugaskan untuk meliput satu tahun perkembangan renovasi di DPP Golkar, Slipi, Jakarta Barat.
Setelah melakukan doorstop sebagai mana biasanya reporter, saya melihat tumpukan dokumen lama sedang dikeluarkan dan dikumpulkan untuk dibuang. Berawal dari iseng, saya menanyakan apakah ini dapat dilihat dan dibawa pulang. “Boleh, ini mau dikiloin,” kata salah seorang petugas.
Setelah menemukan dan membawa pulang dokumen tersebut, saya berdiskusi dengan kawan-kawan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Didaktika. Di sana saya membahas tentang sejarah pemerintahan Gus Dur dan menentukan sikap apakah temuan ini akan ditindaklanjuti atau tidak. Saya menyanggupi untuk melanjutkan temuan ini dengan riset sendiri dan tanpa bantuan pendanaan siapa pun—kecuali gaji saya sebagai reporter.
Sepanjang 2018, saya melakukan riset mulai dari membeli dan membaca buku terkait pemerintahan Gus Dur. Lalu, mencari dan menggandakan koran-koran atau majalah sezaman di perpustakaan nasional.
Baru di awal 2019, saya melakukan wawancara dan penulisan. Ada dua narsumber yang bersedia untuk memberikan keterangan tapi menolak untuk diungkap identitasnya. Riset dan penulisan yang saya lakukan menggabungkan metodologi sejarah dan jurnalistik.
Saya tahu seluruh narasumber yang saya temui—terutama oposisi Gus Dur—akan membantahnya. Saya tetap masukkan bantahan mereka di dalam buku dan melakukan komparasi dengan fakta sejarah atau kejadian yang ada. Hasilnya, sebagian besar cocok.
Pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan transisi dari rezim otoriter ke rezim demokratis. Oleh sebab itu, pemerintahan ini menjadi sangat penting untuk menentukan arah politik Indonesia.
Gus Dur mendorong banyak kemajuan dalam mendemokratisasi masayarakat, sebut saja penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, membolehkan perayaan imlek, ingin menghapus TAP MPRS No. XXV/ 1965, dan juga menghukum kekuatan rezim lama yang sarat akan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Gus Dur sangat berani. Ia mendorong hal-hal itu tanpa mempertimbangkan kalkulasi kekuatan politiknya.Diawali oleh pemecatan Jusuf Kalla (Golkar) dan Laksamana Sukardi (PDI-P) dari kabinetnya, Gus Dur mulai kehilangan kawan koalisinya.

Melalui serangkaian maneuver para koboi senayan—istilah politikus baru yang mengkritik Gus Dur— seperti Priyo Budi Santoso, Ade Komarudin, Alvin Lie, dan Arifin Panigoro, kredibilitas dan legitimasi Gus Dur mulai dilemahkan.
Isu yang paling kuat dan dijadikan alat oleh para politikus adalah tuduhan kasus suap Bruneigate dan Buloggate. Meski Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa Gus Dur terbukti tidak bersalah, parlemen saat itu terus mencecar Gus Dur dengan mengeluarkan Memorandum I dan Memorandum II.
Bukannya takut, Gus Dur malah semakin tertantang. Gus Dur ingin membalas dengan mengadili Soeharto, keluarganya, dan kroni-kroninya. Ini semakin membuat marah parlemen yang meskipun terpilih saat reformasi, tetapi isinya mayoritas adalah orang-orang lama dari rezim Soeharto.
Tak dilemahkan oleh parlemen, Gus Dur juga dilemahkan oleh kekuatan ekstra-parlementer yaitu mahasiswa—terutama koneksi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI, diakui oleh M. Fakhruddin, Ketua PB HMI saat itu, sebagai motor. Ia terlibat serangkaian rumusan aksi bersama Ketua Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) yaitu Fuad Bawazier.

Tak cukup sampai disitu, Gus Dur juga mendapatkan perlawanan di militer. Gus Dur ingin melaksanakan amanat reformasi dengan menghapus dwi fungsi ABRI dan menghapus komando teritorial. Saat itu, Gus Dur hanya didukung oleh kelompok Agus Wirahadikusumah. Akan tetapi, resistensi terhadapnya terlalu kuat. Kelompok Wiranto cs tak mau hal itu terjadi.
Bahkan, bukti paling nyata bahwa tentara tak mendukung Gus Dur adalah saat malam pembacaan dekrit presiden 22 Juli 2001. Saat itu, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Ryamizard Ryacudu mengadakan apel dan mengarahkan tank ke istana.
Gus Dur sejatinya tahu bahwa dia akan kalah. Ia tak menyerah, tetapi melakukan perlawanan dengan menerbitkan dekrit presiden 23 Juli 2001. Alhasil, di parlemen, dekrit itu sudah ditunggu dan dilawan dengan surat putusan MA bahwa dekrit itu inkonstitusional.
Gus Dur memang kalah di dalam politik, tetapi capaiannya dalam mendemokratisasi masyarakat tak akan bisa ditandingi oleh penerusnya. Selain itu, perlawanannya melawan oligarki, seolah ingin membuktikan bahwa politik tanpa transaksi bisa dijalankan di Indonesia.

SUMBER

gusdur saja tolak pasal penistaan agama karena sadar itu adalah pasal diskriminasi
masa elu mendukung diskriminasi?







4iinch dan 10 lainnya memberi reputasi
11
3.5K
Kutip
27
Balasan


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan