- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
The Real Monster (Part 1)


TS
RiDama
The Real Monster (Part 1)
Tidak peduli darah yang mengucur di telapak kakinya, bocah itu terus berlari menembus kegelapan. Sesekali, tubuh kurusnya tersuruk-suruk setelah menghantam akar pepohonan yang menyembul keluar.
"Ibu," gumamnya dilingkupi gemetar. Tidak kuat menahan letih, terpaksa dia bersandar di batang pohon besar lalu menangis di sana.
Mulut mungilnya terus merapal doa, berharap semoga Tuhan menyelamatkannya. Namun, bunyi kepakan sayap itu berhasil mengikis segala harapan yang dibangun. Hanya keputusasaan tiada berperi yang tinggal.
Kemudian, kepakan sayap tadi berhenti. sang bocah mengigit bibir kuat-kuat, sampai terkencing-kencing tatkala berhadapan dengan sosok besar yang tengah menyeringai padanya.
*****
Bintik-bintik merah, berair dan sebesar ujung kelingking yang menghiasi sekujur badannya benar-benar membuat Otis tidak berdaya selama nyaris tiga minggu. Sungguh menyedihkan, bahkan Brian--temannya sendiri tak kunjung menjenguk. Barangkali, bocah berkepala plontos itu sedang asik menikmati liburan musim panas bersama yang lainnya.
Bocah berumur sembilan tahun itu lantas mengembuskan napas. "Menyebalkan," ujarnya bermonolog.
Tak lama kemudian, pintu terbuka, sesosok gadis berkucir kuda masuk. Kemudian, duduk di samping ranjang Otis. Namanya, Dean, kakak Otis.
"Saatnya minum obat, Jagoan," titah Dean menyodorkan sebutir pil dan segelas air.
Otis menerimanya dengan setengah hati. "Aku benci obat dan dirimu."
Dean hanya terkekeh mendengarnya. Gadis berlesung pipi sebelah kiri itu sudah biasa dengan mulut tajam sang adik. "Aku yakin kau pasti sembuh."
Otis harus sehat atau festival musim panas yang cuma diadakan lima tahun sekali itu hanya jadi khayalan belaka. Demi Tuhan! Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Terlebih besok akan dibuka pasar malam.
"Aku harus pergi. Bagaimanapun caranya." Otis menelan obat itu secepat yang dibisa. Dahinya mengerut tatkala benda putih yang padat itu tersangkut di tenggorokkan.
Dean yang menyaksikan, tak bisa menyembunyikan tawa.
*****
Lampu lampion berbentuk beraneka bunga, berjejer rapi di sepanjang jalan menuju jantung kota Wilder, cahayanya menyebar menerangi alun-alun, stand-stand makanan di sekitar dan pepohonan pinus yang menjulang. Suasana kota malam ini benar-benar indah dan ramai. Antrean di wahana sudah serupa kereta api!
Di balik masker yang menutupi hidung sampai dagunya, Otis tersenyum girang. Syal yang melingkari lehernya pun berguncang-guncang saat bocah tersebut melompat bahagia.
"Keren sekali!" Dipandanginya komedi putar dengan memuja. Dean yang berdiri di belakang, menggeleng.
"Thanks, Kak!" Otis berbalik, lalu mendekap kakaknya.
Dean membalas pelukan Otis dengan hati-hati. "Pelan-pelan, Otis." Dia tidak ingin cacar adiknya ada yang pecah.
Bocah yang hanya setinggi dadanya itu menyengir, seolah lupa bahwa dia masih sakit. "Sorry, habisnya aku senang sekali. Setelah sekian lama terjebak di ranjang dan buku-buku tebal itu--" Kalimat menggantung di mulut Otis ketika melihat kakaknya mengeluarkan sesuatu dari sakunya.
Sebuah kalung heksagonal berwarna rubi.
"Selamat ulang tahun," tutur Dean mengulum senyum.
Otis mengerjap tiga kali, kepalanya dilanda kebingungan. Beberapa detik berikutnya, barulah dia menyadari sesuatu. Sontak, dia menepuk jidat.
"Terima kasih." Otis memandangi benda yang berkilau itu dengan takjub. "Ini indah sekali, baunya juga wangi."
"Tahu tidak, ini adalah warisan leluhur kita, lho. Mendiang Ibu dan Ayah menyuruh kakak untuk memberikannya padamu ketika kamu sepuluh tahun." Dean menjelaskan diiringi air muka sendu. "Katanya, kalung ini dapat menangkal roh jahat."
Otis menunduk, jemarinya mengusap-usap bandul kalung. Kemudian, meminta kakaknya memasangkan.
"Selesai!" ucap Dean. Ditepuknya pundak Otis. "Ke sana, yuk!"
Otis mengangguk, lalu tanpa sengaja mata safirnya melihat sosok familiar tak jauh dari tempatnya berdiri.
"Brian!" teriaknya.
Sayang, Brian tidak mendengar dan malah lenyap di tengah kerumunan orang.
"Kak, aku nyusul Brian dulu, ya!" Otis segera meninggalkan Dean.
Belum sempat Dean menyahut, adiknya telah menjauh. "Jangan sampai tersesat!" kata Dean.
****
Mencari seseorang di saat suasana ramai begini memang masalah besar. Apalagi dengan tubuh kecil dan sakit. Otis sampai kewalahan menyalip orang-orang agar cacarnya tidak pecah dan menimbulkan sensasi nyeri luar biasa. Setelah berkeliling-keliling, akhirnya bocah tersebut melihat Brian berlari ke arah stand paling ujung.
Standsulap!
"Brian!" pekik Otis yang masih tak digubris.
Kesal bercampur lelah, Otis pun mengikutinya. Dan ternyata selama perjalanan, dia melihat banyak anak-anak juga pergi ke sana. Tapi, mereka masuk ke hutan. Sejenak, Otis berpaling ke belakang. Dia menimbang-nimbang apakah harus pergi atau tidak. Namun, rasa penasaran yang merajai membuatnya mantap melangkah maju. Hingga tidak sadar bahwa tubuh mungil nan kurus itu ditelan bayangan pepohonan pinus yang menjulang.
Setibanya di sana, Otis terpaku membaca sederet kalimat di stand tersebut.
Mr. Mulgrafh Magic's Show!
"Mungkin Kakak tidak akan marah jika aku menonton sebentar." Otis menelan ludah, lalu melangkah masuk.
.
Bersambung.
0
486
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan