- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Nasib Perajin Terompet di Mojowarno; Bahan Baku Naik, Harga Jual Tetap


TS
db84x3
Nasib Perajin Terompet di Mojowarno; Bahan Baku Naik, Harga Jual Tetap
26 DESEMBER 2019, 09: 56: 24 WIB | EDITOR : MARDIANSYAH TRIRAHARJO

Deretan terompet buatan perajin di Desa Mojowarno yang sudah siap jual. (Azmy Endiyana/Jawa Pos Radar Jombang)
JOMBANG - Jelang pergantian tahun baru, perajin terompet di Desa/Kecamatan Mojowarno mulai kebanjiran pesanan. Meski begitu, jumlah produksi terompet dikurangi seiring harga bahan baku yang cenderung naik.
Supriadi, adalah salah satu perajin terompet yang sudah menjalani usaha ini selama 30 tahun. Di rumahnya yang sederhana, setiap hari Supriadi membuat terompet. Terompet buatannya cukup dikenal luas dan diburu para pedagang lantaran kualitas terjaga.
Hanya saja, permintaan terompet dari tahun ke tahun cenderung menurun. Dua tahun yang lalu dirinya bisa membuat 3.000 terompet setiap jelang pergantian tahun baru. Kali ini, hanya membuat 1.500 terompet saja. ”Memang permintaan lagi sepi,” ujar pria yang kerap disapa Pak Cong ini.
Dibantu dengan anak istrinya, dia membuat terompet setiap hari. Bahan baku lembaran kertas digulung sedemikian rupa dan dibentuk menyerupai naga, dengan tambahan lem kayu agar bisa merekat kuat. ”Dalam sehari bisa membuat sekitar 100 terompet,” ungkapnya.
Namun setelah permintaan tidak begitu banyak, maka terompet yang dihasilkan tak sampai 100 biji. Ditanya penyebab order yang sepi, dia mengaku tidak tahu pasti. Dalam analisanya saat ini perkembangan sektor ekonomi masyarakat sedang melemah seiring dengan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak. Sehingga, para pembeli lebih mengutamakan kebutuhan primer dan enggan membeli terompet.
Lebih dari itu, serbuan produk pabrik berupa terompet dari bahan plastik juga memengaruhi produksinya. ”Apa-apa sekarang mahal, jadi sedikit yang membeli terompet,” tambahnya. Menurut Cong, bahan baku terompet dari mulai kertas dan lem juga mengalami kenaikan cukup tinggi. Meski begitu, dia tidak bila harus menaikkan harga terompet buatannya.
”Kalau bahan baku ya naik, seperti lem, dulu saja saya membeli dengan harga Rp 11 ribu, sekarang menjadi Rp 14.500,” terang dia. Meski bahan baku naik, harga jual yang diberlakukan tetap. Padahal, dia tidak mendapat untung banyak. ”Yang penting para pedagang yang sudah punya pelanggan, bisa tetap berjualan,” tutur bapak tiga anak ini.
Mengenai patokan harga, Supriadi menjual mulai dari harga Rp 3.000 untuk terompet bentuk biasa dan Rp 6.000 untuk terompet berbentuk naga. “Kalau harga tetap sama dengan tahun sebelumnya. Tidak naik karena harus bersaing dengan terompet buatan pabrik. Yang penting tetap dapat untung, meski sedikit,” paparnya.
Pembuatan terompet, kata Supriadi sebetulnya tidak begitu rumit, meski dimodel dengan berbagai bentuk. Namun yang paling rumit adalah menghasilkan suara dari terompet, “Apalagi kalau berbentuk naga, memasang pita penghasil suara sangat sulit karena membentuk lekukan, karena tebal dari bambu harus ngepasin bunyi,” jelas dia.
Supardi sendiri tidak perlu repot-repot menjual dari rumah ke rumah karena pelanggannya banyak dari unsur tengkulak. Para tengkulak itulah yang langsung datang ke rumahnya untuk mengambil pesanan. “Biasanya diambil pedagang dari wilayah Jombang sendiri seperti Gudo, Blimbing, Cukir, Bareng dan Mojoagung,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
Namun setelah permintaan tidak begitu banyak, maka terompet yang dihasilkan tak sampai 100 biji. Ditanya penyebab order yang sepi, dia mengaku tidak tahu pasti. Dalam analisanya saat ini perkembangan sektor ekonomi masyarakat sedang melemah seiring dengan harga kebutuhan pokok yang terus melonjak. Sehingga, para pembeli lebih mengutamakan kebutuhan primer dan enggan membeli terompet.
Lebih dari itu, serbuan produk pabrik berupa terompet dari bahan plastik juga memengaruhi produksinya. ”Apa-apa sekarang mahal, jadi sedikit yang membeli terompet,” tambahnya. Menurut Cong, bahan baku terompet dari mulai kertas dan lem juga mengalami kenaikan cukup tinggi. Meski begitu, dia tidak bila harus menaikkan harga terompet buatannya.
”Kalau bahan baku ya naik, seperti lem, dulu saja saya membeli dengan harga Rp 11 ribu, sekarang menjadi Rp 14.500,” terang dia. Meski bahan baku naik, harga jual yang diberlakukan tetap. Padahal, dia tidak mendapat untung banyak. ”Yang penting para pedagang yang sudah punya pelanggan, bisa tetap berjualan,” tutur bapak tiga anak ini.
Mengenai patokan harga, Supriadi menjual mulai dari harga Rp 3.000 untuk terompet bentuk biasa dan Rp 6.000 untuk terompet berbentuk naga. “Kalau harga tetap sama dengan tahun sebelumnya. Tidak naik karena harus bersaing dengan terompet buatan pabrik. Yang penting tetap dapat untung, meski sedikit,” paparnya.
Pembuatan terompet, kata Supriadi sebetulnya tidak begitu rumit, meski dimodel dengan berbagai bentuk. Namun yang paling rumit adalah menghasilkan suara dari terompet, “Apalagi kalau berbentuk naga, memasang pita penghasil suara sangat sulit karena membentuk lekukan, karena tebal dari bambu harus ngepasin bunyi,” jelas dia.
Supardi sendiri tidak perlu repot-repot menjual dari rumah ke rumah karena pelanggannya banyak dari unsur tengkulak. Para tengkulak itulah yang langsung datang ke rumahnya untuk mengambil pesanan. “Biasanya diambil pedagang dari wilayah Jombang sendiri seperti Gudo, Blimbing, Cukir, Bareng dan Mojoagung,” pungkasnya. (*)
(jo/yan/mar/JPR)
https://radarjombang.jawapos.com/rea...rga-jual-tetap

Maklum yang janji membawa Indonesia meroket saja sudah lupa

Diubah oleh db84x3 26-12-2019 17:08






4iinch dan 6 lainnya memberi reputasi
5
821
23


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan