- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Intrik Keluarga di Tanah Sengketa Sunda Wiwitan
TS
dewaagni
Intrik Keluarga di Tanah Sengketa Sunda Wiwitan
Intrik Keluarga di Tanah Sengketa Sunda Wiwitan
Bimo Wiwoho, CNN Indonesia | Senin, 28/08/2017 07:48 WIB
Bagikan :
1. Intrik Keluarga di Tanah Sengketa Sunda Wiwitan 2. Tanah yang Digugat 3. Mengadang Eksekusi
Sengketa tanah adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan merupakan buntut dari intrik panjang perebutan klaim atas kepemilikan lahan warisan leluhur. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Kuningan, Jawa Barat, CNN Indonesia -- Malam itu orang-orang berpakaian serba hitam berkerumun di Taman Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (24/8). Perbincangan mereka tampak serius.
Sebagian dari masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur baru bisa meluangkan waktu bercengkerama setelah seharian terjun aksi mengadang proses eksekusi lahan tanah adat.
Paseban Tri Panca Tunggal adalah simbol komunitas adat penganut Sunda Wiwitan di Cigugur. Bangunan itu merupakan cagar budaya nasional yang ditempati oleh Pangeran Jatikusuma, Ketua komunitas adat Sunda Wiwitan di Cigugur.
Di sela keriuhan kecil malam itu, putri dari Pangeran Jatikusuma, Dewi Kanti Setianingsih keluar dari salah satu ruangan Paseban. Dia menyambut CNNIndonesia.com dengan suara parau. “Maaf, suara saya habis gara-gara aksi tadi siang,” tuturnya.
Malam itu Dewi mengisahkan kembali asal usul tanah keluarga yang kini menjadi sengketa.
Pangeran Madrais, Pencetus Sunda Wiwitan
Dewi menceritakan, saat leluhurnya yakni Pangeran Madrais meninggal dunia, tampuk pimpinan komunitas adat Sunda Wiwitan diberikan kepada anaknya yang bernama Pangeran Tedjabuana Alibassa.
Pangeran Tedjabuana memiliki istri bernama Ratu Nyi Mas Arinta yang memberikannya tiga putri. Putri ketiga bernama Ratu Siti Djenar Sriningpuri Alibassa yang nantinya memiliki anak bernama Jaka Rumantaka.
Setelah istrinya meninggal dunia, Pangeran Tedjabuana menikah lagi dengan Ratu Saodah. Dari pernikahannya yang kedua, Pangeran Tedjabuana memiliki tujuh anak, di antaranya empat putra dan tiga putri.
“Anak kedua mereka adalah Pangeran Jatikusuma Alibassa atau ayah saya yang saat ini masih ada,” kata Dewi.
[table][tr][td]
Aksi warga menadang eksekusi tanah di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, 24 Agustus 2017. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
[/td]
[/tr]
[/table]
Pada saat menjabat sebagai ketua komunitas Sunda Wiwitan, Pangeran Tedjabuana tidak selalu berada di Cigugur. Dia tidak menempati Paseban Tri Panca Tunggal yang sejak dulu menjadi pusat kegiatan Sunda Wiwitan.
Pangeran Tedjabuana tinggal di Cirebon karena leluhurnya, yakni Pangeran Madrais merupakan keturunan Keraton Gebang Cirebon.
Paseban yang dulunya dijadikan pusat kegiatan Sunda Wiwitan, ditinggali oleh anak dari istri pertamanya, Ratu Siti Djenar. Jaka Rumantaka juga tinggal di Paseban bersama sang ibu dan bapak.
[table][tr][td]Lihat juga:
Sunda Wiwitan Tersingkir dari Tanah Sendiri[/td]
[/tr]
[/table]
Pemberian Izin Penggunaan Tanah
Pangeran Tedjabuana memerintahkan anak laki-laki dari istri keduanya yang bernama Pangeran Jatikusuma menempati Paseban di Cigugur. Pangeran Jatikusuma diminta memimpin warga Sunda Wiwitan yang berada di Cigugur.
Dengan demikian, ada dua keluarga yang tinggal di Paseban, yakni keluarga Siti Djenar dan keluarga Pangeran Jatikusuma.
Pangeran Jatikusuma ingin dibantu oleh seorang budayawan bernama Engkus Kusnadi (alm) selama menjabat sebagai pimpinan adat di Cigugur.
“Waktu itu, Pangeran Jatikusuma menilai Pak Kusnadi dapat membantunya mengembangkan budaya Sunda Wiwitan,” tutur Dewi.
Pangeran Tedjabuana dan Pangeran Jatikusuma lalu memberikan izin kepada Kusnadi untuk mendirikan rumah di tanah milik Pangeran Tedjabuana. Izin itu diberikan pada tahun 1973. Tak lama, Kusnadi lalu membangun rumah di sana.
Istri mendiang Engkus Kusnadi, Kristina Mimin Saminah mengatakan, meski diberi izin, bukan berarti suaminya diberi hak kepemilikan atas tanah tersebut. Tanah yang ditempatinya tetap milik masyarakat adat atas nama Pangeran Tedjabuana.
Memperkuat kesaksian Dewi, Mimin juga mengatakan bahwa suaminya boleh menempati tanah 224 meter persegi tersebut dengan catatan.
“Suami dan saya disuruh menemani Rama Jati (Pangeran Jatikusuma), dengan syarat harus mengembangkan seni budaya dan kesenian,” tutur Mimin saat diwawancara CNNIndonesia.com di rumah yang berdiri di atas tanah milik Pangeran Tedjabuana, Jumat malam (26/8).
[table][tr][td]Lihat juga:
Rantai Manusia Perempuan Sunda Wiwitan dan Polwan Berhadapan[/td]
[/tr]
[/table]
Mimin melanjutkan, saat rumahnya selesai dibangun, keluarga masyarakat adat Sunda Wiwitan mengadakan syukuran. Syukuran tersebut dihadiri oleh hampir semua keluarga adat. Termasuk Pangeran Jatikusuma dan juga Ratu Siti Djenar.
Setelah itu, keluarga Mimin dan Kusnadi menempati rumah tersebut hingga kini.
Sengketa tanah adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan merupakan buntut dari intrik panjang perebutan klaim atas kepemilikan lahan warisan leluhur. (CNN Indonesia/ Bimo Wiwoho)
Tanah yang Digugat
Pangeran Tedjabuana meninggal dunia pada tahun 1978 karena sakit keras. Tampuk pimpinan adat lalu dipegang oleh Pangeran Jatikusuma.
Kemudian pada tahun 2002, Ratu Siti Djenar meninggal dunia. Sebelum Ratu Siti Djenar meninggal dunia, sempat tersiar kabar bahwa putranya, yaitu Jaka Rumantaka ingin menggugat tanah yang ditempati Mimin.
Hal itu membuat Mimin kaget. Mimin lalu menanyakan informasi tersebut kepada Ratu Siti Djenar. Berdasarkan penuturan Mimin, Ratu Siti Djenar menyanggah kabar tersebut.
“Si Jaka mah tidak tahu apa-apa. Dia kan dari kecil tinggal di Sumedang,” tutur Mimin menirukan Ratu Siti Djenar.
[table][tr][td]Lihat juga:
Sunda Wiwitan dan Komunikasi Tak Seimbang di Bumi Pasundan[/td]
[/tr]
[/table]
Mimin sejak itu dilanda harap-harap cemas karena dirinya bukan keturunan Pangeran Jatikusuma mau pun Pangeran Tedjabuana selaku pemilik tanah. Kala itu, suaminya, Engkus Kusnadi pun telah meninggal dunia.
Lalu pada tahun 2008, Mimin mendapat surat dari Pengadilan Negeri Kuningan. Dalam surat tersebut, Mimin tercantum sebagai pihak tergugat. Surat tersebut bagai petir di siang bolong bagi Mimin.
Pihak penggugat sendiri, tidak lain dan tidak bukan adalah Jaka Rumantaka, anak dari Ratu Siti Djenar.
Jaka mengklaim tanah yang selama ini ditempati Mimin merupakan milik ibunya, Ratu Siti Djenar yang diberikan oleh Pangeran Tedjabuana.
Mimin mengaku heran dengan tindakan Jaka. Dia kembali menceritakan bahwa saat syukuran pembangunan rumah, Ratu Siti Djenar tidak pernah mengklaim tanah itu miliknya.
“Seharusnya, kalau itu milik Ratu (Siti Djenar) pasti bilang ke saya, jangan dibikin rumah karena itu tanah Ratu,” tutur Mimin.
[table][tr][td]
Warga saat berdemo menolak eksekusi lahan. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
[/td]
[/tr]
[/table]
Versi Jaka Rumantaka
Jaka Rumantaka mengatakan bahwa tanah yang digugatnya merupakan tanah yang diwariskan kepada ibunya, Ratu Siti Djenar.
Dia meyakini hal itu karena tanah-tanah di samping lahan yang menjadi objek sengketa, adalah warisan yang diberikan Pangeran Tedjabuana kepada kakak ibunya. Dia adalah Ratu Dewi Kencana Puri Alibassa.
“Tanah-tanah itu diberikan Pangeran Tedjabuana kepada Ratu Dewi. Sekarang sudah dibeli oleh orang lain,” kata Jaka saat diwawancara CNNIndonesia.com, Sabtu (26/8).
Jaka memiliki bukti surat pernyataan yang ditandatangani oleh mantan Sekretaris Desa bernama Murkanda. Dalam surat tersebut, Murkanda menyatakan bahwa dirinya menemui Pangeran Tedjabuana pada tangal 17 Mei 1970 di Cirebon. Kala itu, Murkanda menjabat sebagai Kepala Kampung Wage Desa Cigugur.
[table][tr][td]Lihat juga:
Gereja Minta Jokowi Selamatkan Cagar Budaya Sunda Wiwitan[/td]
[/tr]
[/table]
Murkanda mengaku mendapat pesan dari Pangeran Tedjabuana. Isi pesan tersebut yaitu bahwa Pangeran Tedjabuana memberikan tanah kepada putri-putri dari istri pertamanya.
Surat tersebut ditandatangani Murkanda dan Lurah Cigugur, Utari pada 20 November 2008.
“Saya punya buktinya. Ini,” ujar Jaka seraya menunjukkan surat yang dimaksud.
Dia mengatakan bahwa di Cigugur tidak ada yang namanya tanah milik adat. Semua tanah milik Pangeran Tedjabuana dan sebagian dari tanah tersebut telah diwariskan kepada anak-anaknya.
Termasuk tanah yang ditempati oleh Mimin Saminah. Dia mengklaim tanah tersebut merupakan tanah milik ibunya, Ratu Siti Djenar. Bukan milik warga adat atau pun Pangeran Jatikusuma.
Berbekal surat tersebut beserta berkas-berkas lainnya, Jaka mengajukan gugatan pada tahun 2009 ke Pengadilan Negeri Kuningan untuk mendapatkan kembali tanah milik ibunya.
Mengadang Eksekusi
Masyarakat adat Sunda Wiwitan saat menolak eksekusi lahan. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)
Bimo Wiwoho, CNN Indonesia | Senin, 28/08/2017 07:48 WIB
Bagikan :
1. Intrik Keluarga di Tanah Sengketa Sunda Wiwitan 2. Tanah yang Digugat 3. Mengadang Eksekusi
Sengketa tanah adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan merupakan buntut dari intrik panjang perebutan klaim atas kepemilikan lahan warisan leluhur. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)Kuningan, Jawa Barat, CNN Indonesia -- Malam itu orang-orang berpakaian serba hitam berkerumun di Taman Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Kamis (24/8). Perbincangan mereka tampak serius.
Sebagian dari masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur baru bisa meluangkan waktu bercengkerama setelah seharian terjun aksi mengadang proses eksekusi lahan tanah adat.
Paseban Tri Panca Tunggal adalah simbol komunitas adat penganut Sunda Wiwitan di Cigugur. Bangunan itu merupakan cagar budaya nasional yang ditempati oleh Pangeran Jatikusuma, Ketua komunitas adat Sunda Wiwitan di Cigugur.
Di sela keriuhan kecil malam itu, putri dari Pangeran Jatikusuma, Dewi Kanti Setianingsih keluar dari salah satu ruangan Paseban. Dia menyambut CNNIndonesia.com dengan suara parau. “Maaf, suara saya habis gara-gara aksi tadi siang,” tuturnya.
Malam itu Dewi mengisahkan kembali asal usul tanah keluarga yang kini menjadi sengketa.
Pangeran Madrais, Pencetus Sunda Wiwitan
Dewi menceritakan, saat leluhurnya yakni Pangeran Madrais meninggal dunia, tampuk pimpinan komunitas adat Sunda Wiwitan diberikan kepada anaknya yang bernama Pangeran Tedjabuana Alibassa.
Pangeran Tedjabuana memiliki istri bernama Ratu Nyi Mas Arinta yang memberikannya tiga putri. Putri ketiga bernama Ratu Siti Djenar Sriningpuri Alibassa yang nantinya memiliki anak bernama Jaka Rumantaka.
Setelah istrinya meninggal dunia, Pangeran Tedjabuana menikah lagi dengan Ratu Saodah. Dari pernikahannya yang kedua, Pangeran Tedjabuana memiliki tujuh anak, di antaranya empat putra dan tiga putri.
“Anak kedua mereka adalah Pangeran Jatikusuma Alibassa atau ayah saya yang saat ini masih ada,” kata Dewi.
[table][tr][td]
Aksi warga menadang eksekusi tanah di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, 24 Agustus 2017. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)[/td]
[/tr]
[/table]
Pada saat menjabat sebagai ketua komunitas Sunda Wiwitan, Pangeran Tedjabuana tidak selalu berada di Cigugur. Dia tidak menempati Paseban Tri Panca Tunggal yang sejak dulu menjadi pusat kegiatan Sunda Wiwitan.
Pangeran Tedjabuana tinggal di Cirebon karena leluhurnya, yakni Pangeran Madrais merupakan keturunan Keraton Gebang Cirebon.
Paseban yang dulunya dijadikan pusat kegiatan Sunda Wiwitan, ditinggali oleh anak dari istri pertamanya, Ratu Siti Djenar. Jaka Rumantaka juga tinggal di Paseban bersama sang ibu dan bapak.
[table][tr][td]Lihat juga:
Sunda Wiwitan Tersingkir dari Tanah Sendiri[/td]
[/tr]
[/table]
Pemberian Izin Penggunaan Tanah
Pangeran Tedjabuana memerintahkan anak laki-laki dari istri keduanya yang bernama Pangeran Jatikusuma menempati Paseban di Cigugur. Pangeran Jatikusuma diminta memimpin warga Sunda Wiwitan yang berada di Cigugur.
Dengan demikian, ada dua keluarga yang tinggal di Paseban, yakni keluarga Siti Djenar dan keluarga Pangeran Jatikusuma.
Pangeran Jatikusuma ingin dibantu oleh seorang budayawan bernama Engkus Kusnadi (alm) selama menjabat sebagai pimpinan adat di Cigugur.
“Waktu itu, Pangeran Jatikusuma menilai Pak Kusnadi dapat membantunya mengembangkan budaya Sunda Wiwitan,” tutur Dewi.
Pangeran Tedjabuana dan Pangeran Jatikusuma lalu memberikan izin kepada Kusnadi untuk mendirikan rumah di tanah milik Pangeran Tedjabuana. Izin itu diberikan pada tahun 1973. Tak lama, Kusnadi lalu membangun rumah di sana.
Istri mendiang Engkus Kusnadi, Kristina Mimin Saminah mengatakan, meski diberi izin, bukan berarti suaminya diberi hak kepemilikan atas tanah tersebut. Tanah yang ditempatinya tetap milik masyarakat adat atas nama Pangeran Tedjabuana.
Memperkuat kesaksian Dewi, Mimin juga mengatakan bahwa suaminya boleh menempati tanah 224 meter persegi tersebut dengan catatan.
“Suami dan saya disuruh menemani Rama Jati (Pangeran Jatikusuma), dengan syarat harus mengembangkan seni budaya dan kesenian,” tutur Mimin saat diwawancara CNNIndonesia.com di rumah yang berdiri di atas tanah milik Pangeran Tedjabuana, Jumat malam (26/8).
[table][tr][td]Lihat juga:
Rantai Manusia Perempuan Sunda Wiwitan dan Polwan Berhadapan[/td]
[/tr]
[/table]
Mimin melanjutkan, saat rumahnya selesai dibangun, keluarga masyarakat adat Sunda Wiwitan mengadakan syukuran. Syukuran tersebut dihadiri oleh hampir semua keluarga adat. Termasuk Pangeran Jatikusuma dan juga Ratu Siti Djenar.
Setelah itu, keluarga Mimin dan Kusnadi menempati rumah tersebut hingga kini.
Tanah yang Digugat
Sengketa tanah adat Sunda Wiwitan di Cigugur, Kuningan merupakan buntut dari intrik panjang perebutan klaim atas kepemilikan lahan warisan leluhur. (CNN Indonesia/ Bimo Wiwoho)Tanah yang Digugat
Pangeran Tedjabuana meninggal dunia pada tahun 1978 karena sakit keras. Tampuk pimpinan adat lalu dipegang oleh Pangeran Jatikusuma.
Kemudian pada tahun 2002, Ratu Siti Djenar meninggal dunia. Sebelum Ratu Siti Djenar meninggal dunia, sempat tersiar kabar bahwa putranya, yaitu Jaka Rumantaka ingin menggugat tanah yang ditempati Mimin.
Hal itu membuat Mimin kaget. Mimin lalu menanyakan informasi tersebut kepada Ratu Siti Djenar. Berdasarkan penuturan Mimin, Ratu Siti Djenar menyanggah kabar tersebut.
“Si Jaka mah tidak tahu apa-apa. Dia kan dari kecil tinggal di Sumedang,” tutur Mimin menirukan Ratu Siti Djenar.
[table][tr][td]Lihat juga:
Sunda Wiwitan dan Komunikasi Tak Seimbang di Bumi Pasundan[/td]
[/tr]
[/table]
Mimin sejak itu dilanda harap-harap cemas karena dirinya bukan keturunan Pangeran Jatikusuma mau pun Pangeran Tedjabuana selaku pemilik tanah. Kala itu, suaminya, Engkus Kusnadi pun telah meninggal dunia.
Lalu pada tahun 2008, Mimin mendapat surat dari Pengadilan Negeri Kuningan. Dalam surat tersebut, Mimin tercantum sebagai pihak tergugat. Surat tersebut bagai petir di siang bolong bagi Mimin.
Pihak penggugat sendiri, tidak lain dan tidak bukan adalah Jaka Rumantaka, anak dari Ratu Siti Djenar.
Jaka mengklaim tanah yang selama ini ditempati Mimin merupakan milik ibunya, Ratu Siti Djenar yang diberikan oleh Pangeran Tedjabuana.
Mimin mengaku heran dengan tindakan Jaka. Dia kembali menceritakan bahwa saat syukuran pembangunan rumah, Ratu Siti Djenar tidak pernah mengklaim tanah itu miliknya.
“Seharusnya, kalau itu milik Ratu (Siti Djenar) pasti bilang ke saya, jangan dibikin rumah karena itu tanah Ratu,” tutur Mimin.
[table][tr][td]
Warga saat berdemo menolak eksekusi lahan. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)[/td]
[/tr]
[/table]
Versi Jaka Rumantaka
Jaka Rumantaka mengatakan bahwa tanah yang digugatnya merupakan tanah yang diwariskan kepada ibunya, Ratu Siti Djenar.
Dia meyakini hal itu karena tanah-tanah di samping lahan yang menjadi objek sengketa, adalah warisan yang diberikan Pangeran Tedjabuana kepada kakak ibunya. Dia adalah Ratu Dewi Kencana Puri Alibassa.
“Tanah-tanah itu diberikan Pangeran Tedjabuana kepada Ratu Dewi. Sekarang sudah dibeli oleh orang lain,” kata Jaka saat diwawancara CNNIndonesia.com, Sabtu (26/8).
Jaka memiliki bukti surat pernyataan yang ditandatangani oleh mantan Sekretaris Desa bernama Murkanda. Dalam surat tersebut, Murkanda menyatakan bahwa dirinya menemui Pangeran Tedjabuana pada tangal 17 Mei 1970 di Cirebon. Kala itu, Murkanda menjabat sebagai Kepala Kampung Wage Desa Cigugur.
[table][tr][td]Lihat juga:
Gereja Minta Jokowi Selamatkan Cagar Budaya Sunda Wiwitan[/td]
[/tr]
[/table]
Murkanda mengaku mendapat pesan dari Pangeran Tedjabuana. Isi pesan tersebut yaitu bahwa Pangeran Tedjabuana memberikan tanah kepada putri-putri dari istri pertamanya.
Surat tersebut ditandatangani Murkanda dan Lurah Cigugur, Utari pada 20 November 2008.
“Saya punya buktinya. Ini,” ujar Jaka seraya menunjukkan surat yang dimaksud.
Dia mengatakan bahwa di Cigugur tidak ada yang namanya tanah milik adat. Semua tanah milik Pangeran Tedjabuana dan sebagian dari tanah tersebut telah diwariskan kepada anak-anaknya.
Termasuk tanah yang ditempati oleh Mimin Saminah. Dia mengklaim tanah tersebut merupakan tanah milik ibunya, Ratu Siti Djenar. Bukan milik warga adat atau pun Pangeran Jatikusuma.
Berbekal surat tersebut beserta berkas-berkas lainnya, Jaka mengajukan gugatan pada tahun 2009 ke Pengadilan Negeri Kuningan untuk mendapatkan kembali tanah milik ibunya.
Mengadang Eksekusi
Masyarakat adat Sunda Wiwitan saat menolak eksekusi lahan. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho)sebelahblog dan 2 lainnya memberi reputasi
3
620
1
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan