Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ginanisa7Avatar border
TS
ginanisa7
Hilangnya Rajutan Koneksi [Part 1]
Hilangnya Rajutan Koneksi [Part 1]

Bulan sabit mewakilkan senyumku. Bertabur bintang, menerangi langit malam, menebar pesona sang penghuni semesta. Bersama angin yang berhembus, khayalanku terdorong mengitari otak yang berpikir keras untuk segala sesuatu yang tercipta mustahil, tetapi nyatanya sangat berkemungkinan terjadi.

Seorang gadis teoritis sepertiku, membuat segala sesuatu dapat diracik sedemikian rupa dan dikaji sedalam lautan samudera, seluas Indonesia, dan sedetail benua eropa. Tentunya dengan menghubungkan hasil pemikiran para ahli dan jendela ilmu yang melegenda, buku. Rasa penasaranku tercipta ketika Aku berkhayal untuk segala sesuatu di sekitarku, sesuatu yang sangat penting, tidak hanya bagiku, tetapi untuk banyak orang yang mungkin jarang terpikirkan bagaimana sesuatu itu terjadi atau bahkan menghilang.

Ketika Aku bermain dengan khayalanku, pemikiranku, dan argumentasiku, selalu tak kusadari, Aku terpaku beberapa saat untuk itu. Spontan, Aku bersiap untuk memasuki dunia mimpi yang berjalan kurang lebih 8 jam sebelum kembali pada kenyataan. Kututup jendela kamarku, menyelimuti diri dalam hangatnya tempat tidur kecilku. Mengistirahatkan sejenak anggota tubuh yang hampir seharian penuh bekerja keras menjalankan perintah otak kritis ini.
***

Mentari pagi menerobos jendela kamarku, menampakkan sang penyinar semesta di ufuk timur. Menghantar pesan semangat untuk menjalankan aktivitas harian. Memberi tanda adanya hari yang baik untuk dijalani. Tanpa membuatku ragu untuk terbangun dari tempat tidur kecil ini.
Seperti kebanyakan orang, persiapanku untuk beraktivitas tidak berbeda jauh. Hanya saja Aku harus menuliskan daftar jurnal, mana yang harus terlebih dahulu dilakukan. Tentunya, untuk mengefektifkan waktu. Karena waktu semenit atau bahkan sedetik saja sangat berharga bagi seorang penghasil karya sepertiku. Tugas kuliah tidak menjadi penghalang untuk tetap berkarya. Di zaman milenial dengan kehidupan teknologi yang tinggi ini, apa yang tidak bisa dilakukan?

Jam tanganku, memperingatkanku untuk segera melangkahkan kaki. Membuka ponsel pintar dan memilih tempat tujuanku pada aplikasi ojek online. Untuk kehidupan seorang anak kos di kota metropolitan yang selalu dipadati kendaraan beroda empat, ojek online menjadi penolongku untuk melewati arus lalu lintas dalam mengejar waktu agar tidak terlambat. Sebagai penyelamatku dari kemacetan ibu kota, tak terbayang jika fasilitas ini tidak ada.

Sebenarnya tidak hanya untuk mendapat perjalanan yang lebih cepat, tetapi tentunya untuk mendapat harga yang lebih terjangkau untuk kantong anak kos. Terlebih jika ada promo, hehe. Aku klik tombol pesan, dan tak lama sang driver datang menjemput.

“Dengan Mbak Gabriel ya?” Tanya sang driver, santun.
“Ah iya. Tolong ya agak cepat, saya sedikit terlambat.” Tawarku dengan cepat sambil menaiki kendaraan beroda dua itu.
“Baik Mbak, ke Universitas Anak Bangsa kan?” Tambah sang driver, ramah.
“Iya, rutenya ikuti saja di peta lokasi!” Pintaku dengan agak terburu.
“Baik Mbak.” Jawabnya dengan menawarkan helm untuk Aku pakai.
Di kota sebesar ini, tak mungkin tidak pakai helm. Lagi pula, itu salah satu aturan yang harus kita taati demi melindungi diri sendiri dari risiko kecelakaan.

Hanya 20 menit, Aku sudah sampai di tempat tujuan. Menapaki jalan menuju gerbang universitas yang selalu Aku banggakan untuk berada di sini, memakai almamater fakultas, dan bertemu dengan orang-orang pintar. Yang mana mereka kebanyakan anak olimpiade yang diundang untuk masuk universitas ini. Entah bagaimana Aku bisa diterima di perguruan tinggi ini. Yang saat itu Aku hanya mencari tahu berbagai informasi melalui internet dan Aku tertarik. Tetapi, Aku selalu percaya bahwa usaha tidak akan mengkhianati hasil. Ya, Aku selalu percaya itu.

Memasuki gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Aku berjalan menuju kelas. Mendengarkan segala penjelasan dosen, menulis hal penting, mendapat tugas baru, dan jam kelas selesai.
Bersama teman debatku, Meira, seorang pencipta ide-ide baru dengan pembahasan hasil pemikirannya yang rumit tapi simpel, Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Aku berjalan ke tempat di mana ilmu berdiam diri di sana, tempat di mana rasa penasaran akan terjawab, tempat khayalan bisa melayang bebas, dan juga tempat melepaskan segala beban dengan menyegarkan diri membaca novel ataupun bermain dengan komputer dan internet, si pelacak informasi.

Perpustakaan! Ya itu dia, meskipun tidak banyak lagi orang yang datang ke dunia ilmu ini karena peranannya tergantikan oleh benda pintar pelacak segala informasi. Tetapi, Aku dan Meira selalu tertarik untuk datang menjelajahi setiap jendela ilmu yang tersusun rapi di setiap rak besar yang selalu berdiri tegak di sepanjang ruangan yang sangat luas dan menenangkan ini.

Aku tidak hanya akan berargumentasi dengan Meira saja, tetapi berkolaborasi dengan teman ‘tanpa masalah' yang tidak membuat susah hidupnya. “Hidup itu simpel, jangan dibuat susah!”, begitulah kata-kata yang paling sering Aku dengar darinya. Teman laki-laki seangkatan yang Aku temui saat pertama kali masuk universitas ini. Bergaya sok keren, dengan kepercayaan dirinya yang tinggi. Alvin, teman yang terkadang pura-pura tidak peduli dengan tugas, padahal sebenarnya ialah yang sangat peduli pada pekerjaan kuliah yang berat itu, di antara Aku dan Meira.

Menyusuri lorong rak buku, Aku dan Meira menemukan Alvin tengah sibuk dengan laptopnya di kursi agak pojok, dan yang pasti dengan satu set kamera di samping tangan kanannya.

“Alvin!” teriakku dan Meira mengagetkan Alvin.
“Eh kalian! Mengagetkan saja.” Jawabnya dengan wajah terkejut.
“Haha, maaf nih.” Balas Meira.
“Bagaimana dengan editingnya Vin? Apa sudah selesai? Kalau sudah, Aku akan buat skrip untuk video selanjutnya.” Tanyaku.
“Iya Vin bagaimana? Kalau sudah, Aku akan menyiapkan konsep baru untuk video kita nanti.” Tambah Meira semangat.
“Tenang, Aku hampir menyelesaikannya, kira-kira sudah 90%. Ya kalau begitu, kalian tetap siapkan konten untuk video kita selanjutnya.” Jawab Alvin santai.
“Siap Vin!” Jawab Aku dan Meira serentak.

Kami adalah WeTuber. Kami pengguna WeTube dan pembuat video WeTube. Awalnya, Aku berpikir bagaimana menambah pundi-pundi uang untuk menutupi kekurangan uang saku. Berbisnis, tapi Aku tidak memiliki modal cukup untuk itu. Bekerja, Aku kira itu butuh keterampilan khusus dan tentunya harus bisa memprioritaskan waktu. Akhirnya, otakku bekerja baik. Aku terpikir untuk memanfaatkan kecanggihan teknologi melalui internet karena jangkauan yang lebih luas.
Mengubah apa yang biasa Aku gunakan menjadi sumber uang. Aku pun berencana membuat video yang dibutuhkan banyak orang. Tetapi, Aku sadar tidak memiliki alat yang lengkap untuk itu. Aku pun menyerah, sampai Aku bertemu dengan teman serasiku, Meira dan Alvin.

Mereka memiliki tujuan yang sama sepertiku. Tetapi, ada kekurangan yang membuat keinginan itu tidak dapat terpenuhi hanya oleh satu orang. Oleh karena itu, kami pun bergabung dan saling melengkapi satu sama lain. Kami tidak hanya ingin menghasilkan uang, tetapi juga menghasilkan karya yang tidak akan pernah habis dimakan waktu, dan itu adalah video di WeTube kami.

Kami sudah bekerja sama selama setahun sejak masuk universitas ini. Sarana yang kami gunakan adalah internet. Kami mempromosikan channel WeTube kami melalui media sosial. Bahkan, Aku memulai bisnis melalui internet, tanpa harus membutuhkan banyak modal.

Internet yang saat ini menjadi kebutuhan miliaran orang di dunia dengan sejuta kebutuhan, membantuku melakukan segala hal. Bahkan, untuk berkarya. Karena karya bagiku, bagi Meira dan Alvin, merupakan suatu hasil pemikiran dari ide-ide cerdas dan kreatif yang bisa terus hidup, bahkan untuk seribu tahun lamanya, tak lekang oleh waktu.

“Oh iya Ra, bagaimana perkembangan blog kamu?” Tanya Alvin penasaran.
“Sangat baik Vin, Aku sudah dapat 20.000 pengikut blogku, jadi ya lumayan uang yang dihasilkan.” Jawab Meira jelas.
“Waw, itu sih keren Ra untuk dapat pengikut segitu, susah juga.” Alvin menjawab.
“Karena Meira kreatif Vin, blognya banyak dikunjungi orang karena isinya menarik dan informatif.” Jawabku menambahkan.
“Ya iyalah Aku, hahaha.” Canda Meira.
“Aku tidak habis pikir, mengapa banyak tersebar berita palsu yang akhirnya menjatuhkan satu pihak?” Tanyaku agak penasaran.
“Hmm, menurutku itu perbuatan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.” Timpal Meira.
“Di zaman sekarang, isu-isu palsu seperti itu menjadi makanan publik yang akhirnya merusak moral anak bangsa.” Alvin menambahkan.
“Menurutku juga seperti itu sih.”
“Padahal anak bangsa itu kan generasi emas penghasil karya yang tidak sepatutnya dinutrisi dengan hal-hal seperti itu.” Pendapat Meira.
“Betul banget tuh Ra.”
“Ya mungkin pola pikir setiap orang berbeda.”
“Kalau itu sih pasti.”
“Oh iya nih, Aku mau tanya, bagaimana jika bumi benar-benar datar?”
“Ya ampun Meira, kamu sudah berulang kali mempertanyakan itu, Aku sedang malas berdebat. Kamu cari saja buku ‘Terbentuknya Bumi’!” Ucapku yang bosan dengan pertanyaan Meira.
“Jangan cari yang susah Gab, tinggal cari di aplikasi pencarian, langsung ada deh, kan ribet harus mencari di antara tumpukan buku!” Kata Alvin agak santai.
“ Vin, kamu apa-apa internet.” Balas Meira agak sebal. “Iya maaf, hehe.”
Kami sejenak terdiam. Otakku mulai merangsang jawaban Alvin tadi, ‘Jika semua tergantung pada internet, lalu bagaimana jika internet tidak ada di dunia ini?’ tanyaku dalam hati. Tanpa ragu, Aku tanyakan itu pada mereka.
“Menurut kalian, bagaimana jika internet menghilang?” Tanyaku spontan.
“Hahaha itu mustahil Gab.” Celoteh Alvin.
“Syut Alvin, tidak ada yang mustahil. Semua mungkin saja terjadi.” Jawab Meira.
“Benar Ra. Jika internet tidak ada, mungkin...” (Aku mulai berkhayal).
***
lina.whAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
458
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan