- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Merawat Tradisi, Menggugat Diskriminasi: Profil Dewi Kanti Setyaningsih


TS
dewaagni
Merawat Tradisi, Menggugat Diskriminasi: Profil Dewi Kanti Setyaningsih
[ltr]Merawat Tradisi, Menggugat Diskriminasi: Profil Dewi Kanti Setyaningsih[/ltr]
[ltr]Ali Nursahid[/ltr]
[ltr]Situasi dan modal sosial keluarga membentuk Dewi Kati tumbuh berkembang. Orang tua, para sesepuh adat Sunda Wiwitan memberikan banyak contoh bagaimana menghadapi perlakuan diskriminatif dengan cara-cara yang fleksibel dan tidak konfrontatif. Kanti belajar bagaimana berbagi, berempati, dan juga sambung rasa.[/ltr]
[ltr]Dewi Kanti Setyaningsih (41), perempuan kelahiran Bandung 1975, menghabiskan masa kecilnya di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Putri bungsu pasangan Emalia Wigarningsih dan Pangeran Djatikusuma ini harus melewati pergolakan batin, mengalami sejumlah kekecewaan akibat menghadapi situasi “panas” tahun 1980-an. Saat itu kaum Sunda Wiwitan baru saja melepaskan diri dari identitas Katolik, kembali ke identitas adatnya dengan membentuk Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). Upacara adat Seren Taun dilarang oleh pemerintah. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan pembekuan ajarannya. Tuduhan pemurtadan dan penodaan agama pun dialamatkan pada Pangeran Djatikusuma beserta para pengikutnya.[/ltr]
[ltr]Demi mengurangi tekanan, bersama sang kakak, Kanti kecil akhirnya melanjutkan Sekolah Menengah hingga kuliah di Jakarta. Kekhawatiran orang tuanya, jika sekolah di Kuningan, akan ada tekanan semacam “Madrais phobia” dari kelompok masyarakat. Namun di sekolah terkadang Kanti masih saja menerima sindiran dari guru. Situasi mendebarkan tiba ketika menghadapi ujian atau praktek agama. Kanti merasa ada perasaan tertekan, kikuk dan stres. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya dikerjakanlah sekadarnya, sehingga nilai hasil akhir ujiannya jeblok, tidak[/ltr]
[ltr]memenuhi standar. Ujung-ujungnya sang wali dipanggil ke sekolah. “Bagaimana mau praktek sholat, orang tidak hafal-hafal,” celetuknya sembari tersenyum.[/ltr]
[ltr]Setelah pendidikan menegah dijalani di Tangerang Selatan, perkembangan remaja Kanti berlanjut bekerja di sebuah bank di Jakarta. Di sela-sela dunia kerja, seperti[/ltr]
[ltr]layaknya remaja yang tumbuh, ada pemuda yang ingin berhubungan kasih secara serius. Namun pergolakan batin terjadi, ketika keluarga sang pemuda tahu berhubungan dengan keluarga yang punya keyakinan berbeda. Hubungan Dewi Kanti mereka pun akhirnya kandas.[/ltr]
[ltr]Setelah kuliah di jurusan perbankan pada Universitas swasta, Kanti bekerja di sebuah bank hingga 1997 di Jakarta. Aktivitasnya sebagai frontliner di sebuah bank, berhubungan dengan customer, dan berupaya memberikan service terbaik pada nasabah menjadi salah satu modal dasar berkomunikasi dalam pergaulan Kanti berikutnya. Dari situlah Kanti banyak belajar berdiplomasi, belajar mendengar keluhan, dan lain sebagainya.[/ltr]
[ltr]Namun, Kanti muda merasa “kehilangan masa” di mana sebenarnya persoalan ketidakadilan dihadapi oleh komunitasnya. Dia melihat ayahnya seolah berjuang sendirian, sementara dia menjauh dari persoalan tersebut. Periode remaja Kanti adalah periode anak muda yang ingin mencari aman, dengan berusaha untuk menutupi identitasnya.[/ltr]
[ltr]Pergolakan Kanti bermula ketika diajak sang ayah, Pangeran Djati Kusuma, bertemu dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di PBNU dalam rangka meminta dukungan untuk persoalan yang kakaknya alami. Saat itu sang kakak, Gumirat Barna Alam dan Susilawati, akta nikahnya diganjal Kantor Catatan Sipil (KCS) Jakarta Timur pada Mei 1997. Alasan catatan sipil adalah pernikahan pasangan tersebut tidak dilangsungkan menurut agama yang diakui pemerintah.[/ltr]
[ltr]Kanti membantu ayahnya membawakan tumpukan berkas saat bertemu Gus Dur di kantor PBNU. Pertemuan tersebut berlanjut silaturahmi dan sharing soal problem pernikahan kakaknya yang berujung gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Adanya empati Gus Dur memberikan kesan Kanti bahwa ada harapan atas persoalan yang dihadapi keluarganya. “Saya berfikir ngapain kita nyari aman untuk mikirin diri sendiri, padahal tanggung jawab di komunitas juga cukup berat,” ungkapnya. Dari diskusi bareng sang ayah tersebut Kanti ketemu jaringan lain, hingga membentuk Indonesian Conference on Religion on Peace (ICRP), Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA). Kanti mulai turut terlibat, aktif berproses dan belajar bersama.[/ltr]
[ltr]Proses pertumbuhan Kanti dirasakan bertahap. Awalnya, dia juga tidak punya kemampuan untuk bicara di forum-forum dan terbata-bata jika berhadapan dengan orang banyak. Namun Kanti berusaha untuk terus melatih diri berani dan mengungkapkan pendapat pada setiap forum. Itu semua dialami Kanti akibat sekian lama menghindar dari persoalan yang sebenarnya terjadi pada keluarganya. Boleh dibilang, periode remaja Kanti adalah fase ketika dia berusaha mencari aman.[/ltr]
[ltr]Dari memfotokopi dokumen-dokumen berkas kasus kakaknyalah akhirnya Kanti mempelajari banyak hal. Dari dokumen tersebut Kanti memahami bagaimana kaum adat dijebak harus memilih salah satu agama tertentu, sampai bagaimana dampak perkimpoian tersebut pada sejumlah hak-hak anak nantinya. Kebulatan tekadnya menggumpal untuk turut mengambil resiko, menjadi bagian dari perjuangan kaum Sunda Wiwitan.[/ltr]
[ltr]Dewi Kanti berjumpa dengan pasangannya, Okky Satrio, saat sama-sama intens mengadvokasi kalangan penghayat dan konsolidasi masyarakat adat pasca reformasi. Meskipun sejak Okky menjadi aktivis zaman Orde Baru pun kerap menjumpainya “ngumpet” di Cigugur dan berdiskusi dengan ayahnya hingga larut malam. Saat menikah, mereka mengukirkan cinta kasihnya lewat cara adat pada Maret 2002. Dengan posisi Okky tetap menganut Katolik dan Kanti dengan keyakinan adatnya, disaksikan tokoh-tokoh lintas agama. Perkimpoian beda agama dijalani kedua pasangan tersebut dengan seolah “menantang negara”, dengan menghadirkan beragam tokoh-tokoh lintas agama.[/ltr]
[ltr]Lebih jauh, pergulatan menghadapi problem kependudukan dialami Kanti saat mengurus perpanjangan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sewaktu tinggal di wilayah Jakarta Selatan 2010 silam. Dalam KTP sebelumnya, kolom agama diisi strip. Namun begitu KTP baru jadi, Kanti pun dibuat kaget karena kolom agamanya dituliskan Islam. Akhirnya dia melayangkan surat protes ke kelurahan Cilandak atas kekeliruan dengan menyertakan bukti rekaman video percakapan dengan petugas. Pada saat itu, dalam empat hari, dicetaklah tiga KTP atas nama Kanti.[/ltr]
[ltr]Dari pertemuan dengan banyak komunitas adat lainnya Kanti mendapatkan banyak kisah serupa. Dewi Kanti belajar dari keberhasilan kelompok adat lain yang berhasil mendapat legalitas dari pemerintah. Beberapa kali Kanti diundang ke Kajang (Ammatoa), Parmalim, untuk saling berbagi, menguatkan, dan saling belajar dari praktik-praktik baik dalam mengelola keragaman. “Semakin kami mengidentifikasi, membuka dengan banyak kalangan, maka makin banyak persoalan yang kami hadapi. Tapi dukungan solidaritas daerah lain juga makin mengalir,” paparnya.[/ltr]
[ltr]Kanti menyadari bahwa saat ini dia mempunyai keberanian karena ada upaya untuk terus menambah wawasan. Berinteraksi dengan banyak lembaga masyarakat menjadi salah satu bekal untuk ditularkan pada anak-anak muda dalam memperjuangkan hak-hak konstitusi. “Kita bisa dan mampu. Dan ini bukan diperjuangkan oleh orang lain, tapi terlibat mengambil bagian dari sebuah tim yang turut sama-sama berjuang”, tegas Kanti. Bagi dia, ini bukan tergantung pada siapa yang melakukan, tapi bagaimana masing-masing dapat berperan, mengambil sikap, sesuai fungsi dan kemampuan.[/ltr]
[ltr]Dalam konteks mengembangkan ajaran Sunda Wiwitan Kanti bersama delapan saudara lainnya berbagi peran. Kanti lewat tembang, ada yang dengan tari, lalu saudara lainya lewat seni batik Sunda, mengumpulkan manuskrip, sastra dan lain-lain. Ada juga dari sekian kakaknya yang menjadi penopang pembiayaan kegiatan bersama. Pembagian tersebut tumbuh alami, berangkat dari kecenderungan pribadi masing-masing. “Bapak dan ibu kami tidak mendoktrin, tapi lewat praktek laku dan nilai,” tegas Kanti.[/ltr]
[ltr]Menyelamatkan Lingkungan[/ltr]
[ltr]Paska reformasi, Kanti kerap bolak-balik Jakarta-Kuningan jika ada pertemuan bulanan. Namun pada pertengahan 2012 memantapkan diri menetap di Kuningan karena terkait munculnya kasus Geothermal di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, dan Majalengka, Jawa Barat. Bersama sang suami, Okky Satrio, menggalang warga sekitar mengajukan keberatan atas rencana eksplorasi geotermal oleh Chevron. Eksplorasi panas bumi tersebut dikhawatirkan akan mengancam lingkungan dan menggusur lahan pertanian warga sekitar.[/ltr]
[ltr]Proyek senilai 60 miliar tersebut mulai dijalankan oleh PT Chevron Geothermal Indonesia (CGI) sejak Gunung Ciremai ditetapkan sebagai wilayah kerja pertambangan oleh menteri ESDM pada tahun 2011 dan dilanjutkan dengan pelelangan pada tahun 2012. Wilayah kerja Pertambangan Ciremai ini direncanakan mencapai luas 24.330 hektar yang terdiri dari 350 titik, dengan sebagainya berada di wilayah Taman Nasional/Hutan konservasi.[/ltr]
[ltr]Bagi Kanti, kasus Gheotermal tidak bisa dianggap sepele. Selain prosesnya yang tidak transparan dan minim sosialisasi oleh pemerintah, kekhawatiran muncul jika ada eksplorasi ini akan mengakibatkan kualitas dan debit air menurun. Berkaca dari pengalaman daerah serupa seperti wilayah Dieng, Jawa Tengah dan Kertasari, Bandung, bahwa Gheotermal adalah energi terbarukan yang ramah lingkungan tidaklah terjadi. Kerusakan hutan dan potensi gempa menjadi dasar penolakan warga sekitar Ciremai.[/ltr]
[ltr]Bersama sang suami akhirnya Kanti berjibaku membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya persoalan penyelamatan lingkungan. Konsolidasi pada masyarakat terdampak dilakukan dengan menggandeng sebanyak-banyaknya kelompok masyarakat seperti, pesantren, pesilat, penjaga situs, dan lain-lain. Informasi dampak lingkungan juga dikumpulkan dengan mendatangkan sejumlah ahli/akademisi.[/ltr]
[ltr]Dari persoalan tersebut Kanti menjadi tahu banyak hal terkait problem sosial di Kuningan. Pada saat bersamaan, sekitar 25 dosen IAIN se-Indonesia melakukan live in di beberapa dusun di Kuningan. Kanti menjadi tahu sejumlah problem mendasar di Cigugur adalah banyaknya anak muda yang terbius kegiatan di Kota, sehingga meninggalkan kampung halaman mereka. Lewat metode proses penelitian Participatory action research (PAR), Kanti terlibat banyak menggali persoalan, memetakan potensi, dan sebagainya. Mulai dari problem air, tanah, sawah yang mulai banyak dijual oleh masyarakat demi menyekolahkan anaknya ke luar. Kanti melihat pada akhirnya banyak masyarakat kehilangan alat produksi. “Kita kehilangan akar sebagai masyarakat agraris,” simpulnya.[/ltr]
[ltr]Dampak lainnya, semenjak Seren Taun dilarang (1982-1999) masyarakat yang menanam varietas (tanaman) lokal menjadi sedikit. Mereka menjadi berfikir ulang secara kegunaan, dan akhirnya beralih menjadi peternak. Ada pemikiran di masyarakat jika menanam nanti buat apa? Padahal dalam pertanian ada keguyuban. Sejak mulai mengolah tanah, menanam, hingga memanen, ada proses pembentukan karakter sosial (komunal) di masyarakat. Terkait dengan problem tata ruang di Kuningan tersebut Kanti menjadi semakin banyak berdiskusi dengan generasi muda. Kanti melihat puluhan tahun pola pikir anak muda dibentuk kesadaran bahwa seseorang mempunyai harga diri itu jika bekerja di kota, bukan bertani di Kuningan. Ini menjadi tantangan tersendiri dan tidak mudah.[/ltr]
[ltr]Kanti bersuamikan seorang aktivis Okky Satrio yang memahami peran, dan mempunya visi yang sama. Albertus Satrio Repuntranto, lelaki yang kerap disapa Okky ini dikenal sebagai aktivis demonstran pada era sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Dalam aktivitasnya itu, kini laki-laki yang pernah kuliah di fakultas Sosial-Politik, Universitas Dr. Mustopo Jakarta ini mengorganisir sejumlah kelompok masyarakat dalam penolakan Geothermal.[/ltr]
[ltr]Problem konsolidasi masyarakat yang beragam kelompok berusaha dipecahkan Kanti bersama suaminya. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan sejumlah elit masyarakat di lokal Kuningan sangatlah penting. Menurut dia, saat ini masih banyak stigma dan prasangka terhadap kelompok Sunda Wiwitan. Namun dalam menggerakkan isu Geothermal ini Kanti justru melihat banyak perubahan. Adanya persoalan baru ternyata berdampak pada perubahan kembali relasi jaringan, sehingga memori kolektif bisa tumbuh kembali. Misalnya ada beberapa dusun yang punya ikatan emosional bahwa orang tua, kakek, saudara-saudara mereka pernah saling berhubungan. Kanti meyakini jika sebuah gerakan masyarakat itu punya daya tahan yang panjang jika ada kolaborasi antara adat, petani, pesantren dan banyak kelompok masyarakat lainnya.[/ltr]
[ltr]Saat ini mulai tumbuh ikatan kultural “spirit Cermai” dengan terbukanya kembali mozaik-mozaik sejarah masa lalu. Tercipta kembali tembang-tembang Sunda lama, yang berisi pesan untuk menjaga lingkungan, menghormati situs-situs sejarah. Misalnya sesepuh daerah Malar, pernah menerima pesan ‘harus dihindari kalau ada ular melingkar’, yang maksudnya adalah adanya pipa-pipa Geothermal di wilayah Ciremai. Maka mesti ada upaya penyelamatan bersama. Kemudian antar kelompok masyarakat mulai saling berkomunikasi kembali. Berlanjutlah dengan membangun advokasi penyelamatan lingkungan di tingkat pusat, nasional, berjejaring dengan akademisi, melakukan studi banding dan lain sebagainya dalam rangka menolak keberadaan Chevron.[/ltr]
[ltr]Ali Nursahid[/ltr]
[ltr]Situasi dan modal sosial keluarga membentuk Dewi Kati tumbuh berkembang. Orang tua, para sesepuh adat Sunda Wiwitan memberikan banyak contoh bagaimana menghadapi perlakuan diskriminatif dengan cara-cara yang fleksibel dan tidak konfrontatif. Kanti belajar bagaimana berbagi, berempati, dan juga sambung rasa.[/ltr]
[ltr]Dewi Kanti Setyaningsih (41), perempuan kelahiran Bandung 1975, menghabiskan masa kecilnya di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Putri bungsu pasangan Emalia Wigarningsih dan Pangeran Djatikusuma ini harus melewati pergolakan batin, mengalami sejumlah kekecewaan akibat menghadapi situasi “panas” tahun 1980-an. Saat itu kaum Sunda Wiwitan baru saja melepaskan diri dari identitas Katolik, kembali ke identitas adatnya dengan membentuk Paguyuban Adat Cara Karuhun Urang (PACKU). Upacara adat Seren Taun dilarang oleh pemerintah. Kejaksaan Tinggi Jawa Barat mengeluarkan pembekuan ajarannya. Tuduhan pemurtadan dan penodaan agama pun dialamatkan pada Pangeran Djatikusuma beserta para pengikutnya.[/ltr]
[ltr]Demi mengurangi tekanan, bersama sang kakak, Kanti kecil akhirnya melanjutkan Sekolah Menengah hingga kuliah di Jakarta. Kekhawatiran orang tuanya, jika sekolah di Kuningan, akan ada tekanan semacam “Madrais phobia” dari kelompok masyarakat. Namun di sekolah terkadang Kanti masih saja menerima sindiran dari guru. Situasi mendebarkan tiba ketika menghadapi ujian atau praktek agama. Kanti merasa ada perasaan tertekan, kikuk dan stres. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya dikerjakanlah sekadarnya, sehingga nilai hasil akhir ujiannya jeblok, tidak[/ltr]
[ltr]memenuhi standar. Ujung-ujungnya sang wali dipanggil ke sekolah. “Bagaimana mau praktek sholat, orang tidak hafal-hafal,” celetuknya sembari tersenyum.[/ltr]
[ltr]Setelah pendidikan menegah dijalani di Tangerang Selatan, perkembangan remaja Kanti berlanjut bekerja di sebuah bank di Jakarta. Di sela-sela dunia kerja, seperti[/ltr]
[ltr]layaknya remaja yang tumbuh, ada pemuda yang ingin berhubungan kasih secara serius. Namun pergolakan batin terjadi, ketika keluarga sang pemuda tahu berhubungan dengan keluarga yang punya keyakinan berbeda. Hubungan Dewi Kanti mereka pun akhirnya kandas.[/ltr]
[ltr]Setelah kuliah di jurusan perbankan pada Universitas swasta, Kanti bekerja di sebuah bank hingga 1997 di Jakarta. Aktivitasnya sebagai frontliner di sebuah bank, berhubungan dengan customer, dan berupaya memberikan service terbaik pada nasabah menjadi salah satu modal dasar berkomunikasi dalam pergaulan Kanti berikutnya. Dari situlah Kanti banyak belajar berdiplomasi, belajar mendengar keluhan, dan lain sebagainya.[/ltr]
[ltr]Namun, Kanti muda merasa “kehilangan masa” di mana sebenarnya persoalan ketidakadilan dihadapi oleh komunitasnya. Dia melihat ayahnya seolah berjuang sendirian, sementara dia menjauh dari persoalan tersebut. Periode remaja Kanti adalah periode anak muda yang ingin mencari aman, dengan berusaha untuk menutupi identitasnya.[/ltr]
[ltr]Pergolakan Kanti bermula ketika diajak sang ayah, Pangeran Djati Kusuma, bertemu dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di PBNU dalam rangka meminta dukungan untuk persoalan yang kakaknya alami. Saat itu sang kakak, Gumirat Barna Alam dan Susilawati, akta nikahnya diganjal Kantor Catatan Sipil (KCS) Jakarta Timur pada Mei 1997. Alasan catatan sipil adalah pernikahan pasangan tersebut tidak dilangsungkan menurut agama yang diakui pemerintah.[/ltr]
[ltr]Kanti membantu ayahnya membawakan tumpukan berkas saat bertemu Gus Dur di kantor PBNU. Pertemuan tersebut berlanjut silaturahmi dan sharing soal problem pernikahan kakaknya yang berujung gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Adanya empati Gus Dur memberikan kesan Kanti bahwa ada harapan atas persoalan yang dihadapi keluarganya. “Saya berfikir ngapain kita nyari aman untuk mikirin diri sendiri, padahal tanggung jawab di komunitas juga cukup berat,” ungkapnya. Dari diskusi bareng sang ayah tersebut Kanti ketemu jaringan lain, hingga membentuk Indonesian Conference on Religion on Peace (ICRP), Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA). Kanti mulai turut terlibat, aktif berproses dan belajar bersama.[/ltr]
[ltr]Proses pertumbuhan Kanti dirasakan bertahap. Awalnya, dia juga tidak punya kemampuan untuk bicara di forum-forum dan terbata-bata jika berhadapan dengan orang banyak. Namun Kanti berusaha untuk terus melatih diri berani dan mengungkapkan pendapat pada setiap forum. Itu semua dialami Kanti akibat sekian lama menghindar dari persoalan yang sebenarnya terjadi pada keluarganya. Boleh dibilang, periode remaja Kanti adalah fase ketika dia berusaha mencari aman.[/ltr]
[ltr]Dari memfotokopi dokumen-dokumen berkas kasus kakaknyalah akhirnya Kanti mempelajari banyak hal. Dari dokumen tersebut Kanti memahami bagaimana kaum adat dijebak harus memilih salah satu agama tertentu, sampai bagaimana dampak perkimpoian tersebut pada sejumlah hak-hak anak nantinya. Kebulatan tekadnya menggumpal untuk turut mengambil resiko, menjadi bagian dari perjuangan kaum Sunda Wiwitan.[/ltr]
[ltr]Dewi Kanti berjumpa dengan pasangannya, Okky Satrio, saat sama-sama intens mengadvokasi kalangan penghayat dan konsolidasi masyarakat adat pasca reformasi. Meskipun sejak Okky menjadi aktivis zaman Orde Baru pun kerap menjumpainya “ngumpet” di Cigugur dan berdiskusi dengan ayahnya hingga larut malam. Saat menikah, mereka mengukirkan cinta kasihnya lewat cara adat pada Maret 2002. Dengan posisi Okky tetap menganut Katolik dan Kanti dengan keyakinan adatnya, disaksikan tokoh-tokoh lintas agama. Perkimpoian beda agama dijalani kedua pasangan tersebut dengan seolah “menantang negara”, dengan menghadirkan beragam tokoh-tokoh lintas agama.[/ltr]
[ltr]Lebih jauh, pergulatan menghadapi problem kependudukan dialami Kanti saat mengurus perpanjangan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sewaktu tinggal di wilayah Jakarta Selatan 2010 silam. Dalam KTP sebelumnya, kolom agama diisi strip. Namun begitu KTP baru jadi, Kanti pun dibuat kaget karena kolom agamanya dituliskan Islam. Akhirnya dia melayangkan surat protes ke kelurahan Cilandak atas kekeliruan dengan menyertakan bukti rekaman video percakapan dengan petugas. Pada saat itu, dalam empat hari, dicetaklah tiga KTP atas nama Kanti.[/ltr]
[ltr]Dari pertemuan dengan banyak komunitas adat lainnya Kanti mendapatkan banyak kisah serupa. Dewi Kanti belajar dari keberhasilan kelompok adat lain yang berhasil mendapat legalitas dari pemerintah. Beberapa kali Kanti diundang ke Kajang (Ammatoa), Parmalim, untuk saling berbagi, menguatkan, dan saling belajar dari praktik-praktik baik dalam mengelola keragaman. “Semakin kami mengidentifikasi, membuka dengan banyak kalangan, maka makin banyak persoalan yang kami hadapi. Tapi dukungan solidaritas daerah lain juga makin mengalir,” paparnya.[/ltr]
[ltr]Kanti menyadari bahwa saat ini dia mempunyai keberanian karena ada upaya untuk terus menambah wawasan. Berinteraksi dengan banyak lembaga masyarakat menjadi salah satu bekal untuk ditularkan pada anak-anak muda dalam memperjuangkan hak-hak konstitusi. “Kita bisa dan mampu. Dan ini bukan diperjuangkan oleh orang lain, tapi terlibat mengambil bagian dari sebuah tim yang turut sama-sama berjuang”, tegas Kanti. Bagi dia, ini bukan tergantung pada siapa yang melakukan, tapi bagaimana masing-masing dapat berperan, mengambil sikap, sesuai fungsi dan kemampuan.[/ltr]
[ltr]Dalam konteks mengembangkan ajaran Sunda Wiwitan Kanti bersama delapan saudara lainnya berbagi peran. Kanti lewat tembang, ada yang dengan tari, lalu saudara lainya lewat seni batik Sunda, mengumpulkan manuskrip, sastra dan lain-lain. Ada juga dari sekian kakaknya yang menjadi penopang pembiayaan kegiatan bersama. Pembagian tersebut tumbuh alami, berangkat dari kecenderungan pribadi masing-masing. “Bapak dan ibu kami tidak mendoktrin, tapi lewat praktek laku dan nilai,” tegas Kanti.[/ltr]
[ltr]Menyelamatkan Lingkungan[/ltr]
[ltr]Paska reformasi, Kanti kerap bolak-balik Jakarta-Kuningan jika ada pertemuan bulanan. Namun pada pertengahan 2012 memantapkan diri menetap di Kuningan karena terkait munculnya kasus Geothermal di Gunung Ciremai, Kabupaten Kuningan, dan Majalengka, Jawa Barat. Bersama sang suami, Okky Satrio, menggalang warga sekitar mengajukan keberatan atas rencana eksplorasi geotermal oleh Chevron. Eksplorasi panas bumi tersebut dikhawatirkan akan mengancam lingkungan dan menggusur lahan pertanian warga sekitar.[/ltr]
[ltr]Proyek senilai 60 miliar tersebut mulai dijalankan oleh PT Chevron Geothermal Indonesia (CGI) sejak Gunung Ciremai ditetapkan sebagai wilayah kerja pertambangan oleh menteri ESDM pada tahun 2011 dan dilanjutkan dengan pelelangan pada tahun 2012. Wilayah kerja Pertambangan Ciremai ini direncanakan mencapai luas 24.330 hektar yang terdiri dari 350 titik, dengan sebagainya berada di wilayah Taman Nasional/Hutan konservasi.[/ltr]
[ltr]Bagi Kanti, kasus Gheotermal tidak bisa dianggap sepele. Selain prosesnya yang tidak transparan dan minim sosialisasi oleh pemerintah, kekhawatiran muncul jika ada eksplorasi ini akan mengakibatkan kualitas dan debit air menurun. Berkaca dari pengalaman daerah serupa seperti wilayah Dieng, Jawa Tengah dan Kertasari, Bandung, bahwa Gheotermal adalah energi terbarukan yang ramah lingkungan tidaklah terjadi. Kerusakan hutan dan potensi gempa menjadi dasar penolakan warga sekitar Ciremai.[/ltr]
[ltr]Bersama sang suami akhirnya Kanti berjibaku membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya persoalan penyelamatan lingkungan. Konsolidasi pada masyarakat terdampak dilakukan dengan menggandeng sebanyak-banyaknya kelompok masyarakat seperti, pesantren, pesilat, penjaga situs, dan lain-lain. Informasi dampak lingkungan juga dikumpulkan dengan mendatangkan sejumlah ahli/akademisi.[/ltr]
[ltr]Dari persoalan tersebut Kanti menjadi tahu banyak hal terkait problem sosial di Kuningan. Pada saat bersamaan, sekitar 25 dosen IAIN se-Indonesia melakukan live in di beberapa dusun di Kuningan. Kanti menjadi tahu sejumlah problem mendasar di Cigugur adalah banyaknya anak muda yang terbius kegiatan di Kota, sehingga meninggalkan kampung halaman mereka. Lewat metode proses penelitian Participatory action research (PAR), Kanti terlibat banyak menggali persoalan, memetakan potensi, dan sebagainya. Mulai dari problem air, tanah, sawah yang mulai banyak dijual oleh masyarakat demi menyekolahkan anaknya ke luar. Kanti melihat pada akhirnya banyak masyarakat kehilangan alat produksi. “Kita kehilangan akar sebagai masyarakat agraris,” simpulnya.[/ltr]
[ltr]Dampak lainnya, semenjak Seren Taun dilarang (1982-1999) masyarakat yang menanam varietas (tanaman) lokal menjadi sedikit. Mereka menjadi berfikir ulang secara kegunaan, dan akhirnya beralih menjadi peternak. Ada pemikiran di masyarakat jika menanam nanti buat apa? Padahal dalam pertanian ada keguyuban. Sejak mulai mengolah tanah, menanam, hingga memanen, ada proses pembentukan karakter sosial (komunal) di masyarakat. Terkait dengan problem tata ruang di Kuningan tersebut Kanti menjadi semakin banyak berdiskusi dengan generasi muda. Kanti melihat puluhan tahun pola pikir anak muda dibentuk kesadaran bahwa seseorang mempunyai harga diri itu jika bekerja di kota, bukan bertani di Kuningan. Ini menjadi tantangan tersendiri dan tidak mudah.[/ltr]
[ltr]Kanti bersuamikan seorang aktivis Okky Satrio yang memahami peran, dan mempunya visi yang sama. Albertus Satrio Repuntranto, lelaki yang kerap disapa Okky ini dikenal sebagai aktivis demonstran pada era sebelum tumbangnya kekuasaan Orde Baru. Dalam aktivitasnya itu, kini laki-laki yang pernah kuliah di fakultas Sosial-Politik, Universitas Dr. Mustopo Jakarta ini mengorganisir sejumlah kelompok masyarakat dalam penolakan Geothermal.[/ltr]
[ltr]Problem konsolidasi masyarakat yang beragam kelompok berusaha dipecahkan Kanti bersama suaminya. Kemampuan untuk berkomunikasi dengan sejumlah elit masyarakat di lokal Kuningan sangatlah penting. Menurut dia, saat ini masih banyak stigma dan prasangka terhadap kelompok Sunda Wiwitan. Namun dalam menggerakkan isu Geothermal ini Kanti justru melihat banyak perubahan. Adanya persoalan baru ternyata berdampak pada perubahan kembali relasi jaringan, sehingga memori kolektif bisa tumbuh kembali. Misalnya ada beberapa dusun yang punya ikatan emosional bahwa orang tua, kakek, saudara-saudara mereka pernah saling berhubungan. Kanti meyakini jika sebuah gerakan masyarakat itu punya daya tahan yang panjang jika ada kolaborasi antara adat, petani, pesantren dan banyak kelompok masyarakat lainnya.[/ltr]
[ltr]Saat ini mulai tumbuh ikatan kultural “spirit Cermai” dengan terbukanya kembali mozaik-mozaik sejarah masa lalu. Tercipta kembali tembang-tembang Sunda lama, yang berisi pesan untuk menjaga lingkungan, menghormati situs-situs sejarah. Misalnya sesepuh daerah Malar, pernah menerima pesan ‘harus dihindari kalau ada ular melingkar’, yang maksudnya adalah adanya pipa-pipa Geothermal di wilayah Ciremai. Maka mesti ada upaya penyelamatan bersama. Kemudian antar kelompok masyarakat mulai saling berkomunikasi kembali. Berlanjutlah dengan membangun advokasi penyelamatan lingkungan di tingkat pusat, nasional, berjejaring dengan akademisi, melakukan studi banding dan lain sebagainya dalam rangka menolak keberadaan Chevron.[/ltr]






lostcg dan 4 lainnya memberi reputasi
5
642
5


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan