Kaskus

News

dewaagniAvatar border
TS
dewaagni
Cerita Para Penganut Mapurondo di Rantetarima
Cerita Para Penganut Mapurondo di Rantetarima
oleh Agus Mawan [Mamasa] di 4 December 2019


Orang Rantetarima, menggantungkan hidup dari kebaikan alam, sekaligus merawatnya. Lewat ritus adat, mereka dapat hidup berdampingan dengan alam. Rantetarima, juga tempat hidup bagi penghayat kepercayaan Mapurondo, atau yang dikenal hadat Mapurondo.
Ajaran Mapurondo, adalah kepercayaan turun menurun dari nenek moyang orang Mamasa ke keturunan selanjutnya melalui penuturan. Hingga kini, ajaran mereka belum tertulis.
 Penghayat Mapurondo, kata Toris, punya tiga prinsip hidup (tallu loronna), yakni, bagaimana tatakrama mereka berhubungan dengan Sang Pencipta (To Metampa), manusia, dan alam.
Desa Rantetarima, terletak di lembah pegunungan, di Kecamatan Bambang, Kabupaten Mamasa. Warga mencetak sawah dan kebun kakao hingga kopi di lereng bukit. Di puncak gunung, tetap terjaga, warga tak mengubah jadi apapun.

Toris, menarik kursi lalu duduk. Sambil senyum, dia menawari saya kopi panas. Mengenakan baju putih, pria kelahiran Saludengen 55 tahun silam itu, baru kembali dari sawah. Udara terasa dingin, matahari kian tenggelam. Di luar, langit mulai gelap terselimut kabut.


Desa ini, terletak di lembah pegunungan, di Kecamatan Bambang, Kabupaten Mamasa. Warga mencetak sawah dan kebun kakao hingga kopi di lereng bukit. Di puncak gunung, tetap terjaga, warga tak mengubah jadi apapun.


Hari itu, 23 Oktober, saya mengunjungi Rantetarima, desa yang dipimpin Toris, sejak empat tahun ini. Dia merupakan kepala desa pertama.


Akses jalan menuju perkampungan rusak, hanya bisa dilalui sepeda motor. Puluhan tahun lalu, orang berkendara dengan kuda melalui jalan itu. Desa ini pun terpencil sejak dulu, menjauh dari hiruk pikuk perkotaan, aktivitas niaga, hingga telekomunikasi.


Beberapa tahun belakangan, listrik mulai mengalir berkat pembangkit tenaga air dari pemerintah. Malam hari kampung terang, dibanding puluhan tahun silam.


Kala itu, desa ini masih masuk Kecamatan Mambi. Pascapemekaran, kini masuk administrasi Kecamatan Bambam, Mamasa. Setelah terbentuk jadi desa empat tahun lalu, pembangunan di Rantetarima, berangsur baik.


Rantetarima, dulu bergabung di Desa Saludengen, kampung yang cukup tua di Pitu Ulunna Salu (PUS)–tujuh hulu sungai. Wilayah ini merujuk pada kawasan mukim di antara pegunungan sebelah barat Sungai Mamasa dan Pantai Barat (Polewali).


Nenek pendiri kampung, kata Toris, melewati pelbagai letupan peristiwa sejarah, dari kolonialisasi Belanda pada 1907, hingga konflik berdarah, pro kontra pemisahan Mamasa dari Polewali, pada 2000-an awal. Konflik itu, dikenal dengan singkatan ATM: Aralle, Tabulahan, dan Mambi. Tiga kecamatan yang saling bertikai kala itu.


“Rantetarima, jadi tempat pengungsian. Kami tidak ikut konflik saat itu,” kata Toris.
Seiring kisah para penghayat Mapurondo, kini mendiami Rantetarima. Mereka mempertahankan ajaran leluhur. Meninggalkan kampung, menuju kampung baru.


Agama atau kepercayaan lokal yang selama ini tersingkirkan. Para penganutnya terpaksa memilih agama ‘pilihan negara,’ mulai mendapatkan titik terang setelah Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2017, mengabulkan gugatan komunitas penghayat kepercayaan di Indonesia, atas Pasal 61 dan Pasal 64 Undang-undang (UU) Administrasi Kependudukan.


Seperti kebanyakan komunitas adat di Indonesia. Orang Rantetarima, menggantungkan hidup dari kebaikan alam, sekaligus merawatnya. Lewat ritus adat, mereka dapat hidup berdampingan dengan alam.


Rantetarima, tempat hidup bagi penghayat kepercayaan Mapurondo, atau yang dikenal hadat Mapurondo. Sebagai penganut Mapurondo, Toris, tak seorang diri. Dari data penduduk setahun lalu, sedikitnya ada 278 penghayat yang mendiami Rantetarima.


Pemeluk agama samawi hanya delapan orang. Mereka adalah tenaga kesehatan dan guru, yang bertugas di Rantetarima.


Sesuai arti Rantetarima, letak desa ini, berada di lembah gunung. Menyerupai tangan yang sedang menengadah sesuatu dari langit. Warag di sini, lapang hati dan selalu menerima siapapun.


“Kita sesama ciptaan Tuhan, harus saling menghargai dan menerima,” kata Toris.
 
Cerita Para Penganut Mapurondo di Rantetarima

Perempuan Rantetarima menanam padi. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 
Penghayat Mapurondo, kata Toris, punya tiga prinsip hidup (tallu loronna), kata Toris, yakni, bagaimana tatakrama mereka berhubungan dengan Sang Pencipta (To Metampa), manusia, dan alam.


Sebagai penghayat Mapurondo, katanya, dalam menjalani kehidupan, mereka diatur empat ritus adat, atau pemali appa’ randanna. Jumlah larangan dan perintah dari empat ritus itu, sebanyak 7.777 butir.


Empat ritus ini, antara lain, pa’totiboyongan, mengatur mereka dalam menanam padi hingga panen; kaparrisan, aturan saat ritual pengucapan syukur dan nazar; pa’bannetauan, tentang perkimpoian dan kelahiran, kemudian, aturan bagaimana ritual penguburan atau pa’tomatean.


Dalam menjalani empat ritus itu, masing-masing ditunjuk satu orang sebagai pemimpin ritual, semacam imam. Di Rantetarima, kata Toris, jabatan ini sudah banyak dipegang kepala adat.


“Karena sudah tidak ada lagi yang bisa. Kita tidak boleh juga sembarang pilih. Harus orang yang tahu betul,” katanya.


Dia contohkan, dalam pa’totiboyongan, peran seorang imam untuk padi bergelar so’bak diganti oleh kepala adat. Pangulu Tau yang berperan sebagai pemimpin saat berperang juga tak ada. “Zaman telah berganti. Tidak ada perang lagi.”


scorpiolamaAvatar border
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan 4 lainnya memberi reputasi
5
863
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan