Bicara tentang inspirasi tentu kita punya presepsi masing-masing yah GanSist? Ane kali ini akan mengulas sosok
Seluruh kota memiliki swa tersendiri untuk tampil di permukaan. Beda lagi kalau pernikahan itu terjadi, kok?
Begini ceritanya GanSist, sosok bernama Romy Sastra (HRoS) adalah seorang lelaki yang telah dijodohkan Tuhan dengan perempuan asal Ngawi, Jawa Timur. Berhubung ane tinggal di Ngawi juga, taraa ... kopdar itu terjadi GanSist.
Coba kalian perhatikan background di belakang kami foto ya GnSist, benar ... "Sekali Berarti - Sudah Itu Mati!"
Biografi Romy Sastra : Romy Sastra lahir di Nagari Desa Kubang, Kecamatan Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 11 Juli 1976. Mulai menulis di media sosial Facebook sejak tahun 2015. Pernah bergabung di grup Ruang Pekerja Seni Club Tanjung Balai Medan (RPS), komunitas Dapur Sastra Jakarta (DSJ), dan membina Sastra Bumi Mandeh (SBM). Romy Sastra telah memiliki beberapa Antologi Bersama antara lain; Antologi Embun Pagi Lereng Pesagi, Ayah Bangsa, Simfoni Pagi, Antologi puisi 55 Penyair SKANDAL SASTRA UNDERCOVER, Sebutir Garam di Secangkir Sahilan Riau, Soekarno Sejarah dan Cinta, Wangian Kembang, Konvensyen Temu Penyair Dunia di Pantai Chap Bachok Kelantan Malaysia 2018, Antologi Banjarbaru's Rainy Day 2018, Aku Menuju-Mu, Risalah Api, Sabda Alam, Keenam sahabat Rose Book, Penyair Nusantara, Jakarta dan Betawi, Doeloe Kini dan Nanti, Gema Membela Gema, Gapena Malaysia, Banjarbaru's Rainy Day 2019. Romy Sastra merupakan peserta pertemuan penyair tiga negara ZK NUSANTARA di Pahang Malaysia 2018, Wisata Sastra Dapur Sastra Jakarta 2018, Penyair Asia Tenggara Padang Panjang 2018, Peserta Ziarah Karyawan/Kesenian ZK Nusantara di Taman Bacaan Ibnu Hajar Siran Salam Magelang dan Yogyakarta 2018. Blog pribadi Romy Sastra adalah blogsastrajendra.blogspot.co.id
Kalau kalian punya akun facebook boleh dech jalan-jalan lihat akunnya bang Romy ini. Coba cari di kolom pencarian dengan tulis 'Romy Sastra' sebelumnya pastikan dulu akun GanSist itu bukan akun fake atau memakai foto sendiri yah. Soalnya pas ketemu lebaran tahun lalu bang Romy ini bilang kalau beliau tidak akan mengkorfirmasi akun fake maupun akun yang fotonya imitasi, kok? Mau apa boleh dikata, faktanya kejahatan melalui media sosial itu banyak dan menghindari sesuatu yang kagak diinginkan, seperti pencurian karya.
Usut punya usut bang Romy ini pernah cerita kalau beliau sebenarnya cuma lulusan SMP. Ane pribadi tidak pernah mempermasalahkan itu. Melihat karya beliau yang selalu memikat dan prestasinya yang mendunia, itulah yang lebih cetar! Tak jarang pula loh ada orang yang notabene Doktor atau mereka yang lulusan bahasa dan sastra mengetes untuk tahu sejauh mana ilmu bang Romy ini.
banget. Konon tulisan Doktor pernah dikritik juga ma beliau perkara ada tanda baca dan ejaan yang salah. Mulailah akun bang Romy dikoreksi dst dst.
-nya bang Romy juga berkat keaktifannya menyuarakan sastra loh. Komunitas yang lagi
banget ialah DSJ. Perkumpulan pecinta seni ini sekiranya merupakan yang paling solid dan membuat bang Romy makin 'diakui' banyak foto-foto bang Romy yang menampilkan kearifan bersama para penyair nusantara. Mereka melalui syair dan puisi turut mengharumkan Indonesia di kanca mancanegara loh. Mantap kan?
Bang Romy saat pembacaan puisi pada acara Ubud Writers and Readers Festival di Bali
Puisi 'Surat untuk Arina' yang ditulis bang Romy secara spontan Dalam acara di taman puisi Ubud Writers and Readers festival, UWRF 2018
Dear You
Surat untuk Arina
kepada bunga di atas meja
kupetik satu daun berwarna ungu
tuliskan satu puisi
ada wanita bermata biru
bernama arina
bunga itu,
kuselipkan di daun telingamu
mayang terurai
kau cantik
arina,
kutitipkan cintaku padamu
kita duduk di meja alami
bertilam rerumputan
sebatang pohon jadi saksi
terimalah persembahan surat puisi ini
oh, arina
kau kucinta
seperti aku mencintai literasi jagadhita
ubud writers and readers festival bali
aku kembali
Romy Sastra
Ubud Bali 26 Oktober 2018

PULANGLAH, NAK!
Romy Sastra
Langit-langit rumah sudah dipenuhi sarang laba-laba, seringkali bayangan hitam berkelabat kala malam membuat mata enggan terpejam.
Harap seorang Ibu di ujung pintu menatap jauh.
"Anakku, bulan Ramadan tahun ini akan pergi, hari raya sudah mulai terasa, takbiran menggema di mana-mana." lirih batin seseorang Ibu dilanda rindu teramat rindu kepada anak-anaknya yang tak pulang di hari raya setiap tahun ditungguinya.
Ibu Parni memiliki dua orang putri, keduanya sudah berumah tangga, dan mereka berada di perantauan di kota yang berbeda-beda.
Sudah tiga kali hari raya Idulfitri tiba, Ibu Parni sendiri menunggu rumahnya tanpa anak dan suami. Cuma ada sesekali anak yang sulung mudik lebaran, itu pun hanya sesaat saja di kampung. Tiga tahun yang lalu, suaminya Ibu Parni pakde Aris meninggal dunia karena sakit komplikasi yang dideritanya. Semenjak sepeninggal suaminya itu, bu Parni hidup berdua dengan cucunya bernama Lia, cucu dari anak keduanya yang dititipkan diasuh dari kecil oleh bu Parni hingga dewasa.
Di moment hari raya tradisi di kampung, anak-anak hingga dewasa berkunjung ke rumah yang lebih sepuh bersalam-salaman.
"Tok, tok, tok ... asalamualaikum?"
Tak ada jawaban dari dalam rumah, saya ulangi sampai tiga kali mengetuk pintu rumahnya Ibu Parni, tak juga ada jawaban.
Hingga akhirnya, saya coba memberanikan diri untuk masuk, mendorong pintu rumahnya apakah ada orang di dalamnya.
Saya sebagai tetangga Ibu Parni yang dari rantau, setiap hari raya pulang kampung, selalu sungkeman pada beliau. Di tahun ini, saya tersentak melihat Ibu Parni duduk seperti patung di ranjang sudut rumahnya. Badan Ibu Parni tadinya gemuk kini kurus kering.
Spontan Ibu Parni menangis menatapku, ketika pintu rumah terbuka, lantas aku salami beliau. Ternyata beliau tidak bisa mengangkat tangannya.
Aku perhatikan, sepertinya Ibu Parni kena stroke.
Dalam ucapan yang terbata-bata, Ibu Parni yang tak pandai berbahasa Indonesia, beliau berkata:
"Kowe mulih toh, Le?" sahutnya padaku.
"Inggih Bu, Parni. Aku mulih karo bojoku dan anakku." jawabku pada beliau.
Lalu, Ibu Parni diam dan membuang tatapannya ke arah jendela.
“Oo ya, Bu Parni?” Aku mencoba bertanya kembali.
"Kenapa rumahnya ditutup tadi, ini kan hari raya. Apakah anak-anak jenengan gak mulih yo?" tanyaku penasaran.
"Bu Parni tak menjawab pertanyaanku"
Air mata Bu Parni kian deras mengalir di saat kedatanganku, beliau menundukkan kepalanya. Seperti ada gejolak perasaan yang tak terbendung dan rasa pilu yang menggunung.
"Pikirku, apa yang terjadi sama Ibu ini dan anak-anaknya?"
Saya mencoba lebih intens bertanya pada Ibu Parni soal kesendiriannya di kampung, yang tadinya beliau sehat hingga kini terbaring sakit tak ditengok oleh anak-anaknya, terutama anak keduanya, apalagi masa lebaran yang sangat dirindukannya.
Beliau, Ibu Parni berbicara terbata-bata dalam bahasa Jawa karena stroke, sekaligus beliau menitip pesan pada saya.
Saya artikan begini:
"Le, dengarkan ya, kata-kataku pada anak-anakku beberapa tahun yang lalu!" perintah Bu Parni pada saya.
"Iya Bu, silakan cerita!" pintaku.
Beberapa tahun yang lalu, aku telah menghukum anak-anakku, setiap mereka pulang kampung dari rantau di hari raya. "Aku berkata, kenapa kamu, Nak? Gak sukses-sukses di perantauan seperti orang lain. Ibu malu pada tetangga, Nak!"
"Jika kalian ke rantau lagi, jangan pulang sebelum kau sukses di rantau sampai kapanpun aku menunggumu di rumah ini, carilah suami yang sugeh ya! Sampai aku tua dan rumah ini jadi lapuk. Biarkan aku hidup sendiri atas peninggalan harta warisan mbahmu."
Spontan aku terdiam pada kata-kata Bu Parni tentang pesan kemajuan hidup anaknya supaya sukses di rantau terhadap anak-anaknya.
Bisikku dalam hati, haruskah setega itu anak Bu Parni pada orang tuanya yang tinggal sebatang kara, meski kadangkala di hari-hari biasa, anak-anaknya ada mengirimkan uang ke kampung buat keperluan hidup ibunya. Lah, kenapa anaknya tak ada yang pulang satu juga setiap hari raya tiba? Apakah kehidupan anaknya belumlah sukses seperti yang diharapkan orang tuanya.
Di posisi Ibu Parni, tak seharusnya begini beliau pada anak-anaknya. Seperti memaksakan kehendak nafsu duniawi saja. Lirihku di dalam hati dan tak habis pikir, setiap hari raya tiba aku berkunjung ke rumah bu Parni yang selalu sepi.
Selang beberapa saat bertamu dan bercakap-cakap dengan Bu Parni, Ibu Parni pingsan badannya dingin, lalu dia rebah di ranjang tidur di sudut ruangan rumahnya.
Aku berlari ke rumah tetangga yang tak begitu jauh dari rumah Bu Parni meminta tolong, kalau Ibu Parni pingsan tiba-tiba.
aku dan beberapa tetangga menghampiri rumah Bu Parni. Setelah diperiksa, ternyata Bu Parni sudah meninggal dunia.
"Innalillahi wainnailaihi rajiun"
Air mataku tumpah, menatap wajah Bu Parni meninggal dalam keadaan merindukan anak-anaknya dari rantau yang tak pulang. Di sisi lain, Bu Parni merasa bersalah telah menghukum anaknya untuk sukses di perantauan demi mengangkat harkat dan martabat keluarganya di mata tetangga dan orang-orang kampung.
Di balik wajah jasad Bu Parni, aku menangkap kesedihannya.
Kalau Bu Parni meninggal karena merindukan anak-anaknya untuk pulang di hari raya. Betapa Ibu Parni rindu sangat, sangat rindu pada anak-anaknya, dan anak-anaknya seperti lupa. Bahwa dia anak-anaknya kelak di hari tua akan merasakan kerinduan yang teramat dalam terhadap anaknya juga nanti, jika ana-anaknya di perantauan.
Satu kisah yang kita petik adalah: adakalanya kita menunduk dalam hidup ini, jangan selalu menatap ke atas meraih masa depan yang lebih cerah, walaupun itu perlu.
Ingat! Silaturahmi pada orang tua adalah harta yang tak ternilai harganya, jangan tutup mata dan mata hati untuk tidak pulang kampung sekiranya masih ada orang yang kita kunjungi di hari raya.
Betapa moment di hari raya bagi orang-orang di kampung, seperti panas setahun hujan sehari dapat menyuburkan halaman rumah yang dilanda kegersangan. Suburkan satu pohon, jangan sampai pohon itu jadi ranting-ranting hingga jatuh tak mengenali lagi dari mana pohon itu tumbuh.
***************
Hari raya kedua setelah kematian bu Parni dua tahun yang lalu, aku mudik.
Dor, dor, door.... Malam hari raya itu tiba, suara petasan terdengar di udara. Anak-anak kecil berlarian di halaman rumah mereka masing-masing. Dari kejauhan sayup-sayup terdengar kumandang takbir tahlil menggema di mana-mana. Kesyahduan suara Idulfitri membangunkan kerinduan pada Ilahi menggetarkan segala nadi.
Pintu melapuk, sampah lantai bertaburan, beranda rumah sudah ditumbuhi rerumputan, menjalar ke dinding yang mulai koyak. Genteng berlumut jatuh, puing-puing berserakan di halaman, rumah itu sunyi tak lagi berpenghuni. Cuit, cuit, cuit ... burung pemakan buah pepaya yang ranum bercicit di kebun samping rumah bu Parni. Sebab, kebun di samping rumahnya itu telah semak yang biasanya beliau selalu membersihkan kebun setiap pagi dan petang.
Kebetulan setiap hari lebaran saya sowan ke tetangga-tetangga yang sudah sepuh.
Mmm, sepi sekali rumah bu Parni ini, tak ada aktivitas dan suara anak-anaknya dari dalam rumah, yang biasanya ramai para tetangga hilir mudik bersalaman dari pintu ke pintu seusai solat ied. Dan aku bertanya pada tetangganya bu Parni, yaitu mbah Lastri. Mbah Lastri lagi duduk di teras rumah sambil menimang cucunya yang baru pulang dari rantau.
"Assalamualaikum ...?"
"Waalaikumsalam." jawab mbah Lastri di depan rumahnya.
"Mbah, adakah anak-anak bu Parni mudik tahun ini?" pertanyaanku mengagetkan mbah Lastri.
"Eh, kowe toh, Le. Syukurlah kowe mudik." sahut mbah Lastri padaku.
"Entahlah, Le, Le?! Jangankan lebaran. Ketika orang tuanya meninggal dunia, anak si Parni itu tidak pulang menengok ibunya."
"Ah, masa sih mbah ....?"
Aku terkejut dengan jawaban mbah Lastri, miris sekali, bisikku dalam hati.
******
Setahun yang lalu saya mudik sowan ke rumah bu Parni, bu Parni sudah lemah karena penyakit stroke yang dideritanya. menanggung antara sesal dan kesal pada diri dan anak-anaknya. Saya ingat pesan bu Parni menerapkan prinsip duniawi untuk sukses di rantau dan carilah suami yang sugeh, pinta bu Parni kepada anak-anaknya. Jika merantau kalau mudik harus berjaya, harapnya. Kini bu Parni sudah tiada.
Suami bu Parni, pakde Aris sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Semenjak remaja lulus sekolah, memang anak-anaknya pergi merantau dan anak yang kedua memiliki anak perempuan bernama Lia. Dan Lia diasuh sama bu Parni dan pakde Aris selaku mbah dari Lia di kampung sebelum mbahnya meninggal, diasuh hingga dewasa dan sekarang sudah menikah.
Di tahun ini, aku merenungkan diri akan konflik suatu keluarga di antara konflik keluarga orang-orang di dunia ini yang bernasib sama bahkan lebih tragis konflik kehidupannya. Tak terasa air mata ini menetes jika itu berlaku pada kehidupanku kelak? Semoga tidaklah berlaku dalam hidupku pinta doaku pada Ilahi di kursi lapuk di depan rumah bu Parni yang sunyi.
Satu pertanyaanku kembali pada mbah Lastri. Rumah mbah Lastri dengan bu Parni hanya bersebelahan saja. Dan aku bercerita panjang lebar berdua dengan mbah Lastri di dalam rumahnya.
"Oya, Mbah? Lah, cucu bu Parni si Lia gak mudik juga tahun ini ya, Mbah?" desakku pada mbah Lastri yang penasaran.
"Le, Le ... itulah Le. Cucu si Parni si Lia pun gak mudik tahun ini. Beberapa bulan setelah mbahnya meninggal, si Lia ikut suaminya ke kampung halaman suaminya. Aku dan mbah Lastri saling bertatapan, tak terasa kristal bening menggenang dan menetes di sela pipi karena sedih dan haru. Aku segera mengusap air mataku karena malu, mbah Lastri terus bercerita.
Kini rumah si Parni teronggok seperti tunggul perlahan dimakan rayap dan melapuk. Aku hanya sebagai suadaranya dititipkan kunci untuk menghidupkan lampu tengah rumah dan teras rumahnya saja. Rumah si Parni sunyi, dan jauh lebih sunyi lagi nisannya di pembaringan terakhir tak diziarahi si buah hati dan cucu-cucunya. Sesungguhnya si Parni berharap tetesan doa seuntai Al-fatihah dikirimkan kearibaan Ilahi menyirami gersangnya selimut tanah di dalam makam, memohon kesejukan serta ampunan di alam keabadian.
Parni ...
Al-fatihah ....
Ngawi Lereng Lawu, 8 Juni 2019
Manusia yang bermanfaat adalah mereka yang hidup memberikan manfaat serta tak lupa menyanyangi keluarga. Bang Romy adalah sosok
melalui sastra. Menyuarakan aspirasi secara arif dan bijaksana. Bukan alasan yang membuatmu ada, melainkan mau-mu untuk selalu ikut serta!
Semoga thread sederhana ane dapat menginspirasi GanSist di manapun berada yah! Selalu untuk kedamaian.