- Beranda
- Komunitas
- News
- Dunia Kerja & Profesi
10 Besar CEO perempuan Indonesia 2019


TS
babygani86
10 Besar CEO perempuan Indonesia 2019
“When we unleash the power of women, we can secure the future for all.“ Meski digaungkan saat International Women's Day 2015, kalimat yang dilontarkan Ban Ki Moon, mantan Sekjen PBB, itu gaungnya terasa sampai sekarang. Kaum wanita diyakini bisa menciptakan dunia yang lebih baik, yang lebih seimbang, termasuk di dunia bisnis. Lewat peran kepemimpinannya.
Alhasil, tak mengherankan, aneka forum untuk mendorong kepemimpinan mereka digelar di banyak tempat. Dan bila ada indikasi penurunan, hal itu sangat disorot. Salah satunya, sewaktu Pew Research mengeluarkan studi bahwa hanya 26 perempuan yang menjadi CEO perusahaan Fortune 500 di tahun 2018.

Ini adalah sinyal yang kurang joss. Sebab, tahun 2017, angkanya mencapai 32 orang, yang merupakan jumlah tertinggi sepanjang sejarah perempuan menjadi CEO perusahaan Fortune 500. Kemerosotan ini kemudian disimpulkan dengan satu kalimat negatif: “There is little movement of women making up these high-ranking positions as company leaders."
Yang menarik, studi majalah The Economist menggambarkan nada kesuraman yang sama lewat The Glass-Ceiling index 2018. Kita di Indonesia mungkin tidak terlalu familiar dengan istilah ini. Indeks ini bicara tentang kondisi kaum perempuan di dunia kerja, khususnya di 30 negara OECD (Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi). Indeks ini dibuat berdasarkan kinerja atas 10 indikator, di antaranya educational attainment, labour-market attachment, serta pay and representation in senior jobs. Dari temuan yang ada, ternyata banyak yang kurang memuaskan. Dalam urusan “gender pay gap", yang mengukur perbedaan antara yang didapat perempuan dan laki-laki umpamanya, tak banyak perubahan dibandingkan tahun sebelumnya, 14 persen. Lalu, persentasi perempuan di kursi direksi hanya 23 persen Memang meningkat, tetapi tak banyak bergeser.
Karena kenyataan tersebut, tak mengherankan, pada International Women's Day 2019, beberapa minggu lalu, menyeruak pesan dengan tagar #balanceforbetter. Pesan yang digaungkan adalah dunia yang gender-balanced sesungguhnya lebih baik bagi semuanya. Pesan ini juga menjadi respons atas laporan Global Gender Gap 2018 yang dikemukakan dalam ajang World Economic Forum yang menyatakan bahwa laju pencapaian gender equality menurun. Dalam laporan itu, juga disoroti hanya 18 persen menteri perempuan dari 149 negara.
Di tempat lain, riset Women in Business dari Grant Thornton International (GTI) per Maret 2019 sempat menimbulkan harapan. Disebutkan bahwa jumlah perempuan yang menduduki posisi manajemen senior korporasi global naik dari 75 persen (2018) menjadi 87 persen. Akan tetapi, kendati jumlah perempuan di manajemen senior meningkat pesat, masih ada kesenjangan kesetaraan gender di level kepemimpinan tertinggi yang signifikan. Sebab hanya 15 persen perempuan menduduki posisi CEO atau direktur pengelola (managing director). Posisi senior yang paling banyak diduduki adalah direktur sumber daya manusia (43 persen).

Lantas, bagaimana dengan lndonesia? Rasanya kita patut gembira ditengah nada-nada kurang cemerlang itu. Berdasarkan survei GTI, tercatat hanya 2 persen dari perusahaan di Indonesia yang seluruh posisi manajemen seniornya dikuasai kaum adam. Selebihnya, tercatat setidaknya seorang wanita memegang posisi strategis kepemimpinan perusahaan
Porsi kaum hawa di dewan direksi perusahaan publik semakin signifikan. Bahkan, beberapa perusahaan memiliki porsi perempuan di dewan direksi yang cukup menonjol. Contohnya, CIMB Niaga Tbk yang 6 dari 11 anggota direksinya adalah wanita. Lalu, AKR (3 dari 8), BJB (3 dari 4), Dewata Freight international (3 dari 5), dan MNC (3 dari 7).
Bukan hanya diperusahaan publik hal itu terlihat. Porsi keterlibatan wanita yang signifikan juga tampak di sejumlah BUMN dan di berbagai sektor bisnis, mulai dari yang identic dengan kalangan wanita seperti kosmetik serta fashion, hingga sektor “keras” seperti jalan tol, konstruksi, dan logistik.
Di luar itu, makin banyak Srikandi yang mengukir sukses sebagai entrepreneur. Mereka juga tak lagi merambah bidang-bidang yang seakan—akan menjadi domain kaum wanita (dunia kecantikan), tetapi juga masuk ke ranah yang secara tradisional seolah-olah cuma garapan kalangan yang maskulinitasnya tinggi, seperti konstruksi dan perkapalan.
Alhasil, tak mengherankan, aneka forum untuk mendorong kepemimpinan mereka digelar di banyak tempat. Dan bila ada indikasi penurunan, hal itu sangat disorot. Salah satunya, sewaktu Pew Research mengeluarkan studi bahwa hanya 26 perempuan yang menjadi CEO perusahaan Fortune 500 di tahun 2018.

Ini adalah sinyal yang kurang joss. Sebab, tahun 2017, angkanya mencapai 32 orang, yang merupakan jumlah tertinggi sepanjang sejarah perempuan menjadi CEO perusahaan Fortune 500. Kemerosotan ini kemudian disimpulkan dengan satu kalimat negatif: “There is little movement of women making up these high-ranking positions as company leaders."
Yang menarik, studi majalah The Economist menggambarkan nada kesuraman yang sama lewat The Glass-Ceiling index 2018. Kita di Indonesia mungkin tidak terlalu familiar dengan istilah ini. Indeks ini bicara tentang kondisi kaum perempuan di dunia kerja, khususnya di 30 negara OECD (Organisasi untuk Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi). Indeks ini dibuat berdasarkan kinerja atas 10 indikator, di antaranya educational attainment, labour-market attachment, serta pay and representation in senior jobs. Dari temuan yang ada, ternyata banyak yang kurang memuaskan. Dalam urusan “gender pay gap", yang mengukur perbedaan antara yang didapat perempuan dan laki-laki umpamanya, tak banyak perubahan dibandingkan tahun sebelumnya, 14 persen. Lalu, persentasi perempuan di kursi direksi hanya 23 persen Memang meningkat, tetapi tak banyak bergeser.
Karena kenyataan tersebut, tak mengherankan, pada International Women's Day 2019, beberapa minggu lalu, menyeruak pesan dengan tagar #balanceforbetter. Pesan yang digaungkan adalah dunia yang gender-balanced sesungguhnya lebih baik bagi semuanya. Pesan ini juga menjadi respons atas laporan Global Gender Gap 2018 yang dikemukakan dalam ajang World Economic Forum yang menyatakan bahwa laju pencapaian gender equality menurun. Dalam laporan itu, juga disoroti hanya 18 persen menteri perempuan dari 149 negara.
Di tempat lain, riset Women in Business dari Grant Thornton International (GTI) per Maret 2019 sempat menimbulkan harapan. Disebutkan bahwa jumlah perempuan yang menduduki posisi manajemen senior korporasi global naik dari 75 persen (2018) menjadi 87 persen. Akan tetapi, kendati jumlah perempuan di manajemen senior meningkat pesat, masih ada kesenjangan kesetaraan gender di level kepemimpinan tertinggi yang signifikan. Sebab hanya 15 persen perempuan menduduki posisi CEO atau direktur pengelola (managing director). Posisi senior yang paling banyak diduduki adalah direktur sumber daya manusia (43 persen).

Lantas, bagaimana dengan lndonesia? Rasanya kita patut gembira ditengah nada-nada kurang cemerlang itu. Berdasarkan survei GTI, tercatat hanya 2 persen dari perusahaan di Indonesia yang seluruh posisi manajemen seniornya dikuasai kaum adam. Selebihnya, tercatat setidaknya seorang wanita memegang posisi strategis kepemimpinan perusahaan
Porsi kaum hawa di dewan direksi perusahaan publik semakin signifikan. Bahkan, beberapa perusahaan memiliki porsi perempuan di dewan direksi yang cukup menonjol. Contohnya, CIMB Niaga Tbk yang 6 dari 11 anggota direksinya adalah wanita. Lalu, AKR (3 dari 8), BJB (3 dari 4), Dewata Freight international (3 dari 5), dan MNC (3 dari 7).
Bukan hanya diperusahaan publik hal itu terlihat. Porsi keterlibatan wanita yang signifikan juga tampak di sejumlah BUMN dan di berbagai sektor bisnis, mulai dari yang identic dengan kalangan wanita seperti kosmetik serta fashion, hingga sektor “keras” seperti jalan tol, konstruksi, dan logistik.
Di luar itu, makin banyak Srikandi yang mengukir sukses sebagai entrepreneur. Mereka juga tak lagi merambah bidang-bidang yang seakan—akan menjadi domain kaum wanita (dunia kecantikan), tetapi juga masuk ke ranah yang secara tradisional seolah-olah cuma garapan kalangan yang maskulinitasnya tinggi, seperti konstruksi dan perkapalan.
Quote:
Spoiler for Referensi:
0
649
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan