- Beranda
- Komunitas
- Entertainment
- The Lounge
Lawan Hoax dan Pembodohan (Part -2 : Penggunaan Analogi Yang Salah).
TS
lonelylontong
Lawan Hoax dan Pembodohan (Part -2 : Penggunaan Analogi Yang Salah).

gbr diambil dr : mrpracoyo.blogspot.com
Kali ini saya menulis tentang sebuah metode atau cara berlogika, yang beberapa kali saya jumpai, digunakan oleh motivator ketika dia sedang menyampaikan suatu "kebenaran". Teknik yang sama juga sering dipakai dalam sebuah diskusi atau perdebatan.
Teknik ini bernama "analogi".
Penggunaan analogi yang tepat merupakan alat yang baik untuk menjelaskan sesuatu dan dalam beberapa kasus bisa membantu kita menemukan solusi atau menemukan suatu kebenaran. Akan tetapi penggunaan analogi yang tidak tepat dalam sebuah diskusi atau perdebatan, hanya menghasilkan debat kusir yang semakin lama semakin jauh dari topik awal, atau lebih parah lagi, berakhir dengan pengambilan kesimpulan yang salah.
Di sinilah penggunaan analogi dalam berlogika menjadi cukup tricky, karena penggunaan analogi yang tepat pada banyak kasus, menimbulkan suatu persepsi bahwa analogi adalah satu cara pembuktikan kebenaran yang sahih.
Padahal tidak selama-nya demikian, dan menurut saya pribadi, sebagai metode membuktikan sebuah kebenaran, analogi bukanlah alat bukti yang baik.
Bagi saya pribadi, analogi lebih tepat digunakan, sebagai salah satu metode untuk mendapatkan solusi atas suatu masalah, satu pencerahan mengenai suatu kebenaran, dan memudahkan penjelasan.
Biasanya mereka yang mengritik penggunaan analogi yang salah, akan melontarkan pernyataan atau sanggahan, "Itu tidak apple to apple."
Yang mereka maksudkan dengan pernyataan itu adalah, sesuatu yang di-analogikan tersebut mungkin memang memiliki kesamaan karakter dalam satu konteks yang lain, tetapi tidaklah memiliki kesamaan karakter dalam konteks kebenaran yang hendak dicari/dibuktikan.
Contoh penggunaan analogi yang baik :
Yang gemar nonton film kungfu jadul, mungkin pernah melihat film "Taichi Master" (1993) yang dibintangi Jet Li dan Michelle Yeoh. Dalam plot cerita tersebut, Zhang Junbao yang diperankan oleh Jet Li, pada satu waktu, mengalami guncangan batin yang berat dan sempat "gila" selama beberapa waktu, karena beban perasaan bersalah.

gbr diambil dr : ultimasia.net
Kebuntuan itu akhirnya pecah, saat Zhang Junbao (Jet Li) menyaksikan seorang petani yang memanggul seikat kayu bakar yang berat. Ketika petani itu sedang dalam perjalanan pulang, di tengah jalan dia mendapatkan kabar gembira tentang kelahiran anaknya. Awalnya dia masih berusaha berlari sambil memanggul kayu bakar yang berat itu, sampai tetangganya mengingatkan dia, "Lemparkan saja kayu itu."
Petani itu pun tersadar, sambil tertawa dia melemparkan beban yang berat itu, dan berlari pulang menyongsong kelahiran puteranya.
Melihat peristiwa itu, Zhang Junbao mendapatkan pencerahan yang melepaskan dia dari "kegilaan-nya", jalan berpikir yang membawa dia sampai pada pencerahan itu, adalah analogi.
Petani yang memanggul kayu bakar itu, me-representasi-kan dirinya. Kayu bakar yang dipanggul, satu analogi dengan beban perasaan bersalah yang dia tanggung. Bayi yang dilahirkan adalah bentuk representasi akan masa depan yang memiliki harapan lebih baik. Terus-menerus memanggul beban perasaan bersalah akan sesuatu yang terjadi di masa lalu, membuat dia tertatih-tatih dalam menyongsong atau memperjuangkan masa depan yang lebih baik.
Seperti petani yang melemparkan kayu bakar di pundaknya, pada saat itu pula Zhang Junbao memutuskan untuk melepaskan beban masa lalu-nya.
Ini contoh penggunaan analogi yang baik dan tepat konteks, karena setiap kondisi atau variabel-variabel yang berada dalam alur pemikiran tersebut, memang dengan tepat me-representasi-kan keadaan yang sedang dihadapi. Tidak pula berlebihan dalam mengambil variabel yang hendak digunakan dalam analogi.
Penggunaan analogi pun bisa menjadi sesat, seandainya bermula dari kesamaan beberapa variabel dari dua peristiwa itu, kemudian berusaha ditarik persamaan solusi tapi dalam konteks yang melenceng. Atau menarik kesimpulan yang berlebihan dari analogi yang konteks-nya terbatas.
Misalnya, bila kemudian Zhang Junbao menarik kesimpulan, bahwa petani itu melepas beban karena menyambut kelahiran seorang putera, maka seperti petani itu, dia perlu juga memiliki seorang anak, untuk melepaskan beban masa lalu.
Meskipun tidak ada yang salah dengan memiliki seorang anak, namun kesimpulan yang ditarik ini sudah melenceng, keluar konteks dan tidak ada dasar logika-nya.
Contoh penggunaan analogi yang buruk.
Penggunaan analogi yang buruk, adalah mencari persamaan variabel atas dua peristiwa, kondisi atau fenomena, dan kemudian menarik kesimpulan bahwa karena adanya persamaan dari kedua hal tersebut, maka artinya kita selalu bisa membuktikan/mem-prediksi/dst, kondisi/peristiwa/fenomena yang pertama, berdasarkan yang terjadi pada kondisi/peristiwa/fenomena yang kedua.
Tanpa memperhatikan konteks-nya, apakah tepat atau tidak. Apakah variabel dan kondisi yang hendak kita simpulkan itu, masih satu konteks dengan variabel dan kondisi di mana kita menemukan persamaan pada kedua hal tersebut?
Misalnya beberapa contoh sederhana dalam peng-analogi-an yang tidak tepat :
Seorang atheis yang tidak percaya Tuhan berargumen, "Kalau memang Tuhan ada, lalu di mana Dia, tunjukkan pada saya supaya saya bisa melihat-Nya."
Kemudian sebagai balasan argumen, si Theist menampar keras-keras si Atheist dan ketika si Atheist marah, dia pun membalas, "Kenapa marah-marah? Apakah rasa sakit itu ada? Kalau ada kenapa saya tidak melihatnya?"
Jadi si Theist ini menarik persamaan dari rasa sakit yang tidak terlihat, dan Tuhan yang tidak terlihat, untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Rasa sakit yang tidak terlihat namun nyata, dianalogikan dengan Tuhan yang tidak terlihat namun, seperti rasa sakit, Dia juga ada. Analogi ini menjadi tidak tepat, karena variabel tidak terlihat dari rasa sakit, berbeda sifat/esensi-nya dengan tidak terlihat-nya Tuhan dalam argumen si Atheist.
Tidak terlihat-nya Tuhan yang dimaksudkan oleh si Atheist, adalah ketiadaan Tuhan secara fisika, tidak bisa diukur, tidak bisa dideteksi, tidak bisa di-kuantifikasi, dan bahkan tidak bisa dijelaskan keberadaan dan proses-nya secara fisika.
Sementara rasa sakit yang ditimbulkan oleh tamparan, memang tidak terlihat, namun secara fisika masih bisa dijelaskan dan jika mau bisa diukur bagaimana respon otak terhadap stimulasi rangsangan berupa tamparan itu. Lewat MRI, bisa dilihat bagaimana stimulasi itu mempengaruhi bagian otak tertentu dan seberapa besar pengaruhnya.
-----
Contoh lain yang menurut saya menggambarkan kecerobohan orang dalam berpikir menggunakan analogi, mungkin secara sadar atau tidak sadar, adalah ketika seseorang berusaha meniru keberhasilan orang lain dalam konteks yang tidak tepat.
Misalnya, Joko Widodo, berhasil menjadi presiden, setelah sebelumnya menjadi Gubernur Jakarta.
Kemudian ada orang yang ingin menjadi presiden, dengan cara lebih dahulu memenangkan pilkada di Jakarta. Jika ini terjadi, artinya orang itu berusaha menarik sebuah persamaan variabel, dan berharap/berpikir, dari persamaan variabel itu akan menghasilkan hasil yang sama.
Lupa bahwa ada banyak Gubernur Jakarta yang tidak pernah kemudian berujung menjadi seorang presiden. Bahwa variabel yang membuat Joko Widodo berhasil menjadi presiden Indonesia, bisa jadi bukan keberhasilan-nya memenangkan pilkada Jakarta. Karena dalam proses terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden, ada banyak variabel-variabel lain dalam konteks yang lebih logis, yang seharusnya bisa diikuti bila menginginkan hasil yang sama, bukan pemenangan di Pilkada-nya.
Misalnya, latar belakang kehidupan-nya yang (dipandang) berasal dari keluarga biasa (bukan politikus), persepsi akan kepribadian-nya yang merakyat, kondisi masyarakat di saat itu yang mulai jenuh pada nama-nama yang sudah lama beredar, dst.
Kesimpulan
Jadi analogi bila digunakan dengan tepat bisa membawa pada satu diskusi yang kaya dan berarti.
Namun justru di sinilah kemudian kita harus berhati-hati, karena menjadi mudah bagi seseorang untuk menggunakan analogi (secara salah) untuk membuktikan pernyataan-nya dan membuat hal itu terdengar benar.
Atau sebaliknya, sebuah argumen yang menggunakan analogi dengan tepat, kemudian bisa disanggah dengan cara memperluas konteks analogi tersebut, hingga ditemukan variabel-variabel yang tidak sesuai, sebagai pembuktian bahwa pemikiran tersebut adalah salah.
Padahal, letak kesalahan bukan pada pemikiran atau analogi yang digunakan.
Kesalahan timbul karena si penyanggah memperluas konteks analogi secara semena-mena. Sampai dia menemukan variabel yang tidak sesuai, lalu menyerang variabel-variabel yang berada di luar konteks analogi yang mula-mula tersebut.
Inilah tricky-nya menggunakan analogi, hingga orang yang pandai ber-filsafat pun tidak jarang tergelincir dalam pembuktian atau alur logika yang sesat, ketika mereka bermain dengan analogi.
------------- o ------------
NB : Karena keterbatasan saya, bisa jadi saya salah, mohon koreksi-nya bila anda menemukan kesalahan dalam tulisan-tulisan saya (yang mana pun).
Sumber referensi : pemikiran pribadi.
sebelahblog memberi reputasi
1
557
0
Komentar yang asik ya
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan