- Beranda
- Komunitas
- Female
- Wedding & Family
Mengapa Wanita Perlu Bekerja?
TS
purwanti29
Mengapa Wanita Perlu Bekerja?
sumber; pixabayMengapa wanita perlu tetap bekerja? Sederhana jawabannya, supaya nggak bengong.
Eh, bukan, bukan itu!Gini, menurutku wanita perlu tetap bekerja supaya tetap menjadi pribadi yang kuat. Berdiri di atas kemandirian kakinya sendiri dalam mewujudkan kebahagiaan yang selaras dengan tugasnya sebagai madrasah untuk anak-anaknya kelak.
Realitasnya, setelah menikah nanti tak ada satupun wanita yang tau kapan suaminya akan meninggal. Faktanya, tak ada satupun juga suami yang tau sampai kapan dia akan mendampingi dan mengayomi kebutuhan istri.
Ketika tiba-tiba ajal datang menjemput suami, kejatuhan wajan misalnya, wajan satu kontainer plus dengan kontainernya, naudzubillah. setidaknya secara finansial si istri dapat lebih tenang melanjutkan hidup bersama anak-anak, karena stabilisasi ekonomisasi akibat mandirisasinya memiliki pekerjaan. Kerja apa saja, usaha apa saja, yang penting halal dan baik.
Ibarat kata, jika hal itu terjadi menimpa suami, wanita nggak perlu terlalu khawatir dan takut untuk melanjutkan hidup. Juga agar nggak mudah tergoda oleh iming-iming sebagian pria buas yang bertebaran di jagad raya saat dalam kesendirian tanpa pasangan dan hanya hidup bersama anak-anak.
Dalam sebuah sidang penelitian tingkat pujangga yang dilakukan oleh sutil, penggorengan, ember dan baskom bocor, serta dihadiri oleh perwakilan sandal jepit ngesot, bakiak terbang dan sepatu kerlap-kerlip, diperoleh hasil bahwa istri yang bekerja terbukti lebih kuat.
Setidaknya kuat ketika ditinggal “pergi” oleh suami. Baik “pergi” dalam artian meninggal, maupun cerai karena suami kimpoi lagi, selingkuh, atau hilang tanpa tercium baunya akibat diculik oleh gerombolan alien dari planet Hula-hula Kutumbaba, kayak tetangga yang jauh di sana contohnya.
Selain itu, penelitian yang didanai oleh sebuah komunitas Semut Rangrang pecinta JKT48 itu juga menyimpulkan, bahwa istri-istri yang bekerja ternyata terbukti akan lebih memiliki kekuatan dan keleluasaan dalam menentukan jalan hidupnya jika ternyata suami “bertingkah” di belakang mereka.
Istri yang bekerja dalam kemandirian dan stabilitas finansial yang kuat, akan lebih berani untuk bertindak atau bahkan menghempaskan suaminya yang “bertingkah”. Mencelupkan mereka ke samudera yang luas, lalu melanjutkan hidup dengan bergegas di atas kebahagiaan kaki sendiri bersama anak-anak meski tanpa suami lagi.
Bukan menangis tiap malam di pojokan kamar bersama bantal. Merana, namun bingung tak bisa berbuat apa-apa menerima perangai buruk suaminya!
Bingung, kan? Sama!
Yang pasti, tetangga sebelah yang jauh di sana yang jadi gurunya atas ketikan ini. Setelah mendalami dan berpikir keras bertahun tahun bertapa di planet pluto.
Tambah bingung, kan?
Saya juga bingung nggak habis pikir ngeliatnya.
Okay, kalau begitu kita bicara tentang pria saja. Pria pun kudu selaras. Nggak perlu lagi melarang-larang pasangan wanita atau istrinya untuk berhenti berkarya. Meninggalkan pekerjaannya jika belum mampu memberikan pengganti kebaikan yang lebih untuk mereka.
Membuatkan usaha, misalnya.
Konyolnya, sebagian pria itu egois. Menyuruh pasangan wanitanya untuk berhenti bekerja tanpa alasan yang jelas, cemburu sama bos pasangannya yang lebih ganteng, hingga meminta pada istri untuk berhenti bekerja dengan alasan agar menjadi ibu rumah tangga yang baik saja untuk anak-anak mereka.
Dibalut bumbu “kepatuhan pada suami”, diselimuti nuansa
dogma-dogma agama dan syurga, padahal terselubung ego pribadi suami yang tersembunyi. Ya cemburu itu. Ini kan pe’a, namanya.
Fine. Silakan ajarkan istri menjadi ibu rumah tangga. Tapi tolong berikanlah mereka usaha, karena situ nggak akan hidup bersama selamanya. Minimal salurkan ilmu usahamu padanya supaya mereka siap jika dirimu tiada.
Udah menyuruh istri berhenti bekerja, nggak ngebuatin istri wadah usaha, enggak mentransferkan ilmu cara berkarya, padahal kemampuanmu ngasih jatah bulanan aja masih
empot-empotan kembang kempis nggak karu-karuan.
Menjatah tapi pelit dan perhitungannya naudzubillah ngak ketulungan. Ngenes banget sih nasib itu istri.
Begitu juga kalian duhai wanita. Boleh mengikuti Siti Khadijah yang ingin mengabdi saja pada Rasul setelah mereka menikah. Tapi ingat, sebelum menikah Khadijah itu entrepreneur yang ulung.
Ketika memutuskan untuk mengabdi saja pada suami dan menyerahkan segala bentuk usahanya pasca menikah, Khadijah sudah sangat mumpuni menguasai ilmunya.
Sehingga andai saja zaman itu Rasul wafat lebih dahulu, logikanya Khadijah akan baik-baik saja. Karena kemampuan ilmunya dalam berwirausaha sudah sangat mampu memakmurkan kehidupannya. Begitulah kira-kira.
Maka dari itu si sendal jepit banyak diam jika calon jodohnya sedang jauh bekerja karena banyak menyadari. Paham lah, ya!
Okay akhirnya, kalian wahai para wanita. Jiwa-jiwa di mana etimologi syurga akan berada di bawah kakimu. Bahagiakanlah lebih dahulu diri kalian dengan bekerja. Makmur-kan dirimu, lalu ceritakan syurga pada anak-anakmu dalam suasana jiwa bahagia. Itu akan lebih menggembirakan.
sumber: pixabayHong Kong, 17 November 2019
tata604 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.7K
40
Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan