avatar1927Avatar border
TS
avatar1927
KURUNG

Aku kembali terkurung, setelah beberapa hari aku harus meloncat-loncat dan hinggap dari satu tempat tinggi ke tempat yang lain. Jujur saja, aku lebih bahagia seperti ini karena aku tidak perlu terbang jauh untuk menemukan makanan. Setiap sehari tiga kali, keluarga baruku memberi makanan yang kusukai. Jujur saja, aku sudah tidak bisa lagi terbang. Ah, aku lupa cara untuk terbang. Makanya, aku bahagia jika kembali tinggal di dalam kandang karena tidak perlu sekuat tenaga mempertahankan hidup.
“Buat mainan Si Dede,” begitu kudengar suara perempuan dengan nada pelan dan berat. Aku kenal suara perempuan ini. Dia yang menangkapku dari tempat hinggap terakhirku, atau bisa dibilang, tempat pendaratan gagal terakhirku.
Aku menyukai perempuan ini, dia perempuan tertua kedua di keluarga dan dipanggil Ibu. Dia yang paling rajin merawatku. Keluarga baruku memiliki enam anggota keluarga yang terdiri dari seorang perempuan tua yang dipanggil Emak, Ibu, sepasang suami istri dengan panggilan Aa dan Teteh, Dede si bocah lelaki kecil, dan seorang perempuan termuda yang dipanggil Neng. Di antara semua anggota keluarga, hanya Ibu dan Aa yang rajin merawatku. Setiap pagi, mereka mengeluarkanku dari dalam rumah ke halaman agar aku bisa mendapatkan sinar matahari dan udara segar. Tidak lupa pula mereka memberiku potongan mentimun atau pisang. Setiap sore hari, mereka memasukkanku kembali ke dalam rumah. Kegiatan tersebut selalu disertai dengan Si Dede yang tiada henti mengoceh atau berteriak senang. Sering kali dia juga menggoyang-goyangkan kandang kayuku yang rapuh dan sering membuatku mual.
Teteh dan Neng hampir tidak pernah menyentuhku kecuali terpaksa. Mereka tidak menyukaiku dengan alasan yang berbeda. Neng takut padaku. Mungkin karena ketajaman cakar dan paruhku. Atau karena aku yang sering mengepak-ngepakkan sayap berbuluku. Sedangkan Teteh, aku tidak mengerti mengapa dia tidak menyukaiku. Sejak awal dia tidak setuju untuk memeliharaku.
*
“Kita lepaskan saja, bagaimana?”
Aku mendengar Teteh dengan lirih mengatakan kalimat tersebut pada Aa, suaminya. Dede sekali lagi berteriak-teriak sambil menggoyang-goyangkan kandangku. Aku mengepak-ngepakkan sayap dengan liar agar Dede ketakutan. Usahaku berhasil karena Dede berhenti menggoyang-goyangkan kandang dan masuk ke pelukan Teteh. Pagi itu, hanya ada mereka bertiga di rumah. Aa tidak menjawab. Ia sibuk dengan potongan mentimun yang ditusuk sebatang lidi dan berusaha memasangnya di pinggir kandangku.
“Bukankah burung diciptakan dengan sayap untuk terbang?” kata Teteh lagi. Aku berhenti mengepak-ngepakkan sayap demi mendengar kata-kata Teteh lebih jelas walaupun harus menyerahkan diri pada tangan-tangan kecil yang sekali lagi akan membuatku mual.
“Sama seperti manusia, burung juga seharusnya beribadah kepada Tuhan. Kalau tidak terbang, bagaimana burung bisa beribadah?”
Apa itu beribadah kepada Tuhan? Aku tidak butuh, karena hidupku sudah nyaman. Aku punya rumah yang selalu bersih. Perutku kenyang setiap hari. Aku juga tidak perlu merasakan malam yang dingin dan kerasnya angin.
“Bagaimana kalau kita lepaskan nanti, saat Dede lebih dewasa dan bisa melepaskannya sendiri?”
“Mengurung burung seperti ini juga sama saja kita merusak fitrah diri Dede. Dia melihat sebuah paradoks, burung yang terbang dan burung di kandang. Kita mengajarkan kebaikan, tapi kita juga memperlihatkan kejahatan.”
Aa diam tidak menjawab apa-apa sambil mengembalikanku ke kaitan. Aku bersorak karena tahu Aa tidak akan melakukan apa-apa, karena tahu Aa tidak pernah memiliki keputusan yang keluar dari kepalanya sendiri. Dia selalu mengikuti apa yang Ibu katakan. Aku tidak akan dilepaskan jika ibu tidak ingin melepaskanku. Selesai cerita.
*
“Duk!”
“Awww!”
“Ngeoooongg!”
“Hey, hey, Ucing, Uciiing! Hush! Hush!”
Semua berjalan begitu cepat. Seseorang dengan tubuh tinggi baru saja menyenggol kandangku hingga jatuh terguling di tanah. Dia berteriak kesakitan karena walau kandangku rapuh tapi akan tetap menyakitkan siapa saja yang menubruknya. Kandangku rusak, tentu saja. Seekor kucing yang sedari tadi mengawasiku berusaha mengambil kesempatan untuk menerkamku tapi usahanya digagalkan oleh Ibu. Aku selamat. Syukurlah.
*
Akibat insiden beberapa waktu lalu, aku harus merelakan diri tidak lagi menikmati indahnya hari di luar rumah. Alas kandangku lepas dan hanya tersisa kurungannya. Kandangku diletakkan begitu saja di atas lantai dingin di dapur.
Kamu tahu, indera penciumanku tidak setajam indera penglihatanku. Tapi hidup setiap hari di dapur, aku yakin, akan merusak indera penglihatanku. Bawang merah, bawang putih, cabe, dan segala macam bumbu dimasak di sini. Manusia saja akan tersedak, terbatuk, bersin-bersin, dan mata berair mencium asap bumbu masakan.
Ibu masih rajin merawatku. Memberiku makanan kesukaanku dan membersihkan alas kandang yang penuh dengan kotoran. Aa juga sesekali memberiku makan jika sedang ada di rumah. Aku sudah jarang melihat Dede dan Neng. Aku sering melihat Teteh, Ibu, dan Emak sibuk memasak. Masakan yang paling sering membuat mataku berair adalah masakan Teteh.
“Mam...Mam...Mam...” Dede muncul. Dia membawa mentimun dengan potongan cukup besar. “Maaaaam...!” Dede mencoba memasukkan potongan mentimun tersebut ke sela-sela jeruji. Aku dengan was-was mengawasi usaha yang sudah pasti akan gagal. Dede terus mencoba memasukkan mentimun. Kesal usahanya tidak kunjung berhasil, Dede mengeluarkan tenaga lebih besar dari sebelumnya dan menyebabkan kandangku terdorong lalu terguling. Aku mengepak-ngepakkan sayap sekuat aku bisa. Mencoba memberitahu seluruh keluarga.
“Dede!” Teteh dan Ibu datang, disusul Aa dan Neng. Emak sedang pergi rupanya. Dengan nahas, aku melihat sekelilingku, memeriksa setiap jeruji kandang. Rumahku sepertinya sudah tidak bisa diselamatkan lagi.
*
Pagi ini, Neng mengangkat kandangku hingga miring dan sekejap saja, aku sudah berada di dalam tangkupan tangan Ibu. Mereka membawaku ke luar. Ah, sudah sekian lama aku tidak bermandikan cahya mentari. Hangat sekali. Tiba-tiba, Ibu menggerakkan kedua lengan dan membuka tangkupan tangannya.
“Cangkurileung, sana terbang ya!”
Apa? Terbang?! Aku...aku...aku tidak bisa!
Kukepakkan sayap, berusaha untuk terbang tapi aku sudah lupa cara untuk terbang. Kepakanku hanya berhasil membuatku terbang dua meter dan kembali jatuh ke tanah. Bagaimana ini? Mana bisa aku tiba-tiba harus terbang? Aku terkurung dan hidup di dalam kandang selama yang bisa kuingat. Sayapku sudah lama tidak kugunakan, atau memang sama sekali belum pernah kugunakan seumur hidupku. Aku burung peliharaan.
“Lihat, lihat burung aneh itu!”
“Dia tidak bisa terbang.”
“Ya, ya, memangnya dia ayam. Ada burung berjalan di tanah.”
Aku mendengar kicauan mengejek dari atas. Burung-burung gereja berkumpul di kabel-kabel. Mereka menontonku yang kikuk berada di luar sangkar. Cih, mereka seharusnya bersyukur diciptakan tidak menjadi burung penyanyi sepertiku. Kalau mereka burung penyanyi juga, mereka pun akan berada di dalam sangkar-sangkar dan bertugas menyenangkan para manusia dengan kicauan-kicauan merdu.
Aku kembali merasakan tangan Ibu menyelubungi tubuh. Akankah mereka berbelas kasihan padaku dan mengurungkan niat untuk melepaskanku? Ya Tuhan, tolong kabulkanlah keinginanku. Aku ingin terus tinggal bersama dengan keluarga itu karena hidupku telah nyaman. Tolong, jangan renggut kenyamananku.
“Kamu di sini saja ya,” kata Ibu sambil melepaskan tangkupan kedua tangannya. Aku ditempatkan di sebuah tangkai pohon. “Kamu di tempat tinggi. Belajar terbang ya, dan hati-hati dengan kucing.”
Aku memandang punggung Ibu, Neng, Teteh, dan Dede yang berjalan menjauhiku. Aku sendiri sekarang. Tuhan tidak mengabulkan keinginanku. Yah, Dia memang benar-benar menginginkan semua makhluk ciptaan-Nya untuk menyembah dan memuji-Nya. Sedangkan aku lebih memilih untuk hidup nyaman dan tentram padahal aku diciptakan untuk terbang. Aku merasa baik-baik saja dengan hidup terkurung dan tanpa mengembangkan sayap-sayapku. Tapi, aku sudah tidak lagi bisa terbang. Atau, aku bisa belajar kembali untuk terbang? Mungkin patut dicoba.
Kukembangkan sayap-sayapku dan mencoba untuk terbang. Kukepakkan sayap, satu, dua, tiga, ... tidak, tidak, tidak! Ah, aku gagal. Kutatap tangkai pohon di mana Ibu meletakkanku sebelumnya. Ugh, jauh sekali. Sudahlah, aku tidak akan mencoba lagi untuk terbang. Tidak mengapa jika aku hidup di tanah saja.
Burung-burung gereja menertawaiku lagi. Mereka berkicau berisik sekali. Suara mereka tidak seindah diriku. Aku mulai berkicau. Aku ingin menunjukkan kelebihanku yang tidak mereka miliki walaupun aku burung kikuk yang tidak bisa terbang. Agar mereka diam dan berhenti mengejekku. Aku terus berkicau, menyombongkan diri pada burung-burung abu-abu jelek.
Satu per satu burung-burung gereja berhenti berkicau dan terbang meninggalkan kabel-kabel listrik dan atap-atap rumah. Aku puas karena aku merasa menang dari burung-burung buruk rupa tersebut. Matahari senja menyiram tubuh. Kukembangkan sayap-sayapku sambil menikmati kebebasan dan kemenanganku. Tiba-tiba, semuanya jadi gelap!
“Ngeoooong!”
*
0
51
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Komunitas Pilihan