

TS
Ipimks
Pentingnya Kurikulum Pembelajaran Tentang “Kegagalan”
Kurikulum Pembelajaran Perguruan Tinggi Hadapi Era Disrupsi
Revolusi industri 4.0 saat ini telah menghadirkan fenomena disrupsi, situasi di mana tatanan hidup dan kerja manusia berubah secara fundamental. Revolusi generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital, biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri dan pemerintah.
Disrupsi sendiri merupakan sebuah paham yang petama kali diungkapkan oleh seorang Profesor di Harvard Business Schooll, Clayton M. Christensen dari hasil penelitiannya yang menjadi populer saat ia tuangkan dalam bukunya The Innovator's Dilemma yang diterbitkan tahun 1997. Di Indonesia, teori ini baru dipopulerkan beberapa tahun lalu oleh Prof. Rhenald Khazali dalam beberapa bukunya yang bertema Disrupsi.
Kita perlu paham bahwa disrupsi bukan hanya tentang invoasi yang menguntungkan. Disrupsi juga merupakan invoasi yang merusak tatanan sosial. Sekurang-kurangnya kita dapat melihat teori ini dalam pandangan Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik tapi juga sosiolog yang merangkum pemahamannya dalam buku The Great Disruption.
Fukuyama melihat era disrupsi dimana terjadi perkembangan teknologi yang semakin radikal menjadi yang berfek terjadinya kemerosotan dalam tatanan sosial. Disrupsi olehnya dilihat sebagaimana arti leksikal dari kata itu sendiri, yakni keterpecahan. Ia melihat masyarakat informasi (information society) yang ditandai dengan kondisi-kondisi sosial yang memburuk.
Di mana-mana terjadi kekacauan sosial yang membuat orang merasa tidak nyaman berada di mana pun, bahkan di kota-kota besar yang dikatakan maju. Kekerabatan dan keluarga sebagai institusi sosial yang paling primer terguncang, tingkat perceraian meningkat dan jumlah kehamilan di luar nikah tak bisa dibendung.
Fukuyama mengangkat isu penting yang menjadi landasan teorinya yakni mengenai modal sosial (social capital) dan kapitalisme. Ya, ini berpotensi mengancam kesuksesan yang menanti para milenal. Kapitalisme sangatlah dinamis dan juga merupakan sumber kerusakan kreatifitas yang dapat menghancurkan perubahan-perubahan yang ada pada komunitas manusia.
Disinilah sumber disruption menurut Fukuyama. Masalahnya lebih menyangkut teknologi dan perubahannya. Kepentingan dan keinginan masing-masing individu justru berpratisipasi di dalamnya. Maka bukan lagi mengenai ekonomi tetapi moral. Teknologi dan perubahannya merusak tatanan yang sudah maju dan berkembang. Orang tidak bisa memanfaatkan modal sosial lagi, yang dilihat justru peluang dan bagaimana menguasainya, tanpa perduli dengan modal sosial yang dapat dijadikan investasi sosial dalam kehidupannya ke depan.
Era distrupsi melahirkan perubahan manusia di abad 21 ini. Bagaimana individu, masyarakat, organisasi, perusahaan harus selalu siap untuk membuat inovasi. Dalam arti membuat sesuatu yang baru. Namun, yang baru itu juga harus bisa membuat perubahan drastis. Tentu saja, situasi disruptive innovation ini menuntut setiap individu, masyarakat, organisasi, perusahaan untuk berani mengeluarkan strategi yang belum pernah dikeluarkan sebelumnya.
Sebagai seorang dosen, benak saya langsung berpikir bagaimana mahasiswa nanti menghadapi situasi ini. Sudah siapkah mereka menjadi individu yang bisa melakukan disruptive innovation? Mungkin pertanyaan lebih tepatnya ditujukan kepada saya dan perguruan tinggi pada umumnya, sudahkah memberikan kemampuan yang diperlukan oleh anak didik menghadapi situasi yang disruptive di abad 21 ini?
Disinilah pentingnya bagaimana perguruan tinggi membuat kurikulum pembelajaran tentang “kegagalan”. Bagaimana mahasiswa berani mengambil risiko untuk mencoba dan mampu memotivasi diri untuk bangkit dari setiap kegagalan. Sifat gigih dan pantang menyerah merupakan satu sifat yang harus di tanamankan pada mahasiswa milenial. Mahasiswa diajak untuk menguasai satu keterampilan baru yang belum pernah dipelajari dan berbagi pengalaman kegagalan yang mereka alami.
Kurikulum pembelajaran tentang “Kegagalan” merupakan program pembelajaran yang bertujuan untuk mencabut stigma bahwa jika mereka gagal berarti mereka menjadi manusia tidak berguna. Banyak mahasiswa yang depresi karena tidak mampu menghadapi kegagalan hingga stress bahkan memilih untuk bunuh diri. Setiap mahasiswa merasakan ketidakyakinan akan masa depan, bisa mengalami kegagalan, bahkan kemunduran. Mahasiswa harus punya keyakinan bahwa mereka harus berprestasi di segala lini hidupnya, dari nilai akademik, hingga pergaulan sosial.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa perkuliahan yang menuntut mahasiswa untuk kreatif menuangkan ide baru penelitian, memproses data dan membuat tugas-tugas kuliah, akan dibayangi oleh banyak kegagalan. Jika mahasiswa merasa bahwa kegagalan mereka akan menjadikan diri mereka menjadi orang yang tidak berguna, maka mahasiswa akan berhenti untuk kreatif mencari terobosan. Jika ada tugas, mereka akan bertanya terus kepada dosen pengajar, dan tidak segera mulai mengerjakan tugas karena mereka takut salah.
Generasi milenial (Generasi Z) yang mendominasi peserta didik di perguruan tinggi kita sekarang ini, dimana salah satu karakteristik yang menjadi kekhasan dari milenalis adalah sangat mudah mengikuti arus perubahan dan rasa bosan dengan sistem yang kaku. Generasi ini lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau instan, karenanya milenalis adalah generasi yang kreatif memanfaatkan perubahan dan peluang yang ada didepan mata mereka atau memunculkan ide-ide baru yang tidak biasa.
Berhubungan dengan itu, kalangan milenial sesungguhnya adalah individu yang punya peluang untuk berkembang dan sukses dengan cara-cara yang kreatif dan cepat. Di sisi lain, individu pada generasi ini juga berpeluang menjadi generasi yang mandek, tak mampu bersaing dan gagal. Efek dari perubahan yang disebabkan oleh para milenal ini tidak lain adalah sebuah perubahan yang disruptif sehingga mempengaruhi tatanan sosial dalam masyarakat.
Peluang bagi para mahasiswa milenealis di era ini amat jelas. Perkembangan teknologi digital membuka wawasan baru mengenai kesuksesan dan keberhasilan dalam mengelola suatu usaha. Orang-orang mulai gemar memulai sesuatu yang baru yang benar-benar anti mainstream, lebih kreatif dan tentunya tidak berbelit-belit.
Misalnya, kesuksesan pun bisa diraih hanya dengan bermodal smart phone atau komputer. Lebih hebatnya lagi, dengan teknologi dan akses komunikasi yang semakin mudah dan lancar, kantor dan ruangan mewah ber-AC bukan lagi menjadi pilihan utama untuk mengelola suatu usaha sebab orang bisa bekerja dari rumah, bahkan dari atas tempat tidur sambil memantau atau menyelesaikan pekerjaanya.
Petani yang diperankan oleh para milenial juga sudah tidak seperti petani pada masa sebelum mereka, terutama dalam mengelola hasil pertanian. Dengan teknologi yang canggih mereka cukup berdagang melalui toko-toko daring kemudian dibeli oleh konsumen yang tidak hanya berasal dari daerah mereka, tapi bahkan manca negara.
Di perguruan tinggi misalnya, dimana mahasiwaanya menjadi mahasiswa yang disruptif, mahasiwa yang mampu memanfaatkan perubahan dan perkembangan teknologi digital dengan kreatif dan inovatif. Berkat kecanggihan teknologi pun kini tidak sulit lagi menjadi orang yang dikenal oleh masyarakat dalam satu negara bahkan dunia. Cukup membuat sesuatu yang baru, menarik, unik atau bahkan kontroversial, anda menjadi viral di media sosial dan kemudian menjadi terkenal.
Saya rasa tidak salah jika kurikulum pembelajaran di perguruan tinggi memfokuskan pada pengembangan kreativitas mahasiswa yang juga memberikan ruang bagi mereka untuk berani gagal dan belajar bangkit dari kegagalan. Mengingat kreativitas menjadi modal utama bagi anak didik untuk bersaing di dunia yang disruptive. Sehingga, kurikulum kreatif harus bisa diterapkan di semua pelajaran.
Seharusnya akan wajar bila perguruan tinggi menerapkan Kurikulum pembelajaran tentang “Kegagalan”, yang bukan semata sebagai kegiatan ekstrakurikuler, tetapi diajarkan dan dikembangkan mata kuliah. Karena memupuk jiwa kreativitas dalam diri seseorang tidak hanya sekadar teori kosong tanpa makna.
Kreativitas pun bukan cuma tentang bagaimana seseorang berbakat di bidang seni atau aktivitas fisik saja. Namun, meliputi kemampuan untuk bisa menciptakan terobosan dan temuan baru di berbagai bidang ilmu pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi manusia. Untuk mencapai ini, di balik kreativitas tentu akan banyak kegagalan. Yang patut diperhatikan adalah bila perjuangan bangkit dari kegagalan ini malah membuat peserta didik putus asa dan berhenti.
Kini saatnya perguruan tinggi mengajak milenal untuk melakukan disruptive mindset. Karena perubahan apapun yang terjadi, nilai dan norma yang terjaga dalam suatu social capital harus mendapat bentuk yang semakin kokoh. Ini adalah era di mana muncul inovasi yang menggantikan seluruh sistem lama dengan cara baru. "Inovasi memang sejatinya destruktif sekaligus kreatif". Tak jeli membaca peluang akan membuat kita terjebak dalam bayangan ketakutan hilangnya apa yang kita anggap paling utama dan berharga.
Revolusi industri 4.0 saat ini telah menghadirkan fenomena disrupsi, situasi di mana tatanan hidup dan kerja manusia berubah secara fundamental. Revolusi generasi ke-4 ini memiliki skala, ruang lingkup dan kompleksitas yang lebih luas. Kemajuan teknologi baru yang mengintegrasikan dunia fisik, digital, biologis telah mempengaruhi semua disiplin ilmu, ekonomi, industri dan pemerintah.
Disrupsi sendiri merupakan sebuah paham yang petama kali diungkapkan oleh seorang Profesor di Harvard Business Schooll, Clayton M. Christensen dari hasil penelitiannya yang menjadi populer saat ia tuangkan dalam bukunya The Innovator's Dilemma yang diterbitkan tahun 1997. Di Indonesia, teori ini baru dipopulerkan beberapa tahun lalu oleh Prof. Rhenald Khazali dalam beberapa bukunya yang bertema Disrupsi.
Kita perlu paham bahwa disrupsi bukan hanya tentang invoasi yang menguntungkan. Disrupsi juga merupakan invoasi yang merusak tatanan sosial. Sekurang-kurangnya kita dapat melihat teori ini dalam pandangan Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik tapi juga sosiolog yang merangkum pemahamannya dalam buku The Great Disruption.
Fukuyama melihat era disrupsi dimana terjadi perkembangan teknologi yang semakin radikal menjadi yang berfek terjadinya kemerosotan dalam tatanan sosial. Disrupsi olehnya dilihat sebagaimana arti leksikal dari kata itu sendiri, yakni keterpecahan. Ia melihat masyarakat informasi (information society) yang ditandai dengan kondisi-kondisi sosial yang memburuk.
Di mana-mana terjadi kekacauan sosial yang membuat orang merasa tidak nyaman berada di mana pun, bahkan di kota-kota besar yang dikatakan maju. Kekerabatan dan keluarga sebagai institusi sosial yang paling primer terguncang, tingkat perceraian meningkat dan jumlah kehamilan di luar nikah tak bisa dibendung.
Fukuyama mengangkat isu penting yang menjadi landasan teorinya yakni mengenai modal sosial (social capital) dan kapitalisme. Ya, ini berpotensi mengancam kesuksesan yang menanti para milenal. Kapitalisme sangatlah dinamis dan juga merupakan sumber kerusakan kreatifitas yang dapat menghancurkan perubahan-perubahan yang ada pada komunitas manusia.
Disinilah sumber disruption menurut Fukuyama. Masalahnya lebih menyangkut teknologi dan perubahannya. Kepentingan dan keinginan masing-masing individu justru berpratisipasi di dalamnya. Maka bukan lagi mengenai ekonomi tetapi moral. Teknologi dan perubahannya merusak tatanan yang sudah maju dan berkembang. Orang tidak bisa memanfaatkan modal sosial lagi, yang dilihat justru peluang dan bagaimana menguasainya, tanpa perduli dengan modal sosial yang dapat dijadikan investasi sosial dalam kehidupannya ke depan.
Era distrupsi melahirkan perubahan manusia di abad 21 ini. Bagaimana individu, masyarakat, organisasi, perusahaan harus selalu siap untuk membuat inovasi. Dalam arti membuat sesuatu yang baru. Namun, yang baru itu juga harus bisa membuat perubahan drastis. Tentu saja, situasi disruptive innovation ini menuntut setiap individu, masyarakat, organisasi, perusahaan untuk berani mengeluarkan strategi yang belum pernah dikeluarkan sebelumnya.
Sebagai seorang dosen, benak saya langsung berpikir bagaimana mahasiswa nanti menghadapi situasi ini. Sudah siapkah mereka menjadi individu yang bisa melakukan disruptive innovation? Mungkin pertanyaan lebih tepatnya ditujukan kepada saya dan perguruan tinggi pada umumnya, sudahkah memberikan kemampuan yang diperlukan oleh anak didik menghadapi situasi yang disruptive di abad 21 ini?
Disinilah pentingnya bagaimana perguruan tinggi membuat kurikulum pembelajaran tentang “kegagalan”. Bagaimana mahasiswa berani mengambil risiko untuk mencoba dan mampu memotivasi diri untuk bangkit dari setiap kegagalan. Sifat gigih dan pantang menyerah merupakan satu sifat yang harus di tanamankan pada mahasiswa milenial. Mahasiswa diajak untuk menguasai satu keterampilan baru yang belum pernah dipelajari dan berbagi pengalaman kegagalan yang mereka alami.
Kurikulum pembelajaran tentang “Kegagalan” merupakan program pembelajaran yang bertujuan untuk mencabut stigma bahwa jika mereka gagal berarti mereka menjadi manusia tidak berguna. Banyak mahasiswa yang depresi karena tidak mampu menghadapi kegagalan hingga stress bahkan memilih untuk bunuh diri. Setiap mahasiswa merasakan ketidakyakinan akan masa depan, bisa mengalami kegagalan, bahkan kemunduran. Mahasiswa harus punya keyakinan bahwa mereka harus berprestasi di segala lini hidupnya, dari nilai akademik, hingga pergaulan sosial.
Satu hal yang perlu dipahami bahwa perkuliahan yang menuntut mahasiswa untuk kreatif menuangkan ide baru penelitian, memproses data dan membuat tugas-tugas kuliah, akan dibayangi oleh banyak kegagalan. Jika mahasiswa merasa bahwa kegagalan mereka akan menjadikan diri mereka menjadi orang yang tidak berguna, maka mahasiswa akan berhenti untuk kreatif mencari terobosan. Jika ada tugas, mereka akan bertanya terus kepada dosen pengajar, dan tidak segera mulai mengerjakan tugas karena mereka takut salah.
Generasi milenial (Generasi Z) yang mendominasi peserta didik di perguruan tinggi kita sekarang ini, dimana salah satu karakteristik yang menjadi kekhasan dari milenalis adalah sangat mudah mengikuti arus perubahan dan rasa bosan dengan sistem yang kaku. Generasi ini lebih tertarik dengan hal-hal yang berbau instan, karenanya milenalis adalah generasi yang kreatif memanfaatkan perubahan dan peluang yang ada didepan mata mereka atau memunculkan ide-ide baru yang tidak biasa.
Berhubungan dengan itu, kalangan milenial sesungguhnya adalah individu yang punya peluang untuk berkembang dan sukses dengan cara-cara yang kreatif dan cepat. Di sisi lain, individu pada generasi ini juga berpeluang menjadi generasi yang mandek, tak mampu bersaing dan gagal. Efek dari perubahan yang disebabkan oleh para milenal ini tidak lain adalah sebuah perubahan yang disruptif sehingga mempengaruhi tatanan sosial dalam masyarakat.
Peluang bagi para mahasiswa milenealis di era ini amat jelas. Perkembangan teknologi digital membuka wawasan baru mengenai kesuksesan dan keberhasilan dalam mengelola suatu usaha. Orang-orang mulai gemar memulai sesuatu yang baru yang benar-benar anti mainstream, lebih kreatif dan tentunya tidak berbelit-belit.
Misalnya, kesuksesan pun bisa diraih hanya dengan bermodal smart phone atau komputer. Lebih hebatnya lagi, dengan teknologi dan akses komunikasi yang semakin mudah dan lancar, kantor dan ruangan mewah ber-AC bukan lagi menjadi pilihan utama untuk mengelola suatu usaha sebab orang bisa bekerja dari rumah, bahkan dari atas tempat tidur sambil memantau atau menyelesaikan pekerjaanya.
Petani yang diperankan oleh para milenial juga sudah tidak seperti petani pada masa sebelum mereka, terutama dalam mengelola hasil pertanian. Dengan teknologi yang canggih mereka cukup berdagang melalui toko-toko daring kemudian dibeli oleh konsumen yang tidak hanya berasal dari daerah mereka, tapi bahkan manca negara.
Di perguruan tinggi misalnya, dimana mahasiwaanya menjadi mahasiswa yang disruptif, mahasiwa yang mampu memanfaatkan perubahan dan perkembangan teknologi digital dengan kreatif dan inovatif. Berkat kecanggihan teknologi pun kini tidak sulit lagi menjadi orang yang dikenal oleh masyarakat dalam satu negara bahkan dunia. Cukup membuat sesuatu yang baru, menarik, unik atau bahkan kontroversial, anda menjadi viral di media sosial dan kemudian menjadi terkenal.
Saya rasa tidak salah jika kurikulum pembelajaran di perguruan tinggi memfokuskan pada pengembangan kreativitas mahasiswa yang juga memberikan ruang bagi mereka untuk berani gagal dan belajar bangkit dari kegagalan. Mengingat kreativitas menjadi modal utama bagi anak didik untuk bersaing di dunia yang disruptive. Sehingga, kurikulum kreatif harus bisa diterapkan di semua pelajaran.
Seharusnya akan wajar bila perguruan tinggi menerapkan Kurikulum pembelajaran tentang “Kegagalan”, yang bukan semata sebagai kegiatan ekstrakurikuler, tetapi diajarkan dan dikembangkan mata kuliah. Karena memupuk jiwa kreativitas dalam diri seseorang tidak hanya sekadar teori kosong tanpa makna.
Kreativitas pun bukan cuma tentang bagaimana seseorang berbakat di bidang seni atau aktivitas fisik saja. Namun, meliputi kemampuan untuk bisa menciptakan terobosan dan temuan baru di berbagai bidang ilmu pengetahuan yang bisa bermanfaat bagi manusia. Untuk mencapai ini, di balik kreativitas tentu akan banyak kegagalan. Yang patut diperhatikan adalah bila perjuangan bangkit dari kegagalan ini malah membuat peserta didik putus asa dan berhenti.
Kini saatnya perguruan tinggi mengajak milenal untuk melakukan disruptive mindset. Karena perubahan apapun yang terjadi, nilai dan norma yang terjaga dalam suatu social capital harus mendapat bentuk yang semakin kokoh. Ini adalah era di mana muncul inovasi yang menggantikan seluruh sistem lama dengan cara baru. "Inovasi memang sejatinya destruktif sekaligus kreatif". Tak jeli membaca peluang akan membuat kita terjebak dalam bayangan ketakutan hilangnya apa yang kita anggap paling utama dan berharga.
0
115
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan