- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cinta Pada Muntah yang Pertama


TS
jiancukkk
Cinta Pada Muntah yang Pertama
Cinta Pada Muntah yang Pertama
Cinta adalah permainan yang bisa dimainkan dan dimenangi dua orang.
-Eva Gabor
“Kepala; kau yang datang ke Chicago. Ekor; kau yang datang ke Zion.” Oh, mudah-mudahan kepala yang keluar, pikirku. Apa pula yang bisa kulakukan di kota sepi ini untuk membuat cowok yang baru kutemui terkesan?
“Wah, kurasa aku yang akan datang ke Zion!” seru David di telepon.
“Asyik!” aku berpura-pura semangat. “Sampai ketemu beberapa hari lagi.”
Kututup telepon dan mulai berpikir keras. Kedai kopi? Membosankan. Tempat boling? Mungkin cocok sepuluh tahun lalu untuk anak-anak SMP. Berjalan-jalan di dekat Danau Michigan? Terlalu romantis untuk kencan kedua.
Setelah itu, aku teringat teman ayahku yang pernah mengikuti lomba kapal layar di danau. Musim panas sebelumnya, aku ikut sebagai “si pemberat”—aku bertugas bergerak dari satu sisi ke sisi lain kapal untuk membantu menyeimbangkan beban kapal sepanjang lomba.
Aku pun meminta ayahku agar aku dan David bisa mendapat undangan dari temannya untuk lomba layar pekan itu. Ayahku menurut. Dia juga mendapatkan undangan untuk dirinya sendiri, yang artinya dia akan hadir dalam acara kencan pentingku. Yah, sudahlah. Tidak ada waktu lagi untuk mengganti rencana.
“Apakah kau yakin tidak mau membawa obat mual?” aku bertanya kepada David beberapa hari kemudian saat kami berkendara ke arah danau. Dia belum pernah naik kapal layar sebelumnya dan dari pengalamanku aku tahu danau itu bisa menimbulkan ayunan yang lumayan keras.
“Tidak perlu, aku bisa mengatasinya.”
“Aku tidak akan lupa kalau kau sampai mabuk,” aku menggodanya.
Sepuluh menit kemudian, kami tiba di dermaga, meninggalkan panas bulan Agustus. Angin segar menerpa Danau Michigan. Ombak menerpa lambung kapal-kapal yang bersandar, membuat kapal terantuk-antuk pada tepi dermaga kayu.
“Cukup besar!” seru Brian, kapten kapal. “Panitia ingin membatalkan lomba, tapi peserta ingin mencoba.”
Kusenggol lengan David. “Kesempatan terakhir untuk obat...”
Dia menggeleng. “Aku terlahir untuk ini!” ujarnya, lantas melompat masuk ke kapal untuk pertama kali dalam hidupnya.
Setelah beberapa menit mengitari dermaga, kami pun memasuki perairan lepas danau dan kapal itu segera digoncang dari delapan arah secara bersamaan. Astaga! Perutku tidak suka goncangan ini. Untunglah aku sudah meminum obat anti-mual.
Wus! Ombak menampar sisi kapal dan membuat semua orang basah. David tertawa. “Luar biasa!” serunya mengalahkan suara tiang layar yang berderak kencang.
David dan ayahku membantu Brian membuka layar agar kapal bisa diarahkan ke titik awal lomba. Masih dua kali lagi ombak besar menyambar dan mereka tertawa seperti Tom Sawyer dan Huck Finn berpetualang di laut.
Setelah semua kapal siap di posisinya, terdengar suara terompet kencang membelah angin. Lombanya dimulai!
“Kiriii!” teriak Brian agar suaranya terdengar di antara deru layar dan ombak. Kami tersandung dan saling bertubrukan saat mencoba berpindah sisi di kapal yang bergoyang ke segala arah.
“Kanaaan!”
Seseorang terpeleset dan jatuh menimpa pangkuan David. Semua orang basah kuyup dan tertawa. Aku juga sambil berusaha tak mengacuhkan perasaan aneh di perutku. Aku sudah berada di kapal setidaknya selusin kali dan tidak pernah mengalami masalah.
“Kita di posisi ketiga!” seru Brian. “Semuanya hebat!”
David berpaling dan tersenyum lebar ke arahku dari depan kapal.
Kencan kedua ini tidak buruk, aku menyelamati diri sendiri.
Tiba-tiba, perutku bergejolak. Aku menyeringai dan menaruh tangan di atas perut. Gejolak itu datang lagi.
Mustahil, pikirku. Buru-buru aku berjalan ke buritan dan membungkuk di besi kapal. Muntah demi muntah menghilang di antara air yang berputar di belakang kapal.
Aku tidak ingat berjalan turun ke kabin. Aku tidak ingat dimana aku mendapatkan kantong plastik. Aku tidak ingat berapa lama berada di danau itu. Tapi, aku ingat berapa kali aku muntah ke dalam kantong. Tiga belas kali.
Dari arah geladak, aku mendengar seseorang berkata, “Di bawah itu paling tidak enak.”
“Dia harusnya naik dan melihat langit,” kata satu orang lainnya.
Terserah. Aku tidak akan naik dan membiarkan David melihatku dalam keadaan seperti ini.
Sepasang kaki muncul di tangga yang mengarah ke kabin. Ingin rasanya aku menyembunyikan kantong muntahku, tapi kuputuskan lebih bijaksana jika tetap kupegang.
Kukerutkan hidung dan kusipitkan mata melihat David. Wajahnya penuh kekhawatiran dan kasih sayang. Dia menaruh tangannya di atas kakiku, membuat grogi perutku yang sudah berputar-putar.
“Ada yang bisa kubantu?”
“Tidak, terima kasih,” kataku. “Kau tidak perlu berada di sini. Pasti baunya tidak enak.”
“Aku ingin meminta Brian memutar kembali kapalnya,” katanya.
“Jangan!” seruku. “Kita sedang berlomba!”
Entah bagaimana, aku berhasil melalui lomba itu. Entah bagaimana, kencan kami berlanjut ke kencan ketiga dan banyak kencan lain setelahnya. Dan, 22 bulan kemudian, saat kami berdiri di atas permukaan keras pegunungan, David melamarku.
Saat masih berkencan kami kerap ditanya bagaimana kami bertemu. Biasanya, cerita kapal layar itu muncul. “Aku terkesan sekali saat dia berkata tidak ingin berhenti dari lomba,” kata David selalu, membuatku terdengar seperti jawara dan bukannya cewek lemah yang menyedihkan. Setiap kali mendengar cerita itu, aku kian mengaguminya.
Suatu hari, semakin dekat ke hari pernikahan kami, David membuat suatu pengakuan. “Ingat waktu aku melempar koin untuk memutuskan apakah kau akan datang ke Chicago, atau aku yang datang ke kotamu?” tanyanya.
Tentu saja aku ingat.
“Yah, aku ingin mengenal kotamu dan bertemu dengan keluargamu, tetapi tidak ingin terdengar terlalu ingin tahu.”
“Lalu...?” aku bisa menduga arah pengakuan ini.
“Jadi... memang aku melempar koin. Tapi, yang jatuh bukan bagian kepala.”
David buru-buru menjelaskan bahwa dia tidak seratus persen berbohong. Dia tidak pernah mengatakan sisi koin mana yang mendarat—kepala atau ekor; dia sekadar berkata dia akan datang mengunjungiku. Aku sedikit kesal, tapi hanya selama dua detik.
Terkadang, aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika kencan kedua kami di Chicago, menuruti hasil lempar koin. Kami mungkin akan makan malam. Atau berjalan-jalan menyusuri Navy Pier dan menonton deburan ombak dari jarak yang aman. Namun, jika begitu, aku tidak akan punya kesempatan membuat David terkesan dengan tekadku menyelesaikan lomba—dan setelah itu, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Jadi, menanggung derita mual itu sungguh sepadan hasilnya. Sepuluh tahun kemudian, kami masih bersama, masih saling mencintai—dan belum pernah berlayar lagi.
-Karen Martin-
Cinta adalah permainan yang bisa dimainkan dan dimenangi dua orang.
-Eva Gabor
“Kepala; kau yang datang ke Chicago. Ekor; kau yang datang ke Zion.” Oh, mudah-mudahan kepala yang keluar, pikirku. Apa pula yang bisa kulakukan di kota sepi ini untuk membuat cowok yang baru kutemui terkesan?
“Wah, kurasa aku yang akan datang ke Zion!” seru David di telepon.
“Asyik!” aku berpura-pura semangat. “Sampai ketemu beberapa hari lagi.”
Kututup telepon dan mulai berpikir keras. Kedai kopi? Membosankan. Tempat boling? Mungkin cocok sepuluh tahun lalu untuk anak-anak SMP. Berjalan-jalan di dekat Danau Michigan? Terlalu romantis untuk kencan kedua.
Setelah itu, aku teringat teman ayahku yang pernah mengikuti lomba kapal layar di danau. Musim panas sebelumnya, aku ikut sebagai “si pemberat”—aku bertugas bergerak dari satu sisi ke sisi lain kapal untuk membantu menyeimbangkan beban kapal sepanjang lomba.
Aku pun meminta ayahku agar aku dan David bisa mendapat undangan dari temannya untuk lomba layar pekan itu. Ayahku menurut. Dia juga mendapatkan undangan untuk dirinya sendiri, yang artinya dia akan hadir dalam acara kencan pentingku. Yah, sudahlah. Tidak ada waktu lagi untuk mengganti rencana.
“Apakah kau yakin tidak mau membawa obat mual?” aku bertanya kepada David beberapa hari kemudian saat kami berkendara ke arah danau. Dia belum pernah naik kapal layar sebelumnya dan dari pengalamanku aku tahu danau itu bisa menimbulkan ayunan yang lumayan keras.
“Tidak perlu, aku bisa mengatasinya.”
“Aku tidak akan lupa kalau kau sampai mabuk,” aku menggodanya.
Sepuluh menit kemudian, kami tiba di dermaga, meninggalkan panas bulan Agustus. Angin segar menerpa Danau Michigan. Ombak menerpa lambung kapal-kapal yang bersandar, membuat kapal terantuk-antuk pada tepi dermaga kayu.
“Cukup besar!” seru Brian, kapten kapal. “Panitia ingin membatalkan lomba, tapi peserta ingin mencoba.”
Kusenggol lengan David. “Kesempatan terakhir untuk obat...”
Dia menggeleng. “Aku terlahir untuk ini!” ujarnya, lantas melompat masuk ke kapal untuk pertama kali dalam hidupnya.
Setelah beberapa menit mengitari dermaga, kami pun memasuki perairan lepas danau dan kapal itu segera digoncang dari delapan arah secara bersamaan. Astaga! Perutku tidak suka goncangan ini. Untunglah aku sudah meminum obat anti-mual.
Wus! Ombak menampar sisi kapal dan membuat semua orang basah. David tertawa. “Luar biasa!” serunya mengalahkan suara tiang layar yang berderak kencang.
David dan ayahku membantu Brian membuka layar agar kapal bisa diarahkan ke titik awal lomba. Masih dua kali lagi ombak besar menyambar dan mereka tertawa seperti Tom Sawyer dan Huck Finn berpetualang di laut.
Setelah semua kapal siap di posisinya, terdengar suara terompet kencang membelah angin. Lombanya dimulai!
“Kiriii!” teriak Brian agar suaranya terdengar di antara deru layar dan ombak. Kami tersandung dan saling bertubrukan saat mencoba berpindah sisi di kapal yang bergoyang ke segala arah.
“Kanaaan!”
Seseorang terpeleset dan jatuh menimpa pangkuan David. Semua orang basah kuyup dan tertawa. Aku juga sambil berusaha tak mengacuhkan perasaan aneh di perutku. Aku sudah berada di kapal setidaknya selusin kali dan tidak pernah mengalami masalah.
“Kita di posisi ketiga!” seru Brian. “Semuanya hebat!”
David berpaling dan tersenyum lebar ke arahku dari depan kapal.
Kencan kedua ini tidak buruk, aku menyelamati diri sendiri.
Tiba-tiba, perutku bergejolak. Aku menyeringai dan menaruh tangan di atas perut. Gejolak itu datang lagi.
Mustahil, pikirku. Buru-buru aku berjalan ke buritan dan membungkuk di besi kapal. Muntah demi muntah menghilang di antara air yang berputar di belakang kapal.
Aku tidak ingat berjalan turun ke kabin. Aku tidak ingat dimana aku mendapatkan kantong plastik. Aku tidak ingat berapa lama berada di danau itu. Tapi, aku ingat berapa kali aku muntah ke dalam kantong. Tiga belas kali.
Dari arah geladak, aku mendengar seseorang berkata, “Di bawah itu paling tidak enak.”
“Dia harusnya naik dan melihat langit,” kata satu orang lainnya.
Terserah. Aku tidak akan naik dan membiarkan David melihatku dalam keadaan seperti ini.
Sepasang kaki muncul di tangga yang mengarah ke kabin. Ingin rasanya aku menyembunyikan kantong muntahku, tapi kuputuskan lebih bijaksana jika tetap kupegang.
Kukerutkan hidung dan kusipitkan mata melihat David. Wajahnya penuh kekhawatiran dan kasih sayang. Dia menaruh tangannya di atas kakiku, membuat grogi perutku yang sudah berputar-putar.
“Ada yang bisa kubantu?”
“Tidak, terima kasih,” kataku. “Kau tidak perlu berada di sini. Pasti baunya tidak enak.”
“Aku ingin meminta Brian memutar kembali kapalnya,” katanya.
“Jangan!” seruku. “Kita sedang berlomba!”
Entah bagaimana, aku berhasil melalui lomba itu. Entah bagaimana, kencan kami berlanjut ke kencan ketiga dan banyak kencan lain setelahnya. Dan, 22 bulan kemudian, saat kami berdiri di atas permukaan keras pegunungan, David melamarku.
Saat masih berkencan kami kerap ditanya bagaimana kami bertemu. Biasanya, cerita kapal layar itu muncul. “Aku terkesan sekali saat dia berkata tidak ingin berhenti dari lomba,” kata David selalu, membuatku terdengar seperti jawara dan bukannya cewek lemah yang menyedihkan. Setiap kali mendengar cerita itu, aku kian mengaguminya.
Suatu hari, semakin dekat ke hari pernikahan kami, David membuat suatu pengakuan. “Ingat waktu aku melempar koin untuk memutuskan apakah kau akan datang ke Chicago, atau aku yang datang ke kotamu?” tanyanya.
Tentu saja aku ingat.
“Yah, aku ingin mengenal kotamu dan bertemu dengan keluargamu, tetapi tidak ingin terdengar terlalu ingin tahu.”
“Lalu...?” aku bisa menduga arah pengakuan ini.
“Jadi... memang aku melempar koin. Tapi, yang jatuh bukan bagian kepala.”
David buru-buru menjelaskan bahwa dia tidak seratus persen berbohong. Dia tidak pernah mengatakan sisi koin mana yang mendarat—kepala atau ekor; dia sekadar berkata dia akan datang mengunjungiku. Aku sedikit kesal, tapi hanya selama dua detik.
Terkadang, aku bertanya-tanya apa yang akan terjadi jika kencan kedua kami di Chicago, menuruti hasil lempar koin. Kami mungkin akan makan malam. Atau berjalan-jalan menyusuri Navy Pier dan menonton deburan ombak dari jarak yang aman. Namun, jika begitu, aku tidak akan punya kesempatan membuat David terkesan dengan tekadku menyelesaikan lomba—dan setelah itu, siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Jadi, menanggung derita mual itu sungguh sepadan hasilnya. Sepuluh tahun kemudian, kami masih bersama, masih saling mencintai—dan belum pernah berlayar lagi.
-Karen Martin-
0
365
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan