- Beranda
- Komunitas
- News
- Berita dan Politik
Etika jurnalistik dalam era Digital perlu Dirubah jika Ingin tetap Relevan


TS
babygani86
Etika jurnalistik dalam era Digital perlu Dirubah jika Ingin tetap Relevan
Etika jurnalistik dalam era jurnalisme yang berkembang secara digital perlu dirubah. Perubahan ini perlu karena saat ini jurnalisme bersaing dengan media sosial, dengan muatan yang dihasilkan masyarakat, dan tak kalah pentingnya, jurnalisme berhadapan dengan disinformasi yang menyebar tak terkendali.

Etika media perlu diganti secara konseptual. Hal yang harus disesuaikan itu menyangkut peran jurnalis dan prinsip-prinsip yang mesti dievaluasi, khususnya yang terkait dengan masalah penyampaian kebenaran dan verifikasi. Etika jurnalistik sekarang telah mengalami disrupsi atau gangguan. Bukti bahwa gangguan itu sudah menjalar ke etika jurnalistik saat ini adalah ketidaksetujuan atas sejumlah prinsip dalam etika jurnalistik yang merebak di mana-mana, dan etika jurnalistik sudah berubah dari model yang normal menjadi model yang revolusioner.
Revolusi itu memunculkan tiga fenomena. Pertama, fenomena media digital yang memungkinkan masyarakat awam mempublikasikan karya jurnalistik dan mempraktikkan kegiatan jurnalistik. Kedua, kebangkitan populisme ekstrem dan kelompok-kelompok intoleran yang diperkuat teknologi masa kini yang membuat mereka menghasilkan misinformasi dan mengotori ruang publik. Ketiga, kemunculan ruang publik secara global.
Salah satu proposal yang diusulkan adalah mengganti konsep obyektivitas jurnalis yang selama ini hanya sebagai penyampai fakta, dengan konsep yang disebut sebagai holistic or pragmatic objectivity. Dalam konsep ini, peran jurnalis perlu lebih menyeluruh, yaitu sebagai agen yang memiliki tujuan pribadi dan tujuan sosial.
Peran jurnalis yang demikian itu disebut sebagai democratically engaged journalist, yang memiliki dua kutub komitmen. Pertama, jurnalis berkomitmen pada metode yang imparsial sebagai alat dari komitmen parsial mereka terhadap demokrasi yang egaliter. Kedua, jurnalis juga berkomitmen pada obyektivitas yang holistik, yaitu metode yang rasional dan obyektif untuk memutuskan apa yang bisa dipublikasikan dan bagaimana mempengaruhi masyarakat.
Kondisi ruang publik saat ini sudah banyak tercemar oleh ideologi populisme ekstrem, propaganda yang dilakukan secara serampangan, fake news (berita palsu) yang ada di mana-mana, dan serangan-serangan kepada kelompok minoritas. Untuk merespons situasi ini, jurnalis harus berani menyebutkan siapa yang menyampaikan berita palsu dan apakah orang tersebut sering mengemukakan berita palsu. Jurnalis juga harus berani menantang orang tersebut untuk menunjukkan bagian dari laporan tersebut yang dia anggap salah. Obat yang paling mungkin untuk mengatasi berita palsu ini adalah mendorongnya kembali kepada penggunanya.

Melawan berita palsu juga bisa dilakukan dengan memperkuat proses periksa fakta yang dilakukan jurnalis, agar masyarakat tahu apakah pernyataan yang dikeluarkan politikus adalah fakta, setengah fakta, atau menjurus pada kebohongan. Lebih jauh, ia juga mengajukan ide bagaimana melawan berita palsu lewat suatu koalisi global yang bisa melibatkan jurnalis, akademikus, dan masyarakat untuk menghasilkan media yang akuntabel.
Untuk melakukan detoksifikasi terhadap ruang publik yang tercemar itu, tak mungkin individu dalam masyarakat atau jurnalis profesional melakukannya sendirian. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menanggulangi masalah ini. Sistem pendidikan harus mempersiapkan warga yang melek digital. Pemerintah dapat menekan media sosial untuk mengidentifikasi berita palsu dan menolak akun-akun yang rasis, juga perlu ada transparansi tentang siapa yang membayar iklan tertentu.
Kesimpulannya, etika jurnalistik saat ini menjadi baru, lebih kompleks, dan lebih dalam konsepnya, yaitu etika global untuk komunikasi yang bertanggung jawab. Etika jurnalistik akan tetap relevan jika jurnalis terlibat secara aktif sebagai pembela kemanusiaan. Namun hal ini juga membutuhkan norma untuk memandu jurnalisme yang lebih interpretatif itu. Etika baru ini akan menjadi bagian dari studi akademis, bagian dari advokasi, serta bagian dari pelaksanaan di lapangan, sehingga layak dipertimbangkan dengan serius.
Etika media perlu diganti secara konseptual. Hal yang harus disesuaikan itu menyangkut peran jurnalis dan prinsip-prinsip yang mesti dievaluasi, khususnya yang terkait dengan masalah penyampaian kebenaran dan verifikasi. Etika jurnalistik sekarang telah mengalami disrupsi atau gangguan. Bukti bahwa gangguan itu sudah menjalar ke etika jurnalistik saat ini adalah ketidaksetujuan atas sejumlah prinsip dalam etika jurnalistik yang merebak di mana-mana, dan etika jurnalistik sudah berubah dari model yang normal menjadi model yang revolusioner.
Revolusi itu memunculkan tiga fenomena. Pertama, fenomena media digital yang memungkinkan masyarakat awam mempublikasikan karya jurnalistik dan mempraktikkan kegiatan jurnalistik. Kedua, kebangkitan populisme ekstrem dan kelompok-kelompok intoleran yang diperkuat teknologi masa kini yang membuat mereka menghasilkan misinformasi dan mengotori ruang publik. Ketiga, kemunculan ruang publik secara global.
Salah satu proposal yang diusulkan adalah mengganti konsep obyektivitas jurnalis yang selama ini hanya sebagai penyampai fakta, dengan konsep yang disebut sebagai holistic or pragmatic objectivity. Dalam konsep ini, peran jurnalis perlu lebih menyeluruh, yaitu sebagai agen yang memiliki tujuan pribadi dan tujuan sosial.
Peran jurnalis yang demikian itu disebut sebagai democratically engaged journalist, yang memiliki dua kutub komitmen. Pertama, jurnalis berkomitmen pada metode yang imparsial sebagai alat dari komitmen parsial mereka terhadap demokrasi yang egaliter. Kedua, jurnalis juga berkomitmen pada obyektivitas yang holistik, yaitu metode yang rasional dan obyektif untuk memutuskan apa yang bisa dipublikasikan dan bagaimana mempengaruhi masyarakat.
Kondisi ruang publik saat ini sudah banyak tercemar oleh ideologi populisme ekstrem, propaganda yang dilakukan secara serampangan, fake news (berita palsu) yang ada di mana-mana, dan serangan-serangan kepada kelompok minoritas. Untuk merespons situasi ini, jurnalis harus berani menyebutkan siapa yang menyampaikan berita palsu dan apakah orang tersebut sering mengemukakan berita palsu. Jurnalis juga harus berani menantang orang tersebut untuk menunjukkan bagian dari laporan tersebut yang dia anggap salah. Obat yang paling mungkin untuk mengatasi berita palsu ini adalah mendorongnya kembali kepada penggunanya.

Melawan berita palsu juga bisa dilakukan dengan memperkuat proses periksa fakta yang dilakukan jurnalis, agar masyarakat tahu apakah pernyataan yang dikeluarkan politikus adalah fakta, setengah fakta, atau menjurus pada kebohongan. Lebih jauh, ia juga mengajukan ide bagaimana melawan berita palsu lewat suatu koalisi global yang bisa melibatkan jurnalis, akademikus, dan masyarakat untuk menghasilkan media yang akuntabel.
Untuk melakukan detoksifikasi terhadap ruang publik yang tercemar itu, tak mungkin individu dalam masyarakat atau jurnalis profesional melakukannya sendirian. Pemerintah dan masyarakat harus bersama-sama menanggulangi masalah ini. Sistem pendidikan harus mempersiapkan warga yang melek digital. Pemerintah dapat menekan media sosial untuk mengidentifikasi berita palsu dan menolak akun-akun yang rasis, juga perlu ada transparansi tentang siapa yang membayar iklan tertentu.
Kesimpulannya, etika jurnalistik saat ini menjadi baru, lebih kompleks, dan lebih dalam konsepnya, yaitu etika global untuk komunikasi yang bertanggung jawab. Etika jurnalistik akan tetap relevan jika jurnalis terlibat secara aktif sebagai pembela kemanusiaan. Namun hal ini juga membutuhkan norma untuk memandu jurnalisme yang lebih interpretatif itu. Etika baru ini akan menjadi bagian dari studi akademis, bagian dari advokasi, serta bagian dari pelaksanaan di lapangan, sehingga layak dipertimbangkan dengan serius.
Spoiler for Referensi:
0
827
0


Komentar yang asik ya


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan