- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Yang Tersakiti, Yang Mengobati


TS
arganov
Yang Tersakiti, Yang Mengobati
Yang Tersakiti
Yang mengobati
🍀🍀🍀
🍀🍀🍀
2. Futsal dan Peri Galak
“Eh?!”
Arga dan Doni nyaris berteriak. Mereka saling pandang. Rupanya tak cukup kehilangan uang sewa lapangan futsal, kini salah satu pemain mereka juga kecelakaan. Walau tak parah. Tapi, dengan kaki terkilir dipastikan tak akan bisa main. Astaga, astaga, astaga. Arga mondar-mandir. Tim lawan mereka, sebentar lagi bakal muncul. Mau cari di mana pemain penganti.
“Gimana nih, Ga?” tanya pemain lain padanya.
Arga tak menjawab. Ia sibuk mondar-mandir dan Doni sendiri hanya bisa memandanginya. “Ga,” panggil Doni.
Arga berhenti. Memandang Doni dan mengangkat alisnya tanda bertanya ada apa. Doni, temannya itu mendekat ke arahnya. Berbisik sesuatu yang membuat Arga terbelalak.
“Benar juga. Coba gue telepon.” Ia mengeluarkan telepon selulernya. Tapi, kemudian ia terdiam beberapa saat. “Suasana hatinya tadi lagi buruk, Don. Yakin mau pakai abang gue jadi pemain pengganti?”
Doni mendesah, “emang lo bisa mikirin pemain penganti lain yang sejago abang lo?” Doni balas bertanya. Kemudian ia mengangkat alisnya saat melihat Arga malah menggeleng.
Beberapa kali Arga mengambil napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Bersiap-siap dengan suasana hati abangnya pagi tadi entah bagaimana memburuk. “Siap-siap diamuk gue.” Ia menekan dial. Nada sambung telepon berdengung beberapa kali sebelum seseorang di seberang sana mengangkatnya.
“Ngapain kamu telepon di jam sekolahan?”
Nah, tuh kan. Belum juga bicara Arga sudah diamuk. “Ada perlulah bang. Buat apa lagi.” Dengan intonasi ceria Arga menjawabnya. Dalam hati ia mengucap mantra, sabar, sabar, sabar.
“Ada apa?” Suara Wira bertanya di seberang sana terdengar lebih tenang. Mungkin ada seseorang di sebelahnya kini.
“Banyak kerjaan, Bang?” Arga bertanya lebih dulu tentang pekerjaan. Ia tak mau mengganggu pasokan uang jajannya jika pekerjaan Wira terganggu.
“Kamu bikin masalah lagi?” Wira menduga.
“Jahat kali tuduhannya. Arga jarang jadi bandel, Bang,” jawabnya membela diri. Begini-begini ia termasuk anak kesayangan para guru, karena bukan Cuma tampangnya saja yang bagus. Otaknya juga lumayan bagus.
“Terus?”
“Mau ajak Abang main futsal ini. Kurang pemain.” Ia tak ingin berbelit-belit, waktunya mepet jika harus membujuk dengan kata-kata manis kini. Lagi pula Wira tak akan menolak. Walau tak memiliki badan bagus bak artis binaragawan, Wira lumayan jago olahraga.
“Sekarang?”
Senyum Arga terbit. “Iya, lima belas menit lagi mulai.”
Beberapa detik Wira diam saja. Mungkin berpikir atau menimbang berapa kecepatan yang harus ia keluarkan untuk sampai tepat waktu. “Aku nggak punya sepatu.”
“Kalau soal itu, biar Arga yang urus Bang.”
“Jalan ke sana.” Sambungan telepon Arga langsung di putus. Ia kembali berjalan menuju kawan-kawannya yang menunggu dengan harap-harap cemas. “Gue mau nyari sepatu dulu.” Ia tersenyum. Ia punya rencana untuk balas dendam untuk potongan uang jajannya.
🍀🍀🍀
Arga berjingkat kaget. Saat sepatu futsal warna merah darah itu terlempar ke arahnya. Dalam hati ia bersorak kegirangan. Berhasil menyiksa abangnya yang benci sekali dengan warna merah. “Bang, itu sepatu hasil pinjam lho. Kalau rusak mesti ganti.” Ekspresinya dibuat sepolos mungkin kini.
“Sengaja kan, kamu?” tuduh Wira.
Arga mengerjap-ngerjap sok tak paham. Ia memandang kawan-kawannya yang lain yang ikut bingung. “Sengaja buat apa?”
Wira memejamkan mata. Ia berkata jika dirinya harus sabar berkali-kali. Ia tahu jika adiknya itu sengaja. Lihat saja nanti, akan diberi pelajaran di rumah.
“Eh, ada peri galak! Ga.”
Wira membuka matanya dan menoleh mendapati seorang gadis di belakangnya. Berdiri cemberut memandang pada gerombolan anak-anak SMA itu dan dirinya. Ia mengernyit dan memaki dalam hati.
Arga berdiri di depan Wira. Ia tahu jika abangnya itu mulai risi. “Ngapain peri galak kemari, harusnya kan pulang,” katanya menggoda.
“Kalau itu motor lo sama kronco-kronco lo sih, gue tinggal robohin. Tapi, gue nggak kuat balikin mobil. Geser mobil lo sana.” Gadis yang dipanggil peri galak itu berkata angkuh.
Arga menjulurkan kepalanya. Melihat jika mobil Wira terparkir menutupi gang masuk. Pastilah karena abangnya itu tergesa-gesa tadi. “Sorry, Baby! Pasti karena kita tergesa-gesa tadi.” Ia menadahkan tangan pada Wira minta kunci mobil.
Wira hanya menggeleng dan pergi. Ia tak mungkin memberi kepercayaan pada adiknya yang walaupun punya SIM motor dan bisa mengemudi, mengendarai mobil. Baginya Arga tetap anak di bawah umur.
“Sudah kan?” Arga bertanya. “Masih mau di sini? Kangen sama gue ya?” Arga menggoda gadis yang dipanggil peri galak itu.
Gadis itu mencibir. “Dalam imajinasimu.” Ia berbalik untuk pergi. Kemudian berbalik lagi seolah ia melupakan sesuatu. “Bilang sama om-om itu, gue hitam bukan karena kecebur got. Tapi, emang udah kulit gue kayak gini. Jangan sok jijik.” Kemudian ia benar-benar pergi kini.
Arga cuma mengangguk lalu bergumam dalam hati, andai Alisa tahu apa yang sebenarnya tidak disukai Abang.
Yang mengobati
🍀🍀🍀

🍀🍀🍀
2. Futsal dan Peri Galak
“Eh?!”
Arga dan Doni nyaris berteriak. Mereka saling pandang. Rupanya tak cukup kehilangan uang sewa lapangan futsal, kini salah satu pemain mereka juga kecelakaan. Walau tak parah. Tapi, dengan kaki terkilir dipastikan tak akan bisa main. Astaga, astaga, astaga. Arga mondar-mandir. Tim lawan mereka, sebentar lagi bakal muncul. Mau cari di mana pemain penganti.
“Gimana nih, Ga?” tanya pemain lain padanya.
Arga tak menjawab. Ia sibuk mondar-mandir dan Doni sendiri hanya bisa memandanginya. “Ga,” panggil Doni.
Arga berhenti. Memandang Doni dan mengangkat alisnya tanda bertanya ada apa. Doni, temannya itu mendekat ke arahnya. Berbisik sesuatu yang membuat Arga terbelalak.
“Benar juga. Coba gue telepon.” Ia mengeluarkan telepon selulernya. Tapi, kemudian ia terdiam beberapa saat. “Suasana hatinya tadi lagi buruk, Don. Yakin mau pakai abang gue jadi pemain pengganti?”
Doni mendesah, “emang lo bisa mikirin pemain penganti lain yang sejago abang lo?” Doni balas bertanya. Kemudian ia mengangkat alisnya saat melihat Arga malah menggeleng.
Beberapa kali Arga mengambil napas panjang dan menghembuskannya dengan keras. Bersiap-siap dengan suasana hati abangnya pagi tadi entah bagaimana memburuk. “Siap-siap diamuk gue.” Ia menekan dial. Nada sambung telepon berdengung beberapa kali sebelum seseorang di seberang sana mengangkatnya.
“Ngapain kamu telepon di jam sekolahan?”
Nah, tuh kan. Belum juga bicara Arga sudah diamuk. “Ada perlulah bang. Buat apa lagi.” Dengan intonasi ceria Arga menjawabnya. Dalam hati ia mengucap mantra, sabar, sabar, sabar.
“Ada apa?” Suara Wira bertanya di seberang sana terdengar lebih tenang. Mungkin ada seseorang di sebelahnya kini.
“Banyak kerjaan, Bang?” Arga bertanya lebih dulu tentang pekerjaan. Ia tak mau mengganggu pasokan uang jajannya jika pekerjaan Wira terganggu.
“Kamu bikin masalah lagi?” Wira menduga.
“Jahat kali tuduhannya. Arga jarang jadi bandel, Bang,” jawabnya membela diri. Begini-begini ia termasuk anak kesayangan para guru, karena bukan Cuma tampangnya saja yang bagus. Otaknya juga lumayan bagus.
“Terus?”
“Mau ajak Abang main futsal ini. Kurang pemain.” Ia tak ingin berbelit-belit, waktunya mepet jika harus membujuk dengan kata-kata manis kini. Lagi pula Wira tak akan menolak. Walau tak memiliki badan bagus bak artis binaragawan, Wira lumayan jago olahraga.
“Sekarang?”
Senyum Arga terbit. “Iya, lima belas menit lagi mulai.”
Beberapa detik Wira diam saja. Mungkin berpikir atau menimbang berapa kecepatan yang harus ia keluarkan untuk sampai tepat waktu. “Aku nggak punya sepatu.”
“Kalau soal itu, biar Arga yang urus Bang.”
“Jalan ke sana.” Sambungan telepon Arga langsung di putus. Ia kembali berjalan menuju kawan-kawannya yang menunggu dengan harap-harap cemas. “Gue mau nyari sepatu dulu.” Ia tersenyum. Ia punya rencana untuk balas dendam untuk potongan uang jajannya.
🍀🍀🍀
Arga berjingkat kaget. Saat sepatu futsal warna merah darah itu terlempar ke arahnya. Dalam hati ia bersorak kegirangan. Berhasil menyiksa abangnya yang benci sekali dengan warna merah. “Bang, itu sepatu hasil pinjam lho. Kalau rusak mesti ganti.” Ekspresinya dibuat sepolos mungkin kini.
“Sengaja kan, kamu?” tuduh Wira.
Arga mengerjap-ngerjap sok tak paham. Ia memandang kawan-kawannya yang lain yang ikut bingung. “Sengaja buat apa?”
Wira memejamkan mata. Ia berkata jika dirinya harus sabar berkali-kali. Ia tahu jika adiknya itu sengaja. Lihat saja nanti, akan diberi pelajaran di rumah.
“Eh, ada peri galak! Ga.”
Wira membuka matanya dan menoleh mendapati seorang gadis di belakangnya. Berdiri cemberut memandang pada gerombolan anak-anak SMA itu dan dirinya. Ia mengernyit dan memaki dalam hati.
Arga berdiri di depan Wira. Ia tahu jika abangnya itu mulai risi. “Ngapain peri galak kemari, harusnya kan pulang,” katanya menggoda.
“Kalau itu motor lo sama kronco-kronco lo sih, gue tinggal robohin. Tapi, gue nggak kuat balikin mobil. Geser mobil lo sana.” Gadis yang dipanggil peri galak itu berkata angkuh.
Arga menjulurkan kepalanya. Melihat jika mobil Wira terparkir menutupi gang masuk. Pastilah karena abangnya itu tergesa-gesa tadi. “Sorry, Baby! Pasti karena kita tergesa-gesa tadi.” Ia menadahkan tangan pada Wira minta kunci mobil.
Wira hanya menggeleng dan pergi. Ia tak mungkin memberi kepercayaan pada adiknya yang walaupun punya SIM motor dan bisa mengemudi, mengendarai mobil. Baginya Arga tetap anak di bawah umur.
“Sudah kan?” Arga bertanya. “Masih mau di sini? Kangen sama gue ya?” Arga menggoda gadis yang dipanggil peri galak itu.
Gadis itu mencibir. “Dalam imajinasimu.” Ia berbalik untuk pergi. Kemudian berbalik lagi seolah ia melupakan sesuatu. “Bilang sama om-om itu, gue hitam bukan karena kecebur got. Tapi, emang udah kulit gue kayak gini. Jangan sok jijik.” Kemudian ia benar-benar pergi kini.
Arga cuma mengangguk lalu bergumam dalam hati, andai Alisa tahu apa yang sebenarnya tidak disukai Abang.






tuliptulipje dan 2 lainnya memberi reputasi
3
758
1


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan