Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lapautekchy01Avatar border
TS
lapautekchy01
Cerpen Kisah Mistis di Pulau Eksotis


“Bang, Kapal dan Safety udah ready, tinggal nunggu yang mau tour!” Suara Halim menggema dari dalam kapal penumpang dengan dek terbuka.

Kulihat Halim memang telah memasangi dua belas pasang kursi kayu di lambung kapal dengan pelampung dan Safety Belt. Kemudian Halim memeriksa mesin kapal kecil yang akan mengangkut rombongan menuju ke sebuah pulau di tengah laut dangkal Pesisir Selatan.

Aku dan Halim saat ini berada di dermaga Muara Sungai Mandeh yang berair tenang, menunggu rombongan wisata yang beberapa hari lalu menghubungi lewat WA pribadi. Kemarin aku sudah mengirimkan lokasi dari Google map ke Wa Anton ketua rombongan tour. Kalau pindah titik penantian takut mereka kehilangan jejak. Karena katanya mereka belum pernah ke sini.

Kali ini sengaja aku dan Halim menggunakan kapal kecil, sesuai orderan mereka hanya berjumlah delapan orang. itung-itung hemat ongkos kapal. Secara, keuntungan jadi Pemandu Wisata serabutan tidaklah besar, harus bisa melobi sana-sini. Mulai dari kapal, penginapan, konsumsi dan fasilitas wahana laut yang lumayan merogoh kocek sedikit dalam.

Senja hampir menjemput, langit membuat air sungai berubah warna menjadi orange, sedangkan angin mulai membawa pasang semakin naik. Sementara rombongan yang janjinya jam empat sore belum juga mengabari.

“Mungkin acaranya batal, Bang.”Halim terlihat lesu berdiri di kepala kapal sambil memegangi galah.
“Ngga, mungkinlah, Lim. Mana tau mereka berhenti dulu di kawasan lain.” Kutatap jam yang melingkari pergelangan tangan, jam enam sore. Kalau mereka sampainya sebelum magrib, berarti pelayaran bisa dilakukan setelah salat. Pamali berlayar disaat makhluk selain manusia berkeliaran, apalagi yang akan dilewati laut lepas, begitu petuah rang tuo-tuo.

Benar sekali dugaanku, mereka sampai setelah aku dan Halim melaksanakan salat magrib berjamaah di mushala tepian Mande.
“Maaf, Bang Amran. Kita telat.” Anton, ketua rombongan yang masih muda menemuiku di pintu mushala yang berada di tepian muara.

“Oh. Tidak mengapa, kalian ngga salat magrib dulu?” Rombongan yang terdiri dari muda-mudi itu menggeleng, katanya sudah salat di jalan. Tapi entah di jalan mana? Ah, sudahlah itu urusan mereka dengan Tuhan, tugasku hanya mengantar dan mendampingi sampai esok mereka selesai tour.

“Kalau begitu, kita bisa berangkat sekarang.” Sarung kukalungkan ke leher. Halim membantu beberapa orang penumpang perempuan masuk kapal, dan meletakan bawaan mereka di kursi kosong.

Aku tidak begitu memperhatikan jumlah mereka, karena malam mulai gelap. Sedangkan penerang hanya senter led Hp, di sini memang tidak diijinkan berlayar malam menggunakan senter terang, takut menggangu penglihatan juru mudi.

“Silahkan berdoa menurut kepercayaan masing-masing.” Pintaku sebelum kapal meninggalkan dermaga.

Banyak tempat yang akan mereka kunjungi esok harinya, malam ini mereka akan menginap di sebuah home stay ditengah pulau yang bernama Kapo-Kapo. Berapa arahan kusampaikan, karena aku tidak ingin mereka celaka jika mengabaikan hal-hal yang tidak dibolehkan selama berada di sana.

Apalagi falsafah adat Lauik Sati, Rantau Batuah ( laut sakti, Rantau bertuah) masih menjadi acuan masyarakat Minang. Dan mereka akan tinggal di sana semalaman.

Aku berjalan ke belakang kapal, menghitung berapa orang anggota rombongan. Takutnya pas makan malam ternyata makanan tidak cukup. Mereka jadinya sembilan orang. Tak apalah lebih satu, mudah-mudahan Mak Nian memasak lebih malam ini.

Seorang gadis berambut panjang duduk paling belakang, wajahnya tidak jelas karena kapal tidak berlampu. Ia duduk menyendiri, wajahnya terus menatap semenanjung Pulau Mandeh.

Aku merasa ada yang lain dengan si gadis, karena tidak ikut bercengkerama seperti teman-temannya yang lain. Duduk pun dia memilih melewati dua rai kursi kosong di depannya. Setiap kali aku menatapnya, darahku mendesir.

Aku bergidik, angin laut mulai membuat gigil. Gadis itu sepertinya menikmati perjalanan dalam hening, tidak ada suara sedikit pun seperti yang lain.

Tangannya menopang dagu, bajunya yang menyerupai kebaya menutupi sebagian lutut. Ia sepertinya tidak merasa dingin, padahal angin laut begitu kuat mengibas rambutnya yang beraroma melati.

Entah kenapa, aku jadi penasaran dengan gadis itu, bawaannya pun tidak sebanyak yang lain. Ia hanya membawa satu tas kain yang disandang di lengan kanan.

Gadis itu tetap diam, walau pahaku menyenggol bahunya saat melewati tubuhnya menuju mesin kapal yang tersendat karena dibalut rumput laut.
“Maaf.” Dia sepertinya tidak mendengar, kembali bulu kudukku merinding saat aroma melati tajam menusuk rongga pernafasan.

**

Di tengah pekatnya malam kapal terus melaju. Melewati berapa tikungan tajam yang berselimut hutan bakau. Bahkan beberapa kali mesin kapal mati mendadak karena kayuh mesin terjaring rumput laut.

Dalam keremangan cahaya bulan, kami sampai juga di dermaga Kapo-Kapo. Meskipun aku dan Halim harus mengayuh kapal dengan galah. Entah kenapa air laut lebih cepat surut padahal jam berada baru berada di angka sembilan malam.

Saat mengikat tali kapal, aku merasa ada yang membelai lembut rambutku. Darahku kembali berdesir, dingin menusuk persendian. Aku mendongak, kemudian menoleh ke arah penumpang yang sudah pada turun dibantu Hilman.
Selesai menambatkan kapal, aku berjalan di belakang rombongan, karena tidak mungkin aku dan Halim sama-sama di depan. Disaat melewati sungai kecil yang berbatu besar, telingaku mendengar suara senandung. Kuhentikan langkah, barangkali ada di antara mereka yang bernyanyi, tapi sepertinya tidak. Suara itu terdengar dari kejauhan, ah ... mungkin hanya suara angin.

Kuusap tengkuk yang mulai meremang, kenapa aku merasa perjalanan kali ini sangat menakutkan, padahal aku dan Hilman sering mengantar wisatawan ke sini bahkan pernah lewat tengah malam. Tapi keadaannya tidak semen cekam ini.

Sampai di penginapan, aku meminta Anton dan rombongan segera masuk, tapi aku tidak melihat gadis yang tadi duduk paling belakang.

**
Jam empat dini hari, rembulan sudah berpindah ke arah Barat. Kucoba membangunkan Halim. Biasanya selepas subuh ombak akan tinggi, jadi aku bisa memacu Adrenalin di tengah lautan, menari dengan papan selancar di permukaan air yang berbuih.

Mungkin karena lelah, Halim begitu sulit membuka kelopak mata. Aku mendengus, lebih baik sendiri pikirku.

Menyisiri pantai berkawan cahaya rembulan membuat aku sedikit gentar, tapi hobi bisa mengalahkan rasa takut. Aku memutuskan tetap berenang sendiri walau tanpa Halim.

Dingin mulai menjalar dari lengan sampai kaki, angin laut menerpa sebagian ketiak yang terbuka, apalagi saat ini pasang sedang naik, jadi sesekali ombak menyentuh pangkal betis.

Bismillah, lirih kupanjatkan sebait doa. Berjalan menuju semenanjung pulau, di mana aku bisa menemukan titik terbaik menggapai ombak panjang yang cukup tinggi. Entah kenapa aku merasa ada yang mengikuti, jantung terasa berdebar tidak karuan.

Aku tetap melangkah, walaupun hati mulai didera rasa takut. Mau pulang ke Home Stay berarti aku melewatkan satu hari tanpa berselancar. Dalam kegalauan, aku merasakan sakit di ujung jari. Seekor kepiting besar melekatkan capitnya di kelingking.

“Awhh!”
Aku melompat dan menjerit, menahan rasa sakit. Tak lama berselang aku di kejutkan dengan kemunculan gadis yang semalam duduk paling belakang tertawa dari dalam permukaan air laut.

Kepalanya menyembul dari balik ombak yang menghempas. Darahku seperti dipompa lebih kuat memacu jantung, mataku menyipit menatap si gadis yang asyik berendam subuh-subuh begini, tapi kenapa rambutnya tidak basah?

Tarikan nafas membuat aku menguasai pikiran yang mulai tak karuan. Gadis itu berdiri dan ... Ya Tuhan, dia melayang, kakinya tidak menyentuh air.

Mataku terbelalak, nafas semakin memburu.
“Jangan takut, aku Meranti. Aku tidak akan memangsa atau mencelakakan, kamu!” Aroma melati kembali tercium, gadis itu mendekat dengan senyum aneh.

Tidak mungkin, tidak mungkin aku bisa melihat hantu. Aku tidak memiliki kelebihan indra, dan aku juga bukan indigo. Kaki mulai gemetar, dinginnya air tidak lagi kurasa.
“Kamu mau kemana gelap-gelap begini, apa kamu tidak takut Marak?”

Ya ... Marak memang ditakuti semua nelayan di pulau ini. Konon katanya dia bersemayam di pulau yang berhadapan langsung denganku saat ini. Dia dukun jahat yang berasal dari Bugis. Dahulu dia dibuang ke pulau itu karena ilmu hitam yang dia miliki. Siapa saja yang melewati pulau tersebut, akan mati jika dia mengacungkan telunjuk.

Gadis itu terus mengamati dengan matanya yang putih, aku kembali bergidik. Tidak pernah aku membayangkan bisa berjumpa hantu, dan sekarang. Aku sedang bersamanya di sini, di pasir putih yang lembut.

“Aku akan menemani, kamu!” Apa-apaan ini? Aku semakin tegang, saat tangannya menyentuh lengan, dingin sekali.
Ingin aku berteriak, tapi lidahku terasa kelu. Kembali kuamati tubuh melayang yang sudah bersisian dengan lenganku.
“Jangan kawatir, Amran. Aku hanya ingin menjaga kamu. Sudah lama aku ingin berdua seperti ini dengan, Kamu!” Gadis itu memandang lautan yang mulai menampakkan ombak besar.
“Tapi ... tapi!” Ah, kenapa sulit sekali suara ini keluar?
“Amran, aku ingin kamu menolongku.” Ia menangis, kemudian terdengar nyanyian semalam lirih keluar dari mulutnya.
“Aku, mohon. Jangan sakiti, aku.” Ya Allah, tolong lindungi aku dari kejahatan jin dan setan. Bait doa kembali kuucap dalam hati.

“Aku tidak akan pernah menyakitimu. Asal kamu mau mengeluarkan tulang-tulangku dari dasar laut di semenanjung Pulau Mandeh.”
“Maksud, Kamu?”
“Jasadku, ada di dalam kapal dagang belanda yang karam di sana. Amran, aku tau kamu pandai menyelam, aku mohon Amran, tolonglah.”

“Kenapa bisa di sana?” Aku mulai menguasai diri.
“Aku ikut rombongan mereka sebagai tukang masak, dan aku tidak bisa keluar dari dapur kapal saat kapal tenggelam. Amran, tulang belulangku masih di sana. Masih utuh, tolong kubur dengan layak.” Perlahan Gadis itu menjauh, karena fajar mulai menembus belantara.

Memandang Azan mengalun dari corong musallah Home Stay, kulihat Meranti melambaikan tangan. Terdengar lembut pesan terakhir darinya sebelum dia benar-benar lenyap.
“Jangan berenang sendiri ke lautan, Marak sedang mengintaimu dari bukit itu!”

Suara Azan mengalahkan senandung Meranti, dia benar-benar lenyap. Sejak saat itu aku tidak mau lagi berenang sendiri. Dan ke pantai sebelum salat subuh.
**
Semua kejadian hanya fiksi, jika ada tempat dan nama yang sama, penulis minta maaf.









Cerpen Kisah Mistis di Pulau Eksotis
0
155
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan