Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lapautekchy01Avatar border
TS
lapautekchy01
Cerpen Ketika Penghuni Gunung Marapi Jatuh Cinta
“Gue udah bilangin dari kemarin, sekarang bulan Muharam, kalian sih ngeyel!” Winar menatap sahabatnya bergantian dengan wajah cemas.

“Sekarang kita harus gimana, Nar?” Rafli menunduk, kedua jempol saling mengait.

“Besok pagi kita berpencar nyari Dimas. Kalo ngga bisa ditemukan sampai siang, terpaksa hubungi BPBD dan penjaga pasangrahan.” Winar terlihat gusar, kedua tangan menghapus keringat yang mengucur deras didahi.

Puncak Merapi terasa lebih dingin dari biasanya, Winar merapatkan jaket ke tubuh sambil memeluk kedua lengan lalu berjalan menuju puncak gersang yang mengarah Koto Baru, dia tidak ingin kemarahannya berlarut, lebih baik menyendiri.

Cahaya lampu rumah penduduk terlihat jelas, tapi tidak mampu menerangi jiwanya yang cemas. Air matanya menetes, ketika melihat sebuah karang yang masih ada tulisan namanya dengan Dimas. Kebetulan di sini memang tempat favoritnya bersama Dimas menunggu mentari terbenam tiap kali nanjak ke Merapi.

Gadis itu duduk menekuk lutut, kepalanya terbenam dikedua paha, sementara kedua tangan meremas rambutnya yang cepak, angin gunung beraroma belerang semakin kuat menampar tubuh. Berapa kali Winar terlihat menarik nafas sangat dalam, yang membuat bahunya naik, kemudian ia berdiri dan kembali menemui Rani, Rafli dan Dika di tenda.

**
Seperti biasa, Geng Winarsih begitu mereka namakan. Berencana menghabiskan akhir pekan di puncak Merapi. Rute yang akan dilewati lebih extrim dari biasa, ingin mencari jalan baru, bosan lewat Koto Baru terus, begitu keinginan yang disampaikan sebagian anggota geng.

“Jadi, lewat Tabek Patah gitu, Dik?” Mata Winar membulat, bukannya tidak mau. Hanya saja Winar tidak ingin mencari bahaya dengan rute baru yang belum pernah mereka tempuh.

“Yups ....”

“Tapi, Dik. Apa tidak sebaiknya kita lewat rute yang banyak dilalui pendaki aja? Lagian sekarang kan bulan Muharam.” Winar sebenarnya masih ragu dengan rencana teman-temannya.

“Alah ... itu tahayul, Nar.” Dimas nyeletuk sekenanya.

“Tapi, Mas. Kadang petuah orang tua itu, ada benarnya.” Winar menatap Dimas lekat, yang membuat pemuda itu diam menunduk.

“Jadi gimana? Nanjak atau ngga?” Rafli memasang wajah masam.

“Aku sih ngikut aja, gimana dengan Lo, Ran?”

“Asal ada temen, gue ikut. Udah gatel telapak kaki dari bulan kemarin pengen liat Sunset.”

**
Tiga buah motor yang dikendarai Winar, cs melaju Dari Sijunjung ke Tabek Patah Batusangkar, perjalanan mereka menghabiskan waktu lebih kurang tiga jam.

Tepat Jam sembilan pagi, mereka sampai di SMA satu salimpauang, sebentar lagi mereka akan sampai ke kaki gunung Merapi. Udara pegunungan mulai terasa di sekujur tubuh, ketika sampai kerumah masyarakat dimana mereka menumbangkan motor untuk dua hari kedepan. Setelah pamitan dengan yang punya rumah, perjalanan dimulai.

Ransel besar sudah bertengger di bahu masing-masing. Winar tidak mau memimpin perjalanan, karena memang tidak rute yang biasa dia lewati.

“Lo aja di depan, Dik. Kan elo yang mau lewat sini.”Winar memberi Dika jalan.

“Yaelah, Win. Sama aja, kita kan pake kompas, tujuannya ya Puncak Merapi. Gitu aja pusing.” Dika melewati Winar yang menepi.

Berjalan di tengah hutan belantara tanpa penunjuk arah, memang terasa sulit. Apalagi jika dibandingkan dengan rute yang biasa kami lewati. Di sini kami harus meretas jalan terlebih dahulu, menyibak rimbunnya akar dan perdu. Bahkan cadas dibagian inipun masih dipenuhi lumut tebal, karena memang jarang dilewati para pendaki, mereka lebih nyaman lewat jalan biasa ketimbang buang tenaga seperti ini.

“Huff ...!”

“Kenapa? Capek?” Dimas membantu Winar menaiki karang yang lumayan tinggi dengan cara mendorong dari belakang.

“Capek sih, Ngga. Cuma kesel.”Winar berdiri sejenak ketika sudah berada di atas karang yang sedikit datar.

“Seharusnya kita bisa sampai di puncak lebih cepat, jika lewat jalan biasa. Ini gara-gara ide si Dika yang gila itu, tuh!” Dimas berusaha menenangkan Winar dengan menepuk bahunya.

“Anggap ini perjuangan, mana tau nanti ada pendaki lain yang mengikuti, jalan kita.” Senyum Dimas begitu manis, membuat darah Winar berdesir halus.

Winar dan Dimas sebenarnya mungkin saling mencintai, tapi mereka sama-sama malu mengungkapkan perasaan antara satu dengan yang lain.

Winar terlalu dingin dan cuek, sehingga Dimas tidak berani mengungkapkan kalau sebenarnya ada rasa yang dia simpan untuk sahabatnya itu.

Walaupun Winar cuek, tapi Dimas selalu perhatian. Bahkan Dimas akan selalu ada jika Winar membutuhkan bantuan tanpa diminta. Cinta Dimas kepada Winar tidak dikatakan tapi ditunjukan dengan sikap.

Hampir setengah enam sore mereka baru sampai ke Puncak Tertinggi Merapi, walau gerutuan masih terdengar di mulut Winar dan Rani, karena kelebihan jam dalam perjalanan. Tapi mereka tetap kompak, saling bantu mendirikan tenda satu dengan yang lain.

“Aku capek, mau rebahan dulu di tenda.”Winar mengajak Rani bersamanya, sementara yang lain membuat aku unggun dengan batu bara.

Langit mulai gelap, senja hadir bersama hilangnya mentari dibalik Gunung Sunggalang yang berhadapan dengan Merapi. Dingin terasa menusuk tulang, Dari ujung kawah kering, Winar terlihat melambaikan tangan ke arah Dimas yang sedang memasak air....

****

“Aku, akan mengajak kamu ke suatu tempat.” Winar menarik tangan Dimas melewati sebuah telaga.
“Tapi, bagaimana dengan yang lain?” Dimas menoleh ke arah tenda yang mereka dirikan.
“Udah, biarin aja. Aku tidak mau mereka menganggu kita.” Winar menarik bahu Dimas menghadap wajahnya.

“Aku mau, hanya kita yang tau dan menikmati tempat itu,” bisik Winar dengan mata tak lepas dari Dimas, kemudian kembali manarik Dimas untuk berjalan mengikutinya.

Dimas merasa ada yang aneh dengan kelakuan Winar, tidak biasanya gadis itu bertingkah manja dan lembut terhadap Dimas.

“Nar ... Ini di mana?” Dimas menghentikan langkah, tempat terasa begitu asing. Udaranya tidak sedingin biasanya di puncak Marapi. Bukankah tadi hari menjelang maghrib, kenapa di sini masih siang? Atau mungkin pagi.

Melihat Dimas yang bingung Winar tersenyum. Lantas mensejajarkan tubuhnya dengan Dimas, tangannya meraih jemari Dimas dari samping. Kepalanya bersandar di bahu Dimas yang kokoh.

“Mas, kamu tau? ... sudah lama aku ingin kita menikmati tempat ini berdua.”Winar mengangkat kepala dari bahu Dimas, sementara dia masih menggenggam jemari Dimas.

Mereka berdiri di pinggir padang rumput hijau yang sangat luas, di tengah-tengahnya tumbuh berjejer pohon pinus di tepian sebuah telaga berair biru. Di seberang telaga itu ada taman bunga beraneka warna. Di sana juga terlihat banyak remaja seusia mereka berlarian, dan bermain.

Walau ragu dan ingin kembali ke tenda, Dimas tetap mengikuti langkah Winar berjalan melewati telaga, hingga sampai ke sebuah rumah megah dikelilingi bermacam kembang gunung seperti Edelweiss dan bunga padi.

“Ayo, masuk.” Dimas melemparkan pandangan ke segala arah, dia merasa tidak nyaman berada di sana.
“Tapi ini rumah siapa, Nar?”
“Ini bukan rumah, Mas. Tapi istana, kamu pasti belum pernah ke sini sebelumnya?” Dimas menggeleng, memang sejak pertama kali naik Marapi, dia tidak pernah menemukan tempat seindah ini. Dan Winar pun tidak pernah cerita sebelumnya atau memang Winar sengaja menyembunyikan tempat ini, agar tidak dirusak oleh tangan-tangan jahil. Entahlah, Dimas menarik nafas.

Winar memang sering naik Gunung walau tanpa Dimas. Dia sering diajak anak-anak mahasiswa atau grub remaja yang ingin melakukan Pendakian sebagai penunjuk arah agar tidak tersesat, karena sebagai anggota Pecinta Alam, tentu Winar sudah biasa ke Merapi.

Winar berdiri menghadap Dimas, yang masih berdiri di tangga.
“Kenapa, Mas? Apa kamu tidak mau menemani, aku?” Tatapan matanya menembus jantung Dimas, menghantarkan getaran ke jiwa, memaksa Dimas harus tersenyum dan meraih tangan Winar.
“Aku hanya bingung, kenapa kita sampai ke tempat seindah ini. Nar, tentu aku mau sekali menemani, kamu.” Winar tersenyum dan menyandarkan kepalanya di dada Dimas, kedua tangan mereka rekat diantara jemari yang menyatu.

“ Apakah, kamu mencintaiku, Dimas?” Suara Winar terdengar lirih, Dimas membelai rambut Winar yang masih terbenam di dadanya.

“ Ya, bahkan sebelum kita jadi satu Tim.” Dimas melingkarkan tangan ke punggung Winar, ada kebahagian yang luar biasa tumbuh dan berkembang di hati. Perlahan mereka beriringan masuk ke Istana dengan pintu yang telah terbuka sendiri.

Sepertinya Winar begitu mencintai Dimas, dia tidak mau sedetikpun memberi jarak kepada Dimas.
“Mas, Kamu yakin, mau menemani, ku?” Kembali mata mereka saling bertatapan, Dimas mengangguk dan membelai lembut pipi Winar yang terasa dingin.

Dimas bergidik, tapi berusaha menyeimbangkan perasaan dengan keragu-raguan. Benarkah Winar mencintainya, dan kenapa mereka sampai ke tempat yang sejarah ini?

***

“Kamu betah, kan. Tinggal di sini?” Winar bergelayut manja di lengan Dimas, sementara langit mulai merona merah.

Debaran jantung Dimas tak terbendung, dikecupnya lembut ubun-ubun Winar yang bersandar di bahunya yang kekar.

Dimas sebenarnya tidak bisa membohongi hatinya yang risau, kenapa Winar bertingkah seperti ini. Tidak seperti biasanya, cuek dan tidak gampangan. Perasaan Dimas campur aduk, antara senang dan bingung namun dia tetap bertahan.
“Kita makan dulu, yuk.” Winar menarik tangan Dimas berdiri, tapi Dimas menahan langkah. Dia seeperti mendengar namanya dipanggil, sangat jauh.

Dada Dimas bergemuruh, suara itu seperti suara Winar dan Rafli. Bukankah yang sekarang bersamanya Winar? Atau dia yang berhalusinasi?

Sedikit ragu-ragu Dimas mengikuti langkah Winar, sesekali dia tertegun, berusaha menyaringkan telinga.
“Kamu kenapa, Mas?” Winar mencari jawaban di mata Dimas.

Tubuh Dimas bergidik, tatapan Winar tampak mengerikan. Melihat senyumnya terkembang, Dimas bisa menghalau rasa ngeri yang hinggap di kepala.

“Makan di mana, Nar?”
“Ada ... Kamu ikut saja, sudah ada yang nyiapin, kok!” Kembali Winar menarik paksa tangan Dimas.
“Siapa yang masak? Rani?”.
“Bukan, nanti kamu juga akan tau, ayok!”

Mentari hampir tenggelam, magrib akan segera menjemput senja. Dinas berjalan di belakang Winar yang berjalan cepat.

Dimas kembali menahan langkah, suara-suara yang memanggil namanya kembali mengaung.
“Nar, sepertinya Rafli dan kawan-kawan mencari kita. Sudah berapa lama kita di sini? Apa tidak sebaiknya kita kembali ke tenda?” Tatapan Winar semakin menancap ke mata Dimas, lalu dia tersenyum dan melabuhkan kepalanya ke dada Dimas.

Tangannya mulai melingkari pinggang Dimas, bau harum rambut Winar menyeruak pernapasan Dimas. Kembali lelaki itu mengecup puncak kepala Winar.
“Apa, kamu tidak ingin bersamaku, selamanya?” suara Winar terdengar lirih di dada Dimas.

Dimas benar-benar merasa bingung, di saat cintanya berlabuh. Ada kecemasan yang tidak bisa ia ungkap dengan kata-kata.
“Mas, aku ingin selalu seperti ini, berdua selamanya. Kamu mau kan? Menjadi suamiku?”
Deg ...
Suami? Dimas semakin bingung, pacaran saja belum, kok Winar mau jadi istrinya?

“Nar, kamu aneh! Kita masih kuliah, Nar. Masak mau nikah?”
“Kan, bisa sambil kuliah. Ah, sudahlah. Sekarang kita makan dulu. Kasian yang lain sudah nunggu di istana.” Dimas semakin heran, Istana apa lagi yang di bicarakan Winar.

“Winar, sebentar! Aku yakin itu suara Rafli.” Dimas menyentakan tangan Winar, gadis itu terlihat berang. Tapi Dimas ingin sekali menjawab teman-teman yang memanggil namanya, kasian mereka gumamnya.
“Tidak mungkinlah, Mas. Mereka tau kita bersama. Mana mau mereka mengganggu kita.” Winar kembali membenamkan kepalanya ke dada Dimas.

Kali ini Dimas benar-benar mulai tidak menyukai tingkah Winar. Magrib hampir datang, tapi kok Winar tidak ingat sholat. Setau Dimas, Winar sangat disiplin dalam hal beribadah.

“Ya, Allah. Bener, Nar. Itu suara Rafli dan Rani! Oh, itu. Suara Azan mulai berkumandang, kita salat di mana?” Dimas celingak-celinguk. Winar menghilang.

Dimas menggigil, tubuhnya bagai tanpa tulang. Dia mengerjapkan mata berkali-kali. Dimas Hampir saja masuk jurang dalam, kalau saja tangannya tidak sempat menggapai pohon yang tumbuh dipinggir karang.
“Tolong ...!”





Cerpen Ketika Penghuni Gunung Marapi Jatuh Cinta
Diubah oleh lapautekchy01 17-10-2019 17:02
0
277
0
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan