- Beranda
- Komunitas
- Story
- Stories from the Heart
Cerbung Ibu Pengganti, Part 1


TS
Muasyaroh
Cerbung Ibu Pengganti, Part 1
Di sudut tempat tidur aku mematung. Mengamati foto sepasang kekasih yang telah mengucapkan janji sakral empat tahun lalu. Wanita dengan gaun putih menjuntai terlihat anggun. Lelaki berkemeja putih berlapis jas bagai pangeran dari kerajaan. Raut bahagia terpancar jelas dari raut keduanya.
Aku membenarkan selimut yang tersingkap di tubuh balita yang sudah terlelap. Gadis mungil ini tidak sepantasnya menerima keadaan memilukan. Kasih sayang seorang ibu sangat dibutuhkan untuk anak berusia tiga tahun seperti Anara.
Helai rambut menutupi mata, kusibak perlahan dan terus membelai. Bocah ini tidak berdosa. Mengapa ia harus terlahir dari rahim seorang ibu yang tak berhati? Rasa iba terus menyelimuti gadis mungil yang kupanggil cucu ini.
Dani--putra semata wayangku--terjebak dalam kisah pahit rumah tangga. Istri pergi tanpa pamit, meninggalkan buah hati yang telah mengisi hari. Drama cinta telah melenakan Risa--istri Dani--lalai akan kewajiban sebagai seorang istri dan ibu. Ia pergi meninggalkan rumah bersama pacar barunya.
"Buk, Ana udah tidur?" Dani terlihat dari arah pintu. Suaranya pelan, takut membangunkan si putri kecil.
"Udah, Nak. Baru aja."
"Maaf, ya, Buk. Jadi ngerepotin." Sorot matanya terlihat menyimpan luka mendalam. Sungguh, tak kuasa menatap kesedihan yang selalu mencoba disembunyikan.
"Ndak ngerepotin, Le. Ana 'kan cucu ibu. Sudah sepantasnya ibu menyayanginya."
Aku tidak pernah melihat Dani sekalut ini. Anakku adalah lelaki yang tegar. Sejak kepergian ayahnya, ia menjadi tulang punggung. Bekerja dan memenuhi segala kebutuhan keluarga semenjak lulus SMA. Bakti kepadaku memang luar biasa. Ia anak yang saleh.
"Malah ibu harus menggantikan posisi Risa." Aku menepuk pundak Dani. Meyakinkan bahwa semua baik-baik saja dan aku tidak merasa diberatkan dengan tugasku saat ini.
Tidak pernah disangka sebelumnya, jika Risa mempunyai sikap buruk. Sebelum menikah, Dani dan Risa sudah berpacaran selama lebih dari satu tahun. Selama itu pula, Risa selalu bersikap baik. Wajar saja putraku terlena, pun denganku yang berpikiran bahwa Risa pasti bisa menjadi istri yang salehah untuk Dani.
Aku dan Dani melangkah keluar. Takut membangunkan tidur nyenyak putri kecil, bila kami terus melanjutkan obrolan di kamar yang masih berhiaskan foto-foto kebersamaan keluarga Dani. Kami meninggalkan Anara terbuai dalam mimpi seorang diri.
Di ruang tamu, beralaskan kursi kayu, Dani berbagi keluh kesah. Cinta yang ia percayakan kepada wanita penambat hati, nyatanya justru teringkari. Perih sudah pasi ia rasakan.
"Udah coba hubungi keluarganya, Le?"
"Ga pernah ada jawaban, Buk."
Keluaraga Risa memang tidak pernah merestui hubungan mereka. Mungkin karena perbedaan ekonomi yang terlampau jauh. Namun, kekuatan cinta, akhirnya menyatukan mereka dalam janji suci. Risalah yang memohon restu kepada ibu dan ayahnya. Waktu itu, cinta kedua insan ini memang benar-benar terlihat besar.
“Kira-kira keluarganya tau ndak, yo, Le?”
“Mungkin tau, Bu. Lho, buktinya aku telpon, SMS gak pernah ada jawaban. Harusnya mereka khawatir, kalau anaknya gak bersama suami. Berarti di mana? ‘kan gitu, Buk?”
Mendengar penuturan Dani, membuatku curiga. Mungkinkah ada persekongkolan antara Risa dan keluarga? Anehnya, Risa tak membawa putrinya pergi. Padahal, harta paling berharga bagi seorang ibu adalah anak. Permata yang tak pernah ternilai. Belahan jiwa yang akan selalu dijaga sampai kapan pun. Menantuku tidak begitu, ia seperti tidak pantas disebut ibu.
“Apa mau kita coba datangi rumahnya, Le?”
Rumah kami dan Risa berbeda provinsi. Ia berada di tanah Kalimantan. Sementara, kami di Jawa. Cukup jauh. Itu sebabnya, Dani belum menyusul. Dulu, mereka bertemu saat Risa menempuh Pendidikan Tinggi di sini. Pertemuan itu, akhirnya sampai pada jenjang pernikahan.
“Dani belum ada uang, Buk.”
Gaji Dani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam setahun, ia belum tentu pulang ke kampung halaman istrinya. Hanya jika diberi ongkos oleh mertua saja, ia kembali ke sana. Tahun ini, Dani menolak pemberian dari mertua. Katanya, ia tidak ingin terus-terusan merepotkan. Saat itu, terjadi adu mulut antara Dani dan Risa. Namun, akhirnya Risa memahami. Terlihat sekali jika ia adalah istri penurut.
Buntu rasanya, seperti tidak ada jalan untuk permasalahan Dani. Aku sebagai seorang ibu juga merasakan pedih atas apa yang menimpa anakku. Kontak Risa sudah tidak aktif sejak ia pergi dari rumah. Berulang kali, Dani mencoba menelpon, tapi tetap sama, nomor sedang tidak aktif. Sudah mencoba menelpon ayah dan ibu mertua, tapi tidak ada jawaban. Satu-satunya anggota keluarga yang memberi balasan adalah paman Risa. Namun, ia mengaku tidak mengetahui, karena sedang berada di luar kota.
“Yaudah. Sekarang kamu fokus sama Ana. Istrimu kalau sayang sama anak dan suami pasti kembali.” Aku menenangkan Dani yang sedari tadi terus menunduk lesu. Gurat kesedihan benar-benar terpancar dari wajah berkulit hiitam manisnya.
“Uti, pipis!” Terdengar suara dari pintu kamar. Ana terbangun. Bocah dengan rambut tergerai acak, terlihat menghentakkan kaki berkali-kali. Istilah jawanya, tring-tringan—khas anak yang sedang menahan buang air kecil. Aku berlari menghampiri. Tubuh kecilnya segera kubopong menuju kamar mandi.
“Ana bobok lagi, ya!” Gadis kecil itu, kini sedang berada di pangkuan ayah. Dani membelai rambut buah cintanya.
“Bentar. Mau sama Uti, sama Ayah dulu.” Ana berucap dengan terbata, mencoba menyusun kalimat. Anak dan cucuku asyik bercengkerama. Ada pedih dibalik tawa riang itu. Jika ada ibunya di sisi, pasti kebahagiaan akan menjadi sempurna. Lagi-lagi, rasa iba terus menghinggapi hati, saat kulihat dua orang yang saling menyayangi, bertahan dalam kerasnya hidup.
“Ibu gak pulang-pulang.” Di sela keceriaan, kalimat muncul dari bibir mungil Ana. Dani hanya terdiam membisu. Aku dapat memahami keremangan hati anakku. Selama ini, kami selalu berbohong. Menjelaskan jika ibunya sedang bekerja. Beberapa kali ia meronta karena rindu yang mendalam. Saat seperti itulah, kami hanya mampu menenangkan dan memberi pengertian.
“Ibu, ‘kan kerja.” Aku mencoba menjawab. Dani seperti tidak mampu bersuara.
“Kapan pulang?”
“Nanti kalau udah dapat uang banyak. Biar bisa beliin Ana boneka.” Masih kebohongan yang selalu terucap. Anak sekecil Ana belum pantas menerima kenyataan pahit, bahwa ia telah ditinggalkan oleh orang yang telah melahirkan dengan susah payah.
“Horee ... boneka panda, Uti.” Cucuku bersorak dengan girang. Aku tersenyum menutupi iba yang terasa begitu menyesakkan dada.
Berawal dari hubungan tak direstui, kukira semua akan berjalan manis. Selama empat tahun pernikahan, semua harmonis, hanya ada perseteruan kecil. Normal bagi pasangan suami-istri. Hingga pada akhirnya, semua berubah beberapa bulan terakhir. Sikap Risa menjadi kurang sopan, bukan hanya kepada Dani. Namun, juga terhadapku. Dengan Ana pun tidak terlalu memperdulikan. Ia lebih sering bermain dengan gawainya. Sampai Dani mengetahui jika ada lelaki lain yang masuk dalam rumah tangga.
Betapa terkejutnya, ternyata orang itu adalah lelaki di masa lalu.
Next?
Aku membenarkan selimut yang tersingkap di tubuh balita yang sudah terlelap. Gadis mungil ini tidak sepantasnya menerima keadaan memilukan. Kasih sayang seorang ibu sangat dibutuhkan untuk anak berusia tiga tahun seperti Anara.
Helai rambut menutupi mata, kusibak perlahan dan terus membelai. Bocah ini tidak berdosa. Mengapa ia harus terlahir dari rahim seorang ibu yang tak berhati? Rasa iba terus menyelimuti gadis mungil yang kupanggil cucu ini.
Dani--putra semata wayangku--terjebak dalam kisah pahit rumah tangga. Istri pergi tanpa pamit, meninggalkan buah hati yang telah mengisi hari. Drama cinta telah melenakan Risa--istri Dani--lalai akan kewajiban sebagai seorang istri dan ibu. Ia pergi meninggalkan rumah bersama pacar barunya.
"Buk, Ana udah tidur?" Dani terlihat dari arah pintu. Suaranya pelan, takut membangunkan si putri kecil.
"Udah, Nak. Baru aja."
"Maaf, ya, Buk. Jadi ngerepotin." Sorot matanya terlihat menyimpan luka mendalam. Sungguh, tak kuasa menatap kesedihan yang selalu mencoba disembunyikan.
"Ndak ngerepotin, Le. Ana 'kan cucu ibu. Sudah sepantasnya ibu menyayanginya."
Aku tidak pernah melihat Dani sekalut ini. Anakku adalah lelaki yang tegar. Sejak kepergian ayahnya, ia menjadi tulang punggung. Bekerja dan memenuhi segala kebutuhan keluarga semenjak lulus SMA. Bakti kepadaku memang luar biasa. Ia anak yang saleh.
"Malah ibu harus menggantikan posisi Risa." Aku menepuk pundak Dani. Meyakinkan bahwa semua baik-baik saja dan aku tidak merasa diberatkan dengan tugasku saat ini.
Tidak pernah disangka sebelumnya, jika Risa mempunyai sikap buruk. Sebelum menikah, Dani dan Risa sudah berpacaran selama lebih dari satu tahun. Selama itu pula, Risa selalu bersikap baik. Wajar saja putraku terlena, pun denganku yang berpikiran bahwa Risa pasti bisa menjadi istri yang salehah untuk Dani.
Aku dan Dani melangkah keluar. Takut membangunkan tidur nyenyak putri kecil, bila kami terus melanjutkan obrolan di kamar yang masih berhiaskan foto-foto kebersamaan keluarga Dani. Kami meninggalkan Anara terbuai dalam mimpi seorang diri.
Di ruang tamu, beralaskan kursi kayu, Dani berbagi keluh kesah. Cinta yang ia percayakan kepada wanita penambat hati, nyatanya justru teringkari. Perih sudah pasi ia rasakan.
"Udah coba hubungi keluarganya, Le?"
"Ga pernah ada jawaban, Buk."
Keluaraga Risa memang tidak pernah merestui hubungan mereka. Mungkin karena perbedaan ekonomi yang terlampau jauh. Namun, kekuatan cinta, akhirnya menyatukan mereka dalam janji suci. Risalah yang memohon restu kepada ibu dan ayahnya. Waktu itu, cinta kedua insan ini memang benar-benar terlihat besar.
“Kira-kira keluarganya tau ndak, yo, Le?”
“Mungkin tau, Bu. Lho, buktinya aku telpon, SMS gak pernah ada jawaban. Harusnya mereka khawatir, kalau anaknya gak bersama suami. Berarti di mana? ‘kan gitu, Buk?”
Mendengar penuturan Dani, membuatku curiga. Mungkinkah ada persekongkolan antara Risa dan keluarga? Anehnya, Risa tak membawa putrinya pergi. Padahal, harta paling berharga bagi seorang ibu adalah anak. Permata yang tak pernah ternilai. Belahan jiwa yang akan selalu dijaga sampai kapan pun. Menantuku tidak begitu, ia seperti tidak pantas disebut ibu.
“Apa mau kita coba datangi rumahnya, Le?”
Rumah kami dan Risa berbeda provinsi. Ia berada di tanah Kalimantan. Sementara, kami di Jawa. Cukup jauh. Itu sebabnya, Dani belum menyusul. Dulu, mereka bertemu saat Risa menempuh Pendidikan Tinggi di sini. Pertemuan itu, akhirnya sampai pada jenjang pernikahan.
“Dani belum ada uang, Buk.”
Gaji Dani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dalam setahun, ia belum tentu pulang ke kampung halaman istrinya. Hanya jika diberi ongkos oleh mertua saja, ia kembali ke sana. Tahun ini, Dani menolak pemberian dari mertua. Katanya, ia tidak ingin terus-terusan merepotkan. Saat itu, terjadi adu mulut antara Dani dan Risa. Namun, akhirnya Risa memahami. Terlihat sekali jika ia adalah istri penurut.
Buntu rasanya, seperti tidak ada jalan untuk permasalahan Dani. Aku sebagai seorang ibu juga merasakan pedih atas apa yang menimpa anakku. Kontak Risa sudah tidak aktif sejak ia pergi dari rumah. Berulang kali, Dani mencoba menelpon, tapi tetap sama, nomor sedang tidak aktif. Sudah mencoba menelpon ayah dan ibu mertua, tapi tidak ada jawaban. Satu-satunya anggota keluarga yang memberi balasan adalah paman Risa. Namun, ia mengaku tidak mengetahui, karena sedang berada di luar kota.
“Yaudah. Sekarang kamu fokus sama Ana. Istrimu kalau sayang sama anak dan suami pasti kembali.” Aku menenangkan Dani yang sedari tadi terus menunduk lesu. Gurat kesedihan benar-benar terpancar dari wajah berkulit hiitam manisnya.
“Uti, pipis!” Terdengar suara dari pintu kamar. Ana terbangun. Bocah dengan rambut tergerai acak, terlihat menghentakkan kaki berkali-kali. Istilah jawanya, tring-tringan—khas anak yang sedang menahan buang air kecil. Aku berlari menghampiri. Tubuh kecilnya segera kubopong menuju kamar mandi.
“Ana bobok lagi, ya!” Gadis kecil itu, kini sedang berada di pangkuan ayah. Dani membelai rambut buah cintanya.
“Bentar. Mau sama Uti, sama Ayah dulu.” Ana berucap dengan terbata, mencoba menyusun kalimat. Anak dan cucuku asyik bercengkerama. Ada pedih dibalik tawa riang itu. Jika ada ibunya di sisi, pasti kebahagiaan akan menjadi sempurna. Lagi-lagi, rasa iba terus menghinggapi hati, saat kulihat dua orang yang saling menyayangi, bertahan dalam kerasnya hidup.
“Ibu gak pulang-pulang.” Di sela keceriaan, kalimat muncul dari bibir mungil Ana. Dani hanya terdiam membisu. Aku dapat memahami keremangan hati anakku. Selama ini, kami selalu berbohong. Menjelaskan jika ibunya sedang bekerja. Beberapa kali ia meronta karena rindu yang mendalam. Saat seperti itulah, kami hanya mampu menenangkan dan memberi pengertian.
“Ibu, ‘kan kerja.” Aku mencoba menjawab. Dani seperti tidak mampu bersuara.
“Kapan pulang?”
“Nanti kalau udah dapat uang banyak. Biar bisa beliin Ana boneka.” Masih kebohongan yang selalu terucap. Anak sekecil Ana belum pantas menerima kenyataan pahit, bahwa ia telah ditinggalkan oleh orang yang telah melahirkan dengan susah payah.
“Horee ... boneka panda, Uti.” Cucuku bersorak dengan girang. Aku tersenyum menutupi iba yang terasa begitu menyesakkan dada.
Berawal dari hubungan tak direstui, kukira semua akan berjalan manis. Selama empat tahun pernikahan, semua harmonis, hanya ada perseteruan kecil. Normal bagi pasangan suami-istri. Hingga pada akhirnya, semua berubah beberapa bulan terakhir. Sikap Risa menjadi kurang sopan, bukan hanya kepada Dani. Namun, juga terhadapku. Dengan Ana pun tidak terlalu memperdulikan. Ia lebih sering bermain dengan gawainya. Sampai Dani mengetahui jika ada lelaki lain yang masuk dalam rumah tangga.
Betapa terkejutnya, ternyata orang itu adalah lelaki di masa lalu.
Next?






mr..dr dan 6 lainnya memberi reputasi
7
5.8K
6


Komentar yang asik ya
Urutan
Terbaru
Terlama


Komentar yang asik ya
Komunitas Pilihan